KABARBURSA.COM – Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyetujui anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp71 triliun di tabun 2025 untuk program andalan presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto. Keputusan ini diambil setelah DPR mendengar masukan dari pemerintah dan tim transisi calon pemerintahan mendatang.
Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah, mengatakan anggaran tersebut merupakan nilai yang paling masuk akal jika melihat postur APBN 2025. “Makan Bergizi Gratis kalau mencermati yang disampaikan oleh Menko Perekonomian, Menkeu, dan gugus tugas transisi dari presiden terpilih sebesar Rp71 triliun itu menjadi harapan Banggar, jujur saja,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Juni 2024.
DPR sempat waswas dengan anggaran yang kian membengkak akibat program Prabowo ini. Mereka menyoroti banyaknya program dan kebijakan yang mesti diakomodasi dalam Rancangan APBN 2025. Untuk menata kembali ruang fiskal di RAPBN 2025, DPR meminta pemerintah menajamkan kembali belanja prioritas tahun depan. Said Abdullah menegaskan penajaman belanja prioritas itu diperlukan karena terlalu banyak program prioritas yang perlu diakomodasi dalam RAPBN 2025. Di sisi lain, ruang gerak fiskal pemerintah makin mendekati titik batas, bahkan tidak ada lagi "kemewahan" untuk menjalankan APBN ke depan.
Potensi Melanggar UU
Persetujuan anggaran makan bergizi gratis memunculkan kekhawatiran bahwa program ini berpotensi melanggar undang-undang. Pengamat Ekonomi Salamudin Daeng mengatakan anggaran ini berpotensi melampaui batas defisit yang diatur dalam UU Keuangan Negara. "Jika defisit dipasang di 2,9 persen, pemerintah harus mengambil utang sekitar Rp 600 triliun," ujarnya kepada Kabar Bursa, Selasa, 25 Juni 2024.
Namun, masalah muncul ketika mempertimbangkan postur anggaran yang ketat. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, anggaran Rp71 triliun untuk makan siang bergizi sudah termasuk dalam defisit fiskal 2,29-2,82 persen. Meski demikian, risiko pelanggaran UU tetap ada jika defisit melampaui 3 persen.
Pemerintah dan DPR yakin defisit anggaran hanya akan mencapai 2,29-2,5 persen di pemerintahan awal Prabowo. Tetapi Salamudin ragu angka itu tidak melebar karena hitung-hitungan pemerintah soal angka Rp 71 triliun tidak sesuai dengan realita anggaran makan satu orang dan jumlah pelajar yang ada. Dia menduga anggaran sebesar itu hanya diperuntukkan selama satu triwulan di tahun 2025.
Salamudin mengatakan alokasi anggaran makan untuk satu pelajar sekitar Rp18.000 per hari. Jumlah ini dinilai lebih logis untuk kebutuhan gizi harian dibanding angka yang diproyeksikan pemerintah sebesar Rp 15.000. Pemerintah menyebut ada sekitar 70,5 juta pelajar yang akan menerima makan bergizi gratis. Sementara Prabowo Subianto pernah mengatakan program unggulannya tersebut akan menyasar sebanyak 82,9 juta masyarakat Indonesia.
Jika setiap anak membutuhkan 15 ribu rupiah per hari, maka untuk 70,5 juta pelajar, kebutuhan harian akan mencapai sekitar Rp 1,0575 triliun rupiah. Dalam sebulan, total kebutuhan mencapai sekitar Rp 31,725 triliun, dan untuk setahun, diperkirakan mencapai sekitar Rp 381,3 triliun.
Sementara jika anggaran yang dibutuhkan Rp 18 ribu per pelajar per hari, maka kebutuhan harian akan mencapai sekitar Rp 1,269 triliun. Dalam sebulan, total kebutuhan mencapai sekitar Rp 38,07 triliun, dan untuk setahun, diperkirakan mencapai sekitar Rp 456,84 triliun. Anggaran sebesar Rp 71 triliun yang dialokasikan untuk makan bergizi gratis sepanjang 2025 tentu menjadi pertanyaan, mengingat perhitungan yang mencatat kebutuhan yang jauh lebih besar. Nilai ini tentu membutuhkan tambahan anggaran program dan berdampak signifikan pada defisit fiskal.
Salamudin mengingatkan penambahan defisit di atas 3 persen akan melanggar undang-undang. "Jika defisit triwulan berikutnya bertambah, pemerintah bisa melanggar UU karena defisit tidak boleh lebih dari 3 persen," tegasnya.
Skenario Anggaran
Salamudin menyarankan pemerintah melakukan sejumlah skenario anggaran jika tetap ingin melanjutkan program makan bergizi gratis. Pertama adalah refocusing anggaran antar lembaga dan pemerintah pusat. Cara ini diperlukan untuk mengakomodasi program baru tanpa melanggar batas defisit. Kedua adalah meminta pemerintah daerah mengevaluasi sisa anggaran yang tidak efektif.
“Pemerintah daerah lumayan kan sisa anggarannya itu, yang tidak efektif belanjanya dianggarkan besar ternyata enggak bisa dihabiskan,” kata Salamudin.
Upaya lain adalah membenahi subsidi energi untuk menghemat anggaran. "Subsidi solar dan LPG 3 kg yang salah sasaran harus dibenahi," ungkap Salamudin. Efisiensi subsidi ini diharapkan dapat mengurangi beban anggaran tanpa mengurangi manfaat bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Selain itu, Salamudin menyarankan pemerintah untuk mengandalkan APBN Perubahan (APBNP) untuk mengakomodasi anggaran anggaran makan bergizi gratis. "Jika angka Rp71 triliun tidak cukup, pemerintah bisa memperjuangkan kembali di APBNP yang biasanya dibahas pada Maret atau Apri (2025)l," katanya. (alp/prm)