KABARBURSA.COM - Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, baru saja mengeluarkan peraturan terbaru mengenai besaran bea keluar (BK) untuk komoditas pertambangan, termasuk di dalamnya BK atas barang-barang ekspor seperti produk hasil pengolahan mineral logam.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 38/2024 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, yang mulai berlaku sejak Senin 3 Juni 2024.
Di antara ketentuan yang ditetapkan, BK untuk konsentrat tembaga dengan kadar ≥ 15 persen Cu dikenakan sebesar 7,5 persen, sementara konsentrat besi laterit (gutit, hematit, magnetit) dengan kadar ≥ 50 persen Fe dan kadar (Al2O3+SiO2) ≥ 10 persen dikenakan BK sebesar 5 persen.
Tak hanya itu, BK juga diberlakukan untuk konsentrat timbal dengan kadar ≥ 56 persen Pb sebesar 5 persen, dan konsentrat seng dengan kadar ≥ 51 persen Zn juga sebesar 5 persen.
Perlu dicatat bahwa pemerintah memberikan relaksasi berupa perpanjangan izin ekspor produk hasil pengolahan mineral logam hingga 31 Desember 2024, yang sebelumnya dibatasi hingga 31 Mei 2024. Relaksasi ini diberikan kepada lima perusahaan, termasuk PT Amman Mineral, PT Freeport Indonesia (PTFI), PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Kapuas Prima Citra, dan PT Kobar Lamandau Mineral.
Kebijakan BK sebelumnya telah diatur dalam PMK No. 71/2023, yang menetapkan tarif BK untuk konsentrat tembaga berdasarkan progres pembangunan smelter. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendorong pembangunan smelter guna meningkatkan nilai tambah dalam industri pertambangan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2024 mencapai US$20,52 miliar, mengalami penyusutan sebesar 8,34 persen dibandingkan dengan bulan Desember 2023. Dalam perhitungan tahunan, ekspor Januari 2024 turun sebesar 8,06 persen.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa ekspor migas mencatat US$1,39 miliar, mengalami penurunan sebesar 5,49 persen. Sementara itu, nilai ekspor non-migas turun drastis hingga 8,54 persen menjadi US$19,13 miliar.
Penurunan nilai ekspor Januari ini didorong oleh penurunan ekspor non-migas, terutama bahan bakar mineral dengan kode HS 27 yang turun sebesar 3,85 persen. Selain itu, biji logam, terak, dan abu dengan kode HS26 turun 2,21 persen, serta logam mulia dan perhiasan permata dengan penurunan 1,49 persen.
Di sisi lain, penurunan ekspor migas dipicu oleh penurunan nilai ekspor hasil minyak dengan penurunan sebesar 0,89 persen.
Secara tahunan, penurunan nilai ekspor lebih banyak disumbang oleh ekspor non-migas, terutama bahan bakar mineral, logam mulia dan perhiasan, serta mesin dan perlengkapan elektrik beserta bagiannya, ungkap Amalia.
Menurut data yang dirilis oleh Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) pada tahun 2024, nilai ekspor produk hasil pengolahan mineral logam menunjukkan tren yang menarik untuk diamati. Pada periode tersebut, terlihat pertumbuhan yang positif dalam sektor ini, dengan nilai ekspor produk mencapai angka yang menggembirakan.
AP3I juga mencatat beberapa komoditas unggulan dalam ekspor produk hasil pengolahan mineral logam, antara lain konsentrat tembaga, konsentrat besi laterit, timbal, dan seng. Data ini memberikan gambaran yang jelas tentang kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional dan potensi pertumbuhannya di pasar global.
Kinerja Ekspor Non Migas 2024
Kemenkeu mencatat, ekspor Indonesia pada bulan April 2024 mencatat angka sebesar USD19,62 miliar, naik sebesar 1,72 persen (yoy), dipicu oleh peningkatan ekspor migas seiring dengan kenaikan harga energi global. Namun, sektor nonmigas juga memberikan kontribusi signifikan, dengan ekspor mencapai USD18,27 miliar. Di antara sektor tersebut, ekspor bahan bakar mineral menonjol, menyumbang sebanyak 16,83 persen dari total ekspor nonmigas.
Selain itu, logam mulia dan nikel mengalami lonjakan yang mencolok, masing-masing tumbuh sebesar 70,97 persen (yoy) dan 24,67 persen (yoy), didorong oleh lonjakan harga nikel dan volume ekspor logam mulia yang meningkat.
Dalam rentang Januari–April 2024, nilai ekspor Indonesia menembus USD81,92 miliar, dengan Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar, menyumbang 23 persen dari total ekspor, diikuti oleh Amerika Serikat (10,48 persen) dan India (9,01 persen). Sementara itu, ekspor ke kawasan ASEAN memberikan kontribusi sebesar 17,74 persen.
Di sisi lain, impor Indonesia pada bulan April 2024 mencapai USD16,06 miliar, mengalami kenaikan sebesar 4,62 persen (yoy). Peningkatan ini dipicu oleh impor beberapa komoditas utama, termasuk mesin/perlengkapan elektrik, plastik dan produk plastik, bahan kimia organik, serta gula dan kembang gula. Penyumbang utama dari kenaikan ini adalah impor barang modal, bahan baku penolong, dan barang konsumsi.
Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan permintaan selama Ramadan dan Lebaran serta stabilitas tingkat inflasi Indonesia. Peningkatan impor ini memberikan kontribusi positif terhadap aktivitas manufaktur, dengan indeks PMI manufaktur mencapai 52,9 pada April 2024. Secara kumulatif, nilai impor Indonesia pada periode Januari–April mencapai USD70,95 miliar. (*)