KABARBURSA.COM - Kenaikan BI rate menjadi 6,25 persen, level tertinggi sejak 2016, mungkin akan memberikan dukungan sentimen yang lebih positif bagi nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan menengah. Namun, para analis asing mempertanyakan apakah kenaikan bunga pinjaman tersebut akan cukup untuk menarik arus modal asing kembali ke pasar dalam negeri.
Peningkatan nilai tukar rupiah ke level yang lebih kuat akan sangat tergantung pada pertimbangan apakah imbal hasil yang ditawarkan di pasar saat ini akan menjadi lebih menarik atau tetap stagnan. Imbal hasil surat utang rupiah dianggap masih kurang atraktif, terutama jika dibandingkan dengan aset investasi acuan seperti US Treasury, yang masih dipengaruhi oleh ekspektasi kebijakan suku bunga dari Federal Reserve (The Fed).
Yield Treasury, yaitu imbal hasil surat utang AS, untuk tenor pendek 2 tahun saat ini berada di 4,927 persen, sementara untuk tenor 10 tahun berada di 4,638 persen. Sementara itu, imbal hasil SUN (Surat Utang Negara) Indonesia untuk tenor 2 tahun terakhir berada di kisaran 7 persen, dan untuk tenor 10 tahun berada di antara 7,05 persen. Selisih imbal hasil antara SUN dengan Treasury tertahan di kisaran 241 bps, yang lebih kecil dibandingkan dengan India yang memiliki selisih sebesar 255 bps.
Kedepannya, dengan prospek penurunan suku bunga dari The Fed yang semakin mundur, bahkan ada potensi bahwa tidak akan ada pemangkasan suku bunga acuan tahun ini, maka selisih imbal hasil yang masih sempit akan sulit untuk menarik minat asing kembali ke rupiah.
Analisis dari para analis dan ahli strategi dari berbagai sekuritas dan bank investasi global yang dilansir oleh Bloomberg pada Kamis 25 April 2024 memberikan gambaran mengenai hal tersebut.
"Kenaikan BI rate tidak cukup untuk mengembalikan stabilitas rupiah. Kami masih akan melihat depresiasi rupiah lebih lanjut dan apa yang terjadi selanjutnya akan bergantung pada inflasi dan kondisi global," kata Jon Harrison, Direktur Pelaksana Strategi Makro Pasar Negara Berkembang di GlobalData TS Lombard, London.
Obligasi rupiah, menurut pandangannya, masih dibayangi arus keluar modal lebih besar lagi. Memang, kenaikan BI rate akan membantu memoderasi tekanan itu. "Namun, itu tidak cukup untuk membuat likuiditas kembali besar. Masih membutuhkan lebih banyak lagi kenaikan bunga atau kondisi eksternal yang akan mengurangi tekanan inflasi," kata dia.
Strategist di OCBC Singapura Frances Cheung menilai, pasar sejatinya sudah bersiap untuk kenaikan BI rate sampai batas tertentu. Namun, kenaikan 25 bps kemarin mungkin masih akan menyebabkan pelemahan INDOGB (SUN) sebagai reaksi awal. "Dilemanya adalah imbal hasil INDOGB ke tingkat yang dianggap menarik bagi investor asing. Yield Treasury yang lebih rendah dibutuhkan supaya arus masuk modal asing kembali kuat," katanya.
Kenaikan BI rate pada akhirnya memang akan menolong rupiah lebih stabil terutama bila tekanan permintaan dolar AS mereda setelah musim pembayaran dividen. "Namun, arus masuk modal asing ke investasi portofolio sepertinya masih akan sulit mengingat rendahnya premi relatif antara INDOGB dan Treasury. Juga karena investor cenderung berhati-hati terhadap aset-aset rupiah akibat volatilitas rupiah," kata Aditya Sharma, Strategist di Natwest Markets di India.
SRBI bisa jadi pilihan lain bagi para investor asing meski masih lebih tinggi imbal hasil yang ditawarkan oleh aset-aset di pasar berkembang Amerika Latin.
Mengacu pada data Bloomberg, yield SUN 1Y misalnya, pada akhir Maret lalu masih di kisaran 6,25 persen. Namun, tekanan jual yang masif begitu pasar kembali dibuka pasca Idulfitri telah melesatkan imbal hasilnya hingga kini ada di 6,915 persen, naik 9,6 bps dalam sehari atau 61,6 bps sebulan terakhir. Tenor 5Y juga sudah merangsek naik ke level 7,00 persen, naik 50 bps sebulan ini.
"Yield SUN tenor pendek sudah merefleksikan kenaikan BI rate. Namun, imbal hasil tenor menengah dan panjang menurut pandangan kami belum menangkap situasi terakhir. Kami perkirakan, yield SUN 10Y bisa naik lebih tinggi ke 7,2 persen-7,4 persen," kata Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Prayadi dalam catatannya pasca pengumuman BI rate, kemarin.