KABARBURSA.COM - Belum adanya kejelasan arah kebijakan yang mampu menenangkan pasar membuat tekanan terhadap rupiah diperkirakan terus berlanjut dalam jangka menengah.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menilai otoritas justru terlihat panik dengan langkah-langkah kebijakan yang inkonsisten, di tengah derasnya arus keluar modal asing dari Surat Berharga Negara (SBN).
Menurut Rully, tren pelemahan rupiah sejalan dengan penguatan Indeks Dolar (DXY) dan kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat. Indeks dolar kembali menembus level 98, tertinggi dalam tiga pekan terakhir, usai rilis data ekonomi AS yang melampaui ekspektasi, jelasnya dalam publikasi riset, Senin 29 September 2025.
Konsumsi masyarakat AS tercatat tumbuh 0,6 persen pada Agustus 2025, lebih tinggi dari perkiraan 0,5 persen. Inflasi inti PCE meningkat 0,3 persen, sesuai dengan konsensus pasar.
Pasar obligasi AS merespons negatif data tersebut. Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melonjak ke 4,18 persen, level tertinggi dalam lebih dari tiga pekan terakhir. Kondisi ini menambah tekanan bagi rupiah, terlebih kepemilikan asing di SBN terus menurun. Di dalam negeri, respons kebijakan justru dinilai kontraproduktif.
Bank Indonesia pada Jumat lalu mengumumkan intervensi melalui berbagai instrumen, termasuk penggunaan cadangan devisa, lantaran rupiah semakin mendekati Rp17.000 per dolar AS. Pemerintah pun sempat menaikkan suku bunga simpanan dolar di bank-bank BUMN untuk menarik dana valas dari luar negeri. Namun kebijakan itu dibatalkan karena justru meningkatkan permintaan dolar.
Rully juga menyoroti risiko tambahan dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan alokasi anggaran Rp335 triliun pada 2026. Program yang tengah disorot akibat kasus keracunan massal tersebut dinilai berisiko besar, tidak hanya membebani fiskal, tetapi juga menggerus kepercayaan publik dan investor.
Dengan kondisi ini, Mirae Asset memproyeksikan tekanan terhadap rupiah akan berlanjut. Cadangan devisa berpotensi terkuras lebih dalam, sementara kepemilikan asing di SBN masih berisiko menyusut lebih jauh, tegas Rully.(*)