KABARBURSA.COM - Perokok yang beralih dari sigaret ke vape atau rokok elektrik tetap menghadapi risiko tinggi terkena kanker paru-paru dibandingkan dengan mereka yang sepenuhnya berhenti mengonsumsi nikotin, demikian hasil studi terkini.
Dalam pertemuan tahunan The American Thoracic Society di San Diego, dipresentasikan bahwa perokok yang beralih ke vape tetap memiliki risiko kanker paru-paru yang signifikan, terutama bagi mereka yang sudah dianggap berisiko tinggi dan disarankan menjalani pemeriksaan.
Penulis studi, Dr. Yeon Wook Kim, menjelaskan bahwa berdasarkan studi berbasis populasi besar tentang peningkatan risiko kanker paru-paru pada pengguna e-sigaret setelah berhenti merokok, bahaya potensial menggunakan e-sigaret sebagai alternatif harus dipertimbangkan ketika mengintegrasikan intervensi penghentian merokok untuk mengurangi risiko kanker paru-paru.
Menurut siaran pers yang dikutip oleh Medical Daily pada Rabu (22/5), studi ini melibatkan lebih dari 4,3 juta orang di Korea Selatan. Penelitian tersebut mengevaluasi hubungan antara peralihan dari rokok konvensional ke e-sigaret dan risiko terkena kanker paru-paru.
Seluruh peserta memiliki riwayat merokok konvensional. Para peneliti mengkategorikan peserta berdasarkan perubahan kebiasaan penggunaan e-sigaret. Kategori tersebut meliputi mantan perokok yang telah berhenti merokok lebih dari lima tahun dengan dan tanpa penggunaan e-sigaret; mantan perokok yang berhenti kurang dari lima tahun dengan dan tanpa penggunaan e-sigaret; serta perokok aktif dengan dan tanpa penggunaan e-sigaret.
Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 53 ribu individu didiagnosis dengan kanker paru-paru selama masa tindak lanjut, dan 6.351 orang meninggal karena kanker paru-paru.
Risiko kematian akibat kanker paru-paru lebih tinggi pada mantan perokok yang telah berhenti lebih dari lima tahun dan beralih ke e-sigaret dibandingkan dengan mantan perokok yang berhenti lebih dari lima tahun tanpa penggunaan e-sigaret.
Bagi perokok yang berhenti kurang dari lima tahun dan beralih ke e-sigaret, risiko kanker paru-paru dan kematian akibat kanker paru-paru juga tinggi. Peneliti mencatat bahwa risiko ini terutama tinggi pada mantan perokok berusia 50 hingga 80 tahun dengan riwayat merokok lebih dari 20 tahun.
E-sigaret dan elemen pemanasnya telah terbukti mengandung senyawa karbonil seperti formaldehida, asetaldehida, akrolein, dan diasetil serta logam beracun seperti kromium, nikel, dan timbal, yang diketahui bersifat karsinogenik. Racun-racun ini juga ditemukan dalam rokok konvensional.
Cukai Hasil Tembakau
Industri rokok di Indonesia merasa tertekan dengan diberlakukannya kebijakan kenaikan tarif cukai oleh pemerintah pada tahun 2024.
Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) secara rata-rata sekitar 10 persen pada tahun tersebut, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191 Tahun 2022 yang memperbarui PMK No. 192/2021. Peraturan ini mencakup berbagai jenis rokok tembakau, termasuk sigaret, cerutu, rokok daun, dan tembakau iris.
Khususnya, produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) di bawah naungan Gaprindo mengalami penurunan signifikan, sebesar 35,74 persen dari 15,22 miliar batang pada 2019 menjadi 9,78 miliar batang pada 2023. ”Industri rokok telah mengalami penurunan kinerja yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir,” ungkap Benny.
Kenaikan cukai terjadi pada saat daya beli masyarakat masih rendah, sehingga sebagian konsumen beralih ke rokok yang lebih murah. Fenomena ini juga meningkatkan konsumsi rokok ilegal di masyarakat.
Hal ini membuat produsen rokok, terutama di segmen rokok putih, menghadapi tantangan besar. Meskipun telah melakukan upaya penghematan biaya produksi, namun selisih harga antara rokok legal dan ilegal tetap signifikan. ”Solusi atas masalah ini hanya dapat datang dari kebijakan pemerintah,” tegas Benny.
Selain melakukan efisiensi operasional, produsen rokok kini juga fokus pada peningkatan penjualan ekspor guna menjaga kelangsungan bisnis mereka.
Data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor tembakau Indonesia mencapai US$ 1,49 miliar pada 2023, meningkat 12,26 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.