KABARBURSA.COM – Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, memberikan penjelasan mengenai cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kegiatan membangun sendiri (KMS).
PPN KMS dikenakan pada pembangunan rumah atau bangunan yang dilakukan tanpa menggunakan jasa kontraktor atau developer.
Cara menghitung PPN KMS cukup sederhana, yaitu dengan menggunakan rumus: PPN KMS = tarif PPN x besaran tertentu (20 persen) x jumlah biaya membangun.
Sebagai contoh, apabila seseorang membangun sebuah rumah dengan biaya total Rp 1 miliar, maka perhitungannya adalah tarif PPN sebesar 11 persen dikalikan dengan 20 persen dari biaya tersebut. Hasilnya, pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 22 juta,
berdasarkan perhitungan berikut:
PPN KMS = 11 persen x 20 persen x Rp 1.000.000.000
PPN KMS = Rp 22.000.000.
Lebih lanjut, Dwi Astuti menjelaskan bahwa pengenaan PPN KMS sebenarnya bukanlah hal baru. Kebijakan ini sudah diterapkan sejak tahun 1995 sesuai dengan Pasal 16C dalam Undang-Undang PPN dan PPnBM.
"Pengenaan PPN KMS sudah diterapkan sejak tahun 1995 berdasarkan pasal 16C UU PPN dan PPnBM," katanya kepada Kabar Bursa, Rabu 18 September 2024.
Dia menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memberikan asas keadilan bagi semua pihak, baik mereka yang membangun bangunan secara mandiri maupun menggunakan jasa kontraktor atau developer, agar sama-sama dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022, PPN KMS diberlakukan pada pembangunan bangunan baru maupun perluasan bangunan lama yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau kegiatan usaha, dengan syarat bangunan tersebut memiliki luas keseluruhan paling sedikit 200 meter persegi.
Namun, Dwi juga menegaskan bahwa renovasi bangunan yang tidak menambah luas tidak akan dikenakan PPN KMS, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PMK tersebut.
"Dalam hal renovasi tidak menambah luas bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PMK tersebut diatas, tidak dikenakan PPN KMS," tandasnya.
Harmonisasi Peraturan Pajak
Pemerintah berencana menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 2,4 persen atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) mulai tahun 2025. Namun, PPN ini hanya akan berlaku pada pembangunan rumah dengan luas minimal 200 meter persegi. Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menjelaskan bahwa aturan ini bukanlah hal baru, karena telah ada sejak 30 tahun lalu berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994.
Ketentuan PPN KMS ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 yang menjelaskan bahwa PPN KMS dihitung berdasarkan 20 persen dari total pengeluaran untuk pembangunan. Jika tarif PPN umum naik menjadi 12 persen pada tahun 2025, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), maka tarif PPN KMS menjadi 2,4 persen.
Adapun ketentuan yang menjadi dasar pengenaan PPN KMS adalah:
- Luas bangunan minimal 200 meter persegi.
- Konstruksi utama terbuat dari bahan seperti kayu, batu bata, beton, baja, atau bahan serupa.
- Bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal atau kegiatan usaha.
Pembangunan yang dilakukan secara bertahap juga dikenakan PPN KMS jika seluruh tahap selesai dalam waktu maksimal dua tahun. Sementara itu, rumah dengan luas di bawah 200 meter persegi, atau renovasi yang tidak menambah luas menjadi 200 meter persegi, tidak akan dikenakan pajak.
Renovasi Mendesak Dan Dana Darurat
Mungkin Anda berpikir bahwa meminjam dana dari orang terdekat seperti orangtua, mertua, saudara, teman, atau pasangan adalah pilihan yang menarik karena tidak melibatkan beban bunga.
Namun, jangan abaikan fakta bahwa keterlambatan pembayaran bisa merusak hubungan interpersonal yang berharga.
Lebih bijak untuk merencanakan renovasi dengan cermat dan menabung secara teratur. Jika perlu, gunakan dana darurat yang telah disiapkan.
Namun, jika renovasi mendesak dan dana darurat tidak mencukupi, pertimbangkanlah pinjaman dari lembaga keuangan resmi. Namun, perhatikan beberapa hal penting berikut:
Rasio Cicilan Utang terhadap Pemasukan
Anda pasti sering mendengar nasihat bahwa cicilan tidak boleh melebihi 30 persen dari pemasukan. Ini adalah rasio utang terhadap pemasukan.
Cicilan melebihi 30 persen dapat membuat Anda kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, menabung, dan berinvestasi.
Misalnya, jika Anda sudah memiliki cicilan kendaraan sebesar 20 persen dari pendapatan dan ingin mengambil kredit untuk renovasi rumah, pastikan cicilan baru tidak melebihi 10 persen dari penghasilan.
Kenali Rasio Utang terhadap Aset
Cicilan mungkin masih dalam batas wajar, tetapi total utang bisa menjadi masalah.
Rasio utang terhadap aset mengukur seberapa besar utang Anda dibandingkan dengan total aset Anda.
Rumusnya:
Total Utang x 100 persen
Total Aset
Nilai maksimal rasio ini adalah 50 persen. Jika melebihi 50 persen, itu perlu diwaspadai karena utang sudah melebihi setengah dari total aset.
Bayangkan jika kehilangan penghasilan dan harus melunasi utang. Aset akan tergerus karena harus dijual untuk melunasi utang.
Dan jika sebagian besar utang adalah utang konsumtif, ini bisa berbahaya karena akan menggerus kekayaan Anda.
Jadi, sebelum memutuskan sumber pendanaan, pertimbangkan risikonya dengan matang.(*)
Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia
dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu.
Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional.
Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.