Logo
>

Awas Koreksi IHSG Hari ini, Analis Bocorkan Level Kritisnya

IHSG diperkirakan berada di akhir wave [a] dari wave B. Analis memperingatkan potensi koreksi menuju 6.364 bila gagal tembus resistance teknikal.

Ditulis oleh Syahrianto
Awas Koreksi IHSG Hari ini, Analis Bocorkan Level Kritisnya
Suasana main hall Bursa Efek Indonesia (BEI) yang juga menampilkan layar utama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa, 11 Februari 2025. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencatatkan penguatan pada perdagangan terakhir, Senin, 5 Mei 2025, dengan naik sebesar 0,24 persen ke level 6.831. 

Meski secara teknikal menunjukkan tren jangka pendek yang masih positif, sejumlah analis menilai bahwa ruang penguatan indeks mulai terbatas. Hal ini dikaitkan dengan posisi indeks yang saat ini berada pada akhir fase wave [a] dari pola korektif wave B, menurut analisis gelombang (Elliott Wave). 

Herditya Wicaksana, Head of Research Retail MNC Sekuritas, menjelaskan bahwa posisi IHSG saat ini tengah mendekati titik jenuh penguatan teknikal. 

“Kami menilai bahwa IHSG saat ini berada di ujung wave [a] dari wave B, yang berarti ada potensi indeks akan segera memasuki fase koreksi wave [b],” ujar Herditya dalam laporan riset teknikal harian, Selasa, 6 Mei 2025.

Menurut Herditya, level resistance penting yang perlu dicermati dalam waktu dekat berada pada kisaran 6.877 hingga 6.933. Jika penguatan IHSG hari  terus berlanjut, maka area 6.899 menjadi target jangka pendek selanjutnya. Namun ia juga mewanti-wanti bahwa fase ini bersifat terbatas, sehingga investor perlu berhati-hati terhadap potensi pembalikan arah dalam waktu dekat.

"Kami melihat area 6.899 sebagai titik potensial penguatan maksimal. Namun, apabila terjadi reversal, maka IHSG berisiko menguji support kuat di area 6.364–6.618 sebagai bagian dari wave [b]," tegas Herditya.

Dari sisi indikator teknikal lainnya, IHSG masih disokong oleh volume pembelian yang cukup stabil dalam dua sesi terakhir. Namun momentum penguatan mulai melambat, ditandai dengan mulai datarnya indikator RSI (Relative Strength Index) di atas level 60.

Ini menunjukkan bahwa meskipun belum memasuki area overbought, tekanan jual mulai muncul di beberapa saham berkapitalisasi besar.

Dalam konteks dukungan teknikal, level support jangka pendek IHSG saat ini berada di 6.759 dan 6.708. Jika indeks turun ke bawah level ini, potensi terbentuknya wave [b] menjadi lebih kuat, dengan target koreksi berada di rentang 6.364–6.618. 

Herditya menyarankan agar pelaku pasar melakukan pendekatan “wait and see” terlebih dahulu, sembari mencermati pergerakan saham-saham big caps yang selama ini menjadi motor penggerak indeks. 

Di tengah potensi koreksi teknikal pada indeks domestik, pelaku pasar juga perlu mencermati tekanan eksternal yang datang dari pasar global. Pergerakan indeks saham utama di Wall Street menunjukkan sinyal waspada yang patut diperhatikan oleh investor regional, termasuk di Indonesia. 

Sentimen global yang memburuk kerap menjadi pemicu volatilitas di bursa negara berkembang, apalagi saat indeks berada pada fase teknikal yang rentan. Salah satu faktor eksternal terbaru yang memicu guncangan pasar berasal dari Amerika Serikat. 

S&P 500 dan Nasdaq Kompak Terkoreksi

Indeks-indeks utama di Wall Street kompak melemah pada perdagangan Senin, 5 Mei 2025, mengakhiri tren penguatan terpanjang dalam dua dekade terakhir. Indeks S&P 500 tercatat turun 36,29 poin atau 0,64 persen ke level 5.650,38. Koreksi ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang menyasar industri perfilman luar negeri. Di saat yang sama, pasar juga menanti keputusan suku bunga terbaru dari Federal Reserve (The Fed) yang dijadwalkan rilis pekan ini.

Berdasarkan laporan Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average melemah 98,60 poin atau 0,24 persen ke posisi 41.218,83. Nasdaq Composite pun turut terkoreksi 133,49 poin atau 0,74 persen, berakhir di level 17.844,24. Dengan pelemahan ini, Dow Jones juga menghentikan reli sembilan harinya, yang merupakan rangkaian kenaikan terpanjang sejak Desember 2023.

Pemicu utama koreksi tersebut berasal dari kebijakan proteksionis baru Presiden Trump. Pada Minggu, 4 Mei 2025, Trump mengumumkan rencana pengenaan tarif sebesar 100 persen terhadap film yang diproduksi di luar Amerika Serikat. Meski belum dijelaskan secara rinci mekanisme implementasinya, langkah ini memunculkan ketidakpastian baru di pasar. Ini merupakan lanjutan dari kebijakan tarif pertama yang diumumkan pada 2 April lalu.

Sejak pengumuman tarif pertama itu, indeks S&P 500 sempat jatuh hampir 15 persen. Namun dalam sembilan sesi terakhir hingga akhir pekan lalu, indeks berhasil bangkit dan mencetak tren kenaikan terpanjang sejak 2004. Kabar tarif baru akhirnya memutus momentum positif tersebut.

Saham-saham perusahaan produksi film dan layanan streaming menjadi yang paling terdampak. Saham Netflix terkoreksi 1,9 persen, menghentikan reli selama 11 hari berturut-turut. Saham Amazon.com juga turun 1,9 persen, sementara Paramount Global melemah 1,6 persen. Meski demikian, beberapa saham berhasil memangkas kerugian di akhir sesi perdagangan.

Dampak negatif kebijakan juga meluas ke sektor konsumer. Saham Tyson Foods anjlok 7,7 persen setelah perusahaan gagal memenuhi ekspektasi pendapatan kuartalan. Di sisi lain, sektor korporasi masih mencatat aksi korporasi besar. Saham Skechers melonjak 24,3 persen setelah perusahaan sepatu tersebut resmi diakuisisi oleh 3G Capital dalam kesepakatan senilai USD 9,4 miliar yang dilakukan secara privat.

Sektor energi menjadi pemberat lain bagi pasar. Saham energi dalam indeks S&P mencatatkan penurunan 2 persen, terburuk di antara 11 sektor utama. Koreksi dipicu oleh pengumuman OPEC+ yang mempercepat rencana peningkatan produksi minyak. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan kelebihan pasokan global di tengah permintaan yang masih fluktuatif.

Di Bursa Efek New York (NYSE), jumlah saham yang melemah melampaui yang menguat dengan rasio 1,88 banding 1. Di Nasdaq, rasio serupa tercatat 1,79 banding 1. Dari sisi teknikal, S&P 500 mencetak sembilan rekor tertinggi baru dan tiga titik terendah baru dalam 52 pekan terakhir. Sementara itu, Nasdaq Composite mencatat 53 rekor tertinggi dan 57 titik terendah dalam periode yang sama.

Volume transaksi di seluruh bursa saham Amerika Serikat tercatat sebesar 13,67 miliar saham—lebih rendah dibandingkan rata-rata harian 20 sesi terakhir yang mencapai 18,68 miliar saham. Hal ini menunjukkan bahwa investor cenderung wait and see menjelang keputusan penting The Fed serta menilai dampak lanjutan dari kebijakan tarif Presiden Trump terhadap sektor-sektor strategis. (*) 

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Syahrianto

Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.