KABARBURSA.COM - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) resmi mengumumkan rencana pembelian kembali saham (buyback) dalam rangka merespons kondisi pasar. Rencana buyback ini diumumkan pada Selasa, 25 Maret 2025, sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menjaga stabilitas pasar saham nasional.
Dikutip Kabarbursa.com dari keterbukaan informasi Selasa, 25 Maret 2025, rencana buyback oleh BCA ini akan dilaksanakan dengan nilai maksimal Rp1 triliun dan tidak akan melebihi 20 persen dari modal disetor perseroan. Perseroan juga memastikan bahwa saham yang beredar di publik (free float) tidak akan jatuh di bawah 7,5 persen setelah aksi korporasi ini.
Lebih lanjut, dalam keterangan tersebut disampaikan bahwa rencana buyback tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap aktivitas operasional, keuangan, ataupun keberlanjutan bisnis perusahaan. Dana yang digunakan dalam pembelian saham kembali berasal dari kas internal perusahaan, tanpa melibatkan pembiayaan eksternal. Dampak terhadap laporan keuangan diproyeksikan minimal.
Berdasarkan proyeksi keuangan 2024, nilai aset setelah buyback hanya turun Rp1 triliun menjadi Rp1.448,3 triliun. Laba bersih turun tipis dari Rp54,7 triliun menjadi Rp54,6 triliun. Sementara rasio-rasio utama seperti CAR, ROA, dan ROE mengalami koreksi kecil masing-masing sebesar 0,8 bps, 0,5 bps, dan 2,9 bps.
Tujuan Strategis Buyback
BCA menyampaikan bahwa buyback dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk menjaga kepercayaan investor dan mendukung stabilitas perdagangan saham BBCA di Bursa Efek Indonesia (BEI). Langkah ini juga merespons kondisi pasar yang mengalami fluktuasi signifikan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan POJK No. 13/2023 dan Surat Edaran OJK No. S-17/D.04/2025.
Buyback akan berlangsung selama tiga bulan, dimulai pada 26 Maret hingga 24 Juni 2025. Pembelian saham akan dilakukan melalui pasar reguler BEI dan hanya dilaksanakan oleh PT BCA Sekuritas. Harga maksimal pembelian saham ditetapkan sebesar Rp9.200 per lembar.
Ketentuan Tambahan dan Kepatuhan Regulasi
Sebagaimana diatur dalam regulasi OJK, BCA menegaskan bahwa pihak-pihak internal seperti komisaris, direksi, pegawai, dan pemegang saham utama dilarang melakukan transaksi atas saham BBCA selama periode buyback berlangsung.
Hasil pembelian kembali saham akan diklasifikasikan sebagai saham tresuri dan dicatat sebagai pengurang ekuitas dalam neraca perseroan. Informasi tambahan mengenai aksi korporasi ini dapat diperoleh melalui kontak resmi Group Corporate Communication and Social Responsibility BCA.
Diberitakan Kabarbursa.com sebelumnya BBCA mencatatkan Net Interest Margin (NIM) terendah dalam setahun terakhir, turun ke level 5,4 persen pada Februari 2025. Penurunan ini menimbulkan pertanyaan apakah pendapatan bank akan ikut tergerus, serta bagaimana strategi BBCA dalam menjaga profitabilitas di tengah kondisi likuiditas yang terbatas.
Equity Research Analyst MNC Sekuritas, Christian Immanuel Sitorus, menjelaskan bahwa meskipun terjadi penurunan NIM, hal ini masih dalam batas moderat dan merupakan siklus normal yang terjadi di sektor perbankan, terutama di awal tahun.
“Jika melihat tren pergerakan NIM BCA dalam lima tahun terakhir, fluktuasi seperti ini bukan hal yang luar biasa. Penurunan NIM pada awal tahun umumnya terjadi karena berbagai faktor, termasuk tekanan likuiditas dan dinamika suku bunga,” ujar Christian.
Meskipun ada tekanan pada NIM, Christian menegaskan bahwa pendapatan bank tidak serta-merta turun. Menurutnya, permintaan kredit masih cukup tinggi, sehingga BCA masih memiliki ruang untuk mempertahankan pendapatannya.
“Kami mengharapkan pendapatan bank tidak turun karena jika itu terjadi, maka likuiditas bisa semakin terbatas. Saat ini, permintaan pinjaman masih tinggi, tetapi kondisi likuiditas memang cukup ketat,” lanjutnya.
BCA disebut telah melakukan efisiensi operasional, terutama pada pengelolaan biaya operasional (OPEX) di kantor cabang. Digitalisasi layanan dan optimalisasi teknologi menjadi langkah utama dalam menekan beban operasional tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Selain itu, Christian juga menyoroti tantangan dalam pengelolaan cost of fund. Menurutnya, persaingan antar bank dalam menarik Dana Pihak Ketiga (DPK) semakin ketat. Jika BCA tidak menaikkan bunga DPK, mereka bisa kehilangan pangsa pasar karena nasabah memilih untuk menempatkan dana di bank lain yang menawarkan bunga lebih tinggi.
Namun, jika bank menaikkan bunga DPK terlalu agresif, maka biaya dana akan meningkat, yang pada akhirnya bisa kembali menekan margin keuntungan.
“Efisiensi cost of fund sangat kompetitif di industri perbankan. Jika BCA tidak menaikkan bunga DPK, mereka bisa kehilangan market share. Sebaliknya, jika menaikkan bunga DPK terlalu tinggi, cost of fund menjadi mahal. Oleh karena itu, bank harus menjaga keseimbangan dalam strategi penghimpunan dana,” jelasnya.
Penurunan NIM Moderat
Penurunan NIM di awal tahun bukanlah sesuatu yang baru dalam industri perbankan. Fluktuasi ini lebih mencerminkan kondisi siklus tahunan dibandingkan dengan indikasi perlambatan yang serius.
Christian menegaskan bahwa sejauh ini, penurunan NIM di BCA masih tergolong moderat dan tidak memberikan tekanan yang signifikan terhadap pendapatan bank.
“Jadi, meskipun NIM BCA mengalami penurunan, ini masih dalam batas yang wajar dan tidak terlalu mengkhawatirkan. Dengan strategi efisiensi yang sudah diterapkan, bank tetap bisa menjaga profitabilitasnya di tengah tantangan likuiditas,” tutupnya.
Sebelumnya BBCA mengalami penurunan Net Interest Margin (NIM) ke level terendah dalam satu tahun terakhir, mencerminkan tantangan profitabilitas bank di tengah kondisi likuiditas yang semakin ketat.
Investment Analyst Stockbit Everson Sugianto, mengungkapkan bahwa NIM bank only BBCA tercatat sebesar 5,4 persen pada Februari 2025, turun dari posisi Januari 2025 di 5,91 persen, dan menjadi level terendah sejak Februari 2024 yang berada di angka 5,33 persen.
“Dengan hasil ini, rata-rata NIM selama dua bulan pertama 2025 mencapai 5,67 persen, sedikit di bawah proyeksi manajemen yang menargetkan kisaran 5,7 hingga 5,8 persen,” jelas Everson.
Turunnya NIM terjadi seiring dengan pertumbuhan pendapatan bunga yang masih terbatas, yang tercatat sebesar Rp7,1 triliun atau naik 4,8 persen secara tahunan, tetapi turun 7,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai perbandingan, pertumbuhan tahunan pendapatan bunga pada kuartal keempat 2024 berada di kisaran 7 hingga 8 persen.
Meski mengalami tekanan pada NIM, Net Interest Income (NII) BBCA tetap tumbuh 6 persen secara tahunan pada Februari 2025 dan selama dua bulan pertama 2025, didorong oleh beban bunga yang masih terkendali. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.