Logo
>

BGN Klaim 198 SPPG Sudah Kantongi Sertifikat Higiene Sanitasi: Data Enggak Sinkron!

BGN berkomitmen penuh menjaga kualitas dan keamanan MBG

Ditulis oleh Desty Luthfiani
BGN Klaim 198 SPPG Sudah Kantongi Sertifikat Higiene Sanitasi: Data Enggak Sinkron!
Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis. Foto: Dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Badan Gizi Nasional (BGN) mengumumkan sebanyak 198 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) per 30 September 2025. Klaim ini langsung menimbulkan sorotan, sebab jumlah tersebut jauh melampaui data resmi sebelumnya yang disampaikan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari, yakni hanya 35 unit.

    “Sampai 30 September 2025, sudah terlapor 198 SPPG yang secara resmi memenuhi standar higiene dan sanitasi, dibuktikan dengan kepemilikan SLHS. Jumlah ini tersebar di Wilayah I sebanyak 102 SPPG, Wilayah II 35 SPPG, dan Wilayah III 61 SPPG,” kata Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Kamis, 2 September 2025

    Lonjakan angka ini dinilai mengindikasikan dua hal: pertama, percepatan signifikan dalam penerbitan sertifikat; kedua, adanya potensi inkonsistensi data antar-lembaga pemerintah. Publik kini mempertanyakan transparansi, mengingat program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebelumnya sempat dihantam kritik akibat kasus keracunan massal di sejumlah daerah.

    Nanik menegaskan BGN berkomitmen penuh menjaga kualitas dan keamanan MBG. “Kami mendorong SPPG yang sudah operasional agar segera mengurus penerbitan SLHS hingga Oktober 2025. Ini menyangkut keamanan pangan dan perlindungan penerima manfaat, sehingga harus diprioritaskan. Kami juga terus memonitor perkembangan sertifikasi SPPG setiap hari,” ujarnya.

    Namun, di balik klaim capaian 198 SPPG, data lain menunjukkan standar tambahan belum merata. Dari ratusan unit SPPG yang beroperasi, baru 26 memiliki HACCP, 15 memiliki NKV, 106 SPPG tercatat memiliki HSP, 23 sudah bersertifikat ISO 22000, 20 mengantongi ISO 45001, dan 34 dengan sertifikat halal. Dengan kata lain, mayoritas SPPG masih berjalan tanpa sertifikasi komprehensif yang menjadi rujukan internasional untuk keamanan pangan.

    “Sertifikasi ini penting sebagai standar penyelenggaraan Program MBG agar meminimalisasi risiko kontaminasi dan gangguan kesehatan. Harapannya, langkah ini bisa membangun kepercayaan penerima manfaat dan masyarakat bahwa BGN berkomitmen mewujudkan zero accident,” tutur Nanik.

    Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Hida, menyatakan pihaknya terbuka atas kritik. “Kami mengapresiasi semua saran dan kritik yang membangun terhadap penyelenggaraan MBG. BGN melakukan perbaikan bertahap dan berupaya memfasilitasi usulan yang relevan, termasuk kepemilikan sertifikat kelayakan SPPG sebagai syarat operasional,” kata Hida.

    Meski demikian, sejumlah ekonom menilai capaian BGN masih sebatas administratif. Kasus keracunan massal yang berulang menunjukkan masalah struktural yang lebih serius.

    Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pembekuan sementara SPPG tidak menyelesaikan persoalan. “Membekukan satu-dua SPPG ibarat menarik rem darurat. Itu penting, tapi tidak memperbaiki sistem keselamatan secara menyeluruh," ujarnya.

    Ia menilai akar persoalan terletak pada desain kebijakan dan kontrak. Insentif kontrak lebih menekankan volume dan harga, sementara aspek keselamatan pangan dikompromikan,” tegas Achmad.

    Menurutnya, BGN perlu mengadopsi sistem pengawasan digital agar keamanan pangan bisa dipantau secara real time. “MBG butuh 

    black box pangan. Setiap boks makanan harus bisa ditelusuri jejak suhu, waktu simpan, dan lokasi produksi,” katanya.

    Achmad juga menyoroti lemahnya regulasi yang ada saat ini. Ia mendesak agar pemerintah segera menerbitkan aturan yang lebih tegas. "Perpres Tata Kelola MBG jangan seremonial, tapi harus memberi wewenang eksekusi cepat untuk stop serve, recall, dan koreksi dalam hitungan jam,” ujarnya.

    Ia menekankan bahwa transparansi dan audit independen adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik. “Tanpa audit terbuka dan data yang sinkron, angka sertifikat hanya jadi klaim di atas kertas," kata Achmad.

    Peringatan Serius Lebih Displin Sesuai Standar

    Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Muhammad Qodari, menegaskan perlunya langkah cepat dan tegas untuk mencegah kasus keracunan MBG. Ia menilai insiden di sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menjadi peringatan serius agar pengelolaan program lebih disiplin dan sesuai standar.

    “Masalah yang sama dicatat oleh tiga lembaga. Bahkan oleh BGN sendiri, angkanya sinkron di sekitar 5.000 kasus. Ini bukan kontradiksi, justru menunjukkan masalah nyata yang butuh penanganan segera,” ujar Qodari, Senin, 22 September 2025 dikutip dari ksp.go.id

    Menurutnya, kasus keracunan dipicu oleh higienitas rendah, suhu yang tidak sesuai standar, kesalahan pengolahan, kontaminasi silang, hingga alergi pada penerima manfaat. Ia menekankan bahwa pemerintah sudah merespons cepat. “Pemerintah tidak buta dan tuli. Pak Mensesneg sudah menyampaikan permintaan maaf dan komitmen evaluasi,” katanya.

    Qodari menyoroti lemahnya penerapan SOP keamanan pangan. Dari 1.379 SPPG, hanya 413 yang memiliki SOP, dan lebih sedikit lagi, 312 benar-benar menjalankannya. 

    “Kalau mau mengatasi masalah ini, SOP Keamanan Pangan harus ada dan dijalankan,” tegasnya.

    Selain itu, ia menekankan pentingnya Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes. Data per 22 September 2025 mencatat, dari total 8.583 SPPG, baru 34 yang memiliki SLHS. “SPPG wajib punya SLHS sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan,” jelasnya.

    Ia menambahkan, regulasi sebenarnya sudah tersedia melalui BGN dengan dukungan BPOM, namun tantangannya ada di pengawasan. “PR-nya adalah aktivasi dan kepatuhan,” ujarnya.

    Qodari juga menyebut mayoritas kasus keracunan terjadi pada SPPG yang baru beroperasi kurang dari sebulan.

    Terkait target 30.000 SPPG untuk menjangkau 83 juta penerima, Qodari mendorong sistem pendaftaran terbuka agar transparan sekaligus menutup celah pungutan liar (pungli). “Kalau ada pungli, alokasi Rp10.000 per anak bisa tergerus, kualitas bahan turun, dan risiko keracunan meningkat,” tegasnya.

    Ia juga mendorong keterlibatan puskesmas dalam pengawasan. “Ada 10 ribu puskesmas di Indonesia. Mereka bisa dilibatkan minimal sebulan sekali, khusus bulan pertama yang kritikal bahkan seminggu sekali,” ujarnya.

    “Sekali lagi, pemerintah tidak tutup mata. Program MBG adalah amanat Presiden untuk menjaga gizi anak bangsa. Kita wajib memastikan program ini terlaksana dengan selamat dan bermartabat,” ujar Qodari.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".