KABARBURSA.COM - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mengalami defisit sebesar Rp 21,8 triliun atau setara dengan 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per Mei 2024.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, defisit anggaran pada bulan Mei ini disebabkan oleh penurunan pendapatan negara, sementara belanja negara mengalami kenaikan.
Pendapatan negara per Mei 2024 mencatatkan angka Rp 1.123,5 triliun, yang setara dengan 40,1 persen dari target APBN, mengalami penurunan sebesar 7,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Seluruh sumber pendapatan negara mengalami kontraksi, dengan penerimaan pajak turun 8,4 persen, setoran kepabeanan dan cukai menurun 7,8 persen, serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang turun 3,3 persen.
"Pendapatan negara sampai akhir Mei mengalami tekanan dengan pertumbuhan negatif 7,1 persen," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Senin 24 Juni 2024.
Di sisi lain, realisasi belanja negara mencapai Rp 1.145,3 triliun atau setara dengan 34,4 persen dari target APBN, meningkat 14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Meskipun demikian, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa keseimbangan primer masih mencatatkan surplus sebesar Rp 184,2 triliun.
"Secara keseluruhan, kita mengalami defisit sebesar Rp 21,8 triliun atau 0,1 persen," tandasnya.
Sri Mulyani juga menegaskan bahwa pelaksanaan APBN masih sesuai dengan rencana pemerintah yang telah menetapkan defisit APBN sebesar Rp 522,8 triliun atau setara dengan 2,29 persen terhadap PDB hingga akhir tahun ini.
"Postur defisit tahun 2024 adalah 2,29 persen dari PDB, jadi meskipun saat ini masih 0,1 persen, kita masih relatif on track dengan total overall balance tahun ini sesuai dengan UU APBN 2024," tambahnya.
Sementara, Akhir Februari 2024 lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 diperkirakan akan melebar.
Menurutnya, APBN 2024 akan melebar menjadi sekitar 2,8 persen dari target yang telah ditetapkan sebelumnya, yang sebesar 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini.
"Akibat beberapa faktor, defisit tahun ini yang direncanakan dalam APBN adalah 2,29 persen atau 2,3 persen, tetapi perkiraannya mencapai 2,8 persen," kata Airlangga.
Airlangga menjelaskan bahwa pelebaran defisit ini disebabkan oleh beberapa hal, termasuk penambahan subsidi pupuk sebesar Rp 14 triliun.
"Peningkatan subsidi pupuk ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan riil petani sebesar 7-8 juta ton per tahun. Saat ini, anggaran subsidi pupuk sebesar Rp 26 triliun hanya cukup untuk 5,7 juta ton per tahun," ujar Airlangga.
"Kekurangan subsidi pupuk ini disebabkan oleh kebutuhan yang meningkat, terutama karena dampak El Nino yang menyebabkan penurunan produksi padi sekitar 1 juta ton pada Januari-Maret," tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, ada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk mitigasi risiko pangan dengan anggaran Rp 11,3 triliun, yang bertujuan untuk mengendalikan kenaikan harga beras.
"Peningkatan BLT untuk mengatasi fluktuasi harga sembako ini saja nilainya mencapai Rp 11 triliun," ungkap Airlangga.
Airlangga juga menegaskan bahwa pelebaran defisit ini dipengaruhi oleh keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga listrik dan bahan bakar minyak (BBM) hingga Juni 2024.
"Baik subsidi maupun non-subsidi, kebijakan ini akan membutuhkan tambahan anggaran untuk Pertamina dan PLN, yang akan didukung baik dari sisa Saldo Anggaran Lebih (SAL) maupun pelebaran defisit APBN 2024," jelasnya.
"Dengan demikian, perkiraan defisit APBN tahun 2024 adalah antara 2,3 persen hingga 2,8 persen," tandas Airlangga.
Makan Siang Gratis dan Defisit APBN
Janji Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memberikan makan siang gratis kepada masyarakat sesuai dengan kampanye kepresidenannya akan memperluas defisit anggaran tahun depan, menurut para ekonom.
Menteri Keuangan Sri Mulyani merancang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 antara 2,45 persen hingga 2,8 persen, naik dari defisit 2024 yang diperkirakan mencapai 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Sri, defisit APBN ini akan dialokasikan untuk mendukung program-program prioritas pemerintah baru, termasuk program makan siang gratis yang memerlukan anggaran sekitar Rp460 triliun, setara dengan 7,23 persen dari total APBN 2024 senilai Rp3.325 triliun.
Pada tahap awal, program ini akan difokuskan di daerah-daerah terpencil yang masih tertinggal di Indonesia.
"APBN akan terbebani secara signifikan," ujar Nailul Huda, Direktur ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengomentari bahwa defisit APBN yang membesar akibat program makan siang gratis akan semakin mempersempit celah fiskal dan meningkatkan beban utang negara.
"Dengan skema pemerintah memberikan makan siang gratis kepada 'semua', keuangan kita tidak akan mampu menanggung beban fiskal yang terjadi," tambahnya.
Menurut Nailul, ada beberapa pilihan untuk mengatasi hal ini, di antaranya adalah mengurangi subsidi energi, meskipun hal ini dapat meningkatkan inflasi dan memberi beban tambahan kepada masyarakat, terutama yang kurang mampu.
"Saya memprediksi bahwa program makan siang gratis untuk 100 persen ibu hamil, siswa, dan santri di Indonesia mungkin tidak akan berhasil hingga tahun 2029. Mungkin hanya dapat menyasar sekitar 51 persen dari target pada 2029. APBN kita terlalu besar jika dipaksakan untuk mencapai target 100 persen penerima manfaat," lanjutnya.
Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), menyatakan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan program makan siang gratis hampir setara dengan seluruh anggaran perlindungan sosial yang ada saat ini, termasuk BPJS Kesehatan.
"Dengan kapasitas fiskal saat ini, anggaran yang dibutuhkan sangat berat untuk diterapkan. Ada program-program lain yang tidak kalah penting yang juga memerlukan dukungan," jelas Faisal.
Arief Ramayandi, seorang ekonom dari Asian Development Bank, berpendapat bahwa meskipun program ini akan menambah beban anggaran negara, namun tidak akan mengarah pada defisit fiskal yang lebih buruk karena kemampuan fiskal Indonesia masih cukup baik.
"Meskipun akan ada beban anggaran, namun tidak sampai mendorong defisit fiskal ke tingkat yang tidak dapat diterima. Kemampuan fiskal kita masih cukup baik dan kuat," ujar Arief.
Menurut Arief, Indonesia masih memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama dalam hal rasio pajak yang saat ini masih rendah, sekitar 10 persen.
"Jika dikelola dengan efektif dan efisien, program seperti ini masih dapat diakomodasi dalam anggaran negara," tambahnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan gizi dan produktivitas tenaga kerja.
Program makan siang gratis, yang menjadi isu utama dalam kampanye presiden bagi Prabowo dan Gibran, ternyata memiliki dukungan kuat di kalangan masyarakat.
Herry Sudharma, seorang ayah yang memiliki anak di sekolah dasar, menyambut baik program ini karena dapat meningkatkan gizi anak, meskipun tidak semua orang bisa menikmatinya.
"Harapannya adalah program ini memberikan variasi makanan yang cukup untuk anak-anak, bukan hanya sebagai formalitas semata," ujarnya.
Ratinah, seorang pekerja rumah tangga berusia 54 tahun, juga mendukung program makan siang gratis ini karena dapat mengurangi biaya makan harian bagi anaknya yang bersekolah menengah.
"Saya setuju dengan program ini, terutama karena anak saya bisa mendapatkan susu gratis. Ini membantu mengurangi biaya makan siang mereka. Biasanya mereka makan mi terus," ujarnya.
Namun, Faisal mempertanyakan relevansi program ini dalam meningkatkan gizi untuk mencerdaskan anak bangsa, terutama dalam menangani stunting di Indonesia.
"Memperbaiki gizi mungkin bisa membantu di daerah-daerah yang kekurangan gizi, namun kaitannya dengan stunting dan pendidikan perlu dievaluasi ulang karena stunting harus ditangani sejak dini," ungkapnya. (*)