KABARBURSA.COM - Langkah PT Batu Investasi Indonesia (BII) mengambil alih penuh kendali atas PT Bahtera Bumi Raya Tbk (PGJO) memasuki babak penting. Setelah menguasai 61,96 persen saham atau 493,08 juta lembar, BII kini meluncurkan tender offer untuk menyerap sisa saham publik sebanyak 302,77 juta lembar, yang mewakili sekitar 38,04 persen dari total saham PGJO.
Dengan penawaran ini, BII berpotensi menguasai 100 persen saham PGJO, dan menjadikannya entitas tertutup sepenuhnya.
Penawaran tender offer ini dilakukan dengan harga Rp122 per saham, yang dihitung berdasarkan rata-rata harga tertinggi saham PGJO dalam 90 hari terakhir sebelum pengumuman akuisisi pada April 2025.
Secara formal, angka tersebut sesuai regulasi pasar modal. Tetapi secara faktual, harga itu kini tampak sangat jauh dari realitas pasar.
Jika melihat pada perdagangan Rabu, 22 Oktober 2025, saham PGJO diperdagangkan di kisaran Rp1.115 per lembar. Saham ini melonjak hingga hampir 500 persen dalam enam bulan terakhir. Bahkan dalam sepekan terakhir saja, sahamnya masih naik lebih dari 28 persen, meski hari ini terkoreksi 5,11 persen.
Dengan lonjakan spektakuler seperti ini, harga tender offer Rp122 hanya setara dengan sekitar 11 persen dari harga pasar saat ini. Dengan kata lain, bila investor ingin menjualnya melalui tender, posisi mereka justru akan rugi besar secara nominal.
Namun, di balik euforia harga, kondisi fundamental PGJO sebenarnya menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan keuangan terakhir, perusahaan mencatat kerugian bersih hingga Rp4 miliar pada semester pertama 2025, dengan net profit margin negatif -613,23 persen.
Rasio-rasio keuangannya menunjukkan tekanan yang berat. Price to Book Value (PBV) mencapai 302 kali, Price to Sales Ratio di 1.214 kali, dan Altman Z-Score -26,90. Angka-angka ini merupakan sebuah sinyal kuat dari risiko kebangkrutan.
Selain itu, laba per saham (EPS) tercatat negatif -5,58, yang artinya bahwa PGJO belum menghasilkan nilai ekonomis positif bagi pemegang saham.
Begitupun dari sisi likuiditas. Saham PGJO memang masih memiliki current ratio 2,92, yang menandakan adanya kemampuan jangka pendek untuk naik. Namun, tingginya rasio Days Sales Outstanding di 486 hari mengindikasikan adanya masalah dalam penagihan piutang.
Pun dengan cash conversion cycle-nya yang juga tidak ideal. Bisa dikatakan bahwa kinerja operasional perusahaan masih jauh dari sehat.
Karena itu, banyak analis menilai bahwa harga saham PGJO yang melesat tajam lebih banyak digerakkan oleh spekulasi dan momentum akuisisi BII, bukan karena peningkatan kinerja atau prospek bisnis yang membaik.
Jalan Keluar dari Saham Berfundamental Buruk?
Dengan kondisi seperti ini, tender offer Rp122 bisa dipahami bukan sebagai strategi keuntungan, melainkan sebagai jalur keluar resmi bagi investor publik yang ingin melepas kepemilikannya sebelum kemungkinan perusahaan dikeluarkan dari bursa (delisting).
Bagi investor jangka pendek, jelas tender offer ini tidak menarik. Menjual di harga Rp122 saat pasar menawarkan Rp1.115 sama saja dengan menjual rugi hingga 89 persen. Mereka lebih diuntungkan jika melepas saham langsung di pasar terbuka, sehingga bisa menikmati selisih harga yang luar biasa besar, meski dengan risiko volatilitas tinggi.
Namun bagi investor jangka menengah dan panjang, penawaran tender ini bisa menjadi jalan keluar aman. Sebab, jika BII berhasil menguasai seluruh saham, besar kemungkinan PGJO akan mengajukan delisting dari Bursa Efek Indonesia.
Saat itu terjadi, saham PGJO akan kehilangan likuiditasnya dan tidak bisa lagi diperdagangkan secara bebas. Dalam situasi seperti itu, investor publik yang belum menjual bisa “terjebak” dalam saham privat yang sulit dijual kembali.
Maka, bagi mereka yang ingin memastikan kepastian likuiditas dan menghindari risiko jangka panjang, tender offer ini - meskipun di harga rendah - dapat menjadi opsi strategis untuk keluar.
Pada akhirnya, penawaran tender offer BII terhadap saham PGJO menempatkan investor pada dilema klasik antara harga dan keamanan. Di satu sisi, harga pasar yang melonjak memberikan potensi keuntungan luar biasa dalam jangka pendek.
Di sisi lain, fundamental yang buruk dan potensi delisting menimbulkan risiko jangka panjang yang tidak bisa diabaikan.
Untuk investor spekulatif, bertahan dan memanfaatkan reli harga mungkin masih menggoda. Tetapi bagi investor konservatif yang menilai dari sisi kesehatan keuangan dan keberlanjutan bisnis, menyambut tender offer bisa menjadi pilihan realistis, bukan untuk meraih untung, tetapi untuk menghindari potensi kerugian di masa depan.(*)