KABARBURSA.COM - Mari kita mulai dari premis sederhana: sistem keuangan Islam itu mulia. Ada lima prinsip utama yang menjadi fondasinya, yakni larangan riba (bunga), larangan garar (غرر) atau ketidakpastian, ekonomi berbasis aset nyata, pembagian risiko, serta keadilan dan kesetaraan. Kalau semua ini diterapkan, dunia bakal jadi lebih adil, sejahtera, dan transparan. Tapi, sayangnya, realita enggak seindah idealisme. Fiat currency alias uang kertas yang kita pakai sehari-hari malah seperti antitesis dari semua itu.
Sistem uang fiat ini penuh ketidakpastian, spekulasi, dan ketimpangan yang bikin si kaya makin kaya, sementara yang miskin cuma bisa pasrah. Di tengah kondisi ini, Bitcoin muncul sebagai alternatif yang—menariknya—cocok banget dengan nilai-nilai Islam.
Bayangkan, Bitcoin ini desentralisasi, transparan, dan punya jumlah yang terbatas. Enggak ada ceritanya “uang dicetak seenaknya” oleh otoritas tertentu. Tulisan ini bakal mengulik kenapa Bitcoin bisa dibilang sebagai bentuk uang paling Islami dan kenapa dunia Muslim harus mulai meliriknya.
Apa yang Salah dengan Sistem Fiat?
[caption id="attachment_105658" align="alignnone" width="640"] Ilustrasi. Foto: SeekersPath[/caption]
Sistem fiat berbasis bunga, alias riba. Ini udah jelas haram dalam Islam. Sistem bunga bikin uang menghasilkan uang tanpa aktivitas produktif. Kalau ditelaah lebih jauh, riba ini enggak cuma mengeksploitasi, tapi juga memperbesar kesenjangan sosial. Yang punya modal bisa tidur-tiduran sambil duitnya bertambah, sementara yang enggak punya modal makin terjepit utang.
Masalah berikutnya adalah Cantillon Effect. Dalam sistem fiat, yang paling diuntungkan adalah pihak yang paling dekat dengan sumber penciptaan uang, seperti bank dan pemerintah. Sementara itu, rakyat biasa cuma kebagian imbas inflasi. Harga barang naik, tapi daya beli stagnan.
Lalu ada inflasi. Fiat currency itu gampang banget tergerus nilainya karena pasokannya enggak terbatas. Ini bikin orang-orang miskin makin terpuruk karena uang yang mereka pegang nilainya terus menyusut. Padahal Islam menganjurkan ekonomi berbasis aset nyata, sesuatu yang memiliki nilai intrinsik, bukan sekadar janji kosong seperti uang fiat.
Yang lebih parah, fiat dikontrol oleh segelintir orang. Bayangkan, uang yang kita gunakan bisa dimanipulasi demi kepentingan politik. Berharap kedaulatan ekonomi? Jauh panggang dari api.
Bitcoin, Alternatif Islami untuk Sistem Uang
[caption id="attachment_105667" align="alignnone" width="554"] Ilustrasi. Sumber: The Washington Post.[/caption]
Bitcoin hadir sebagai lawan dari sistem uang fiat. Dilansir dari Bitcoin Magazine, Rabu, 11 Desember 2024, salah satu peneliti Bitcoin muslim, Ghaffar Hussain, memiliki beberapa alasan untuk mendukung argumen ini:
1. Tak Ada Riba di Bitcoin
Bitcoin beroperasi tanpa mekanisme bunga. Enggak ada bank sentral yang bisa “menciptakan uang dari udara” dan memanfaatkan riba untuk keuntungan mereka.
2. Transparansi dan Akuntabilitas
Semua transaksi Bitcoin dicatat di blockchain, buku besar publik yang enggak bisa diubah. Transparansi ini menghilangkan ketidakpastian yang sering ada di sistem fiat.
3. Pasokan Terbatas, Mirip Emas
Total Bitcoin cuma ada 21 juta koin. Enggak bisa ditambah-tambah. Sifat ini mirip emas, yang selama ribuan tahun dianggap sebagai uang Islami yang ideal.
4. Berdasarkan Usaha Nyata
Bitcoin dihasilkan melalui proses proof-of-work, yang butuh energi dan usaha nyata. Ini membuatnya punya nilai intrinsik, sesuai dengan prinsip Islam.
5. Desentralisasi dan Kesetaraan
Bitcoin enggak dikontrol oleh institusi atau pemerintah mana pun yang membuatnya sangat sentralistik. Ini memberi kesempatan pada siapa saja untuk terlibat dalam ekonomi global tanpa hambatan.
Kenapa Dunia Muslim Harus Melirik Bitcoin?
[caption id="attachment_105679" align="alignnone" width="626"] Ilustrasi. Foto: Freepik.[/caption]
Banyak negara mayoritas Muslim menghadapi masalah kronis seperti inflasi tinggi dan akses terbatas ke layanan keuangan tradisional. Dan kalau bicara inflasi, ini bukan lagi sekadar persoalan angka, tapi sudah jadi soal hidup dan mati ekonomi. Lihat saja data yang dipublikasikan Statista mengenai inflasi di dunia Arab pada 2023.
Sudan dan Lebanon mencatat inflasi yang enggak main-main, masing-masing 171,47 persen dan 171,2 persen. Bayangkan, uang yang kemarin bisa beli sepiring nasi sekarang cuma cukup buat beli sendoknya.
[caption id="attachment_105633" align="alignnone" width="2379"] Tingkat inflasi negara-negara Arab pada 2023. Sudan dan Lebanon memiliki tingkat inflasi yang sangat tinggi, melampaui 171 persen, jauh di atas negara lain. Sumber: Statista.[/caption]
Mesir juga enggak jauh lebih baik dengan inflasi 24,39 persen. Bahkan negara-negara yang inflasinya hanya sekitar 9 persen seperti Algeria, Tunisia, atau Komoro, tetap harus bergelut dengan naiknya harga kebutuhan pokok. Sementara itu, negara-negara kaya minyak seperti Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan tentunya Dinasti Arab Saudi memang lebih terkendali dengan inflasi di bawah 4 persen, tapi itu karena mereka punya sumber daya yang bisa diandalkan.
Masalahnya, mayoritas negara dunia Muslim ini enggak punya kemewahan seperti itu. Inflasi bukan cuma angka, tapi efek domino. Ketika uang kehilangan nilainya, harga-harga kebutuhan pokok melambung, rakyat kecil yang paling kena imbas. Kalau kondisi ini terus berlanjut, masa depan ekonomi mereka bisa semakin terjepit.
Di sinilah Bitcoin masuk sebagai solusi. Bitcoin itu enggak kenal inflasi karena jumlahnya sudah dibatasi dari awal: hanya 21 juta koin. Berbeda dengan mata uang fiat yang bisa dicetak semaunya oleh bank sentral (dan seringnya bikin inflasi makin gila-gilaan), Bitcoin menjaga nilainya tetap stabil. Dengan sifat deflasinya, Bitcoin menawarkan cara untuk melindungi kekayaan dari inflasi yang terus menggerus nilai mata uang lokal.
Misalnya saja Sudan atau Lebanon. Kalau rakyatnya punya akses ke Bitcoin, mereka bisa menyimpan uang dalam bentuk kripto ini dan tetap mempertahankan daya beli mereka meski inflasi meroket. Bitcoin juga enggak tergantung pada pemerintah atau bank sentral yang seringnya lebih peduli menyelamatkan kurs mata uang daripada rakyatnya.
Lebih dari itu, Bitcoin juga membuka pintu bagi mereka yang selama ini terisolasi dari layanan keuangan tradisional. Bayangkan di kawasan seperti Somalia, di mana akses ke bank hampir tidak ada, Bitcoin bisa jadi solusi untuk menyimpan dan mentransfer uang tanpa perlu perantara.
Jadi, kalau dunia Muslim serius mencari jalan keluar dari jebakan inflasi dan ketimpangan ekonomi, Bitcoin mungkin bukan sekadar alternatif, tapi kebutuhan yang mendesak. Tinggal bagaimana keberanian para pemimpinnya untuk mengambil langkah revolusioner ini.
Ngomong-ngomong, Bitcoin menawarkan solusi nyata:
1. Lindung Nilai dari Inflasi
Bitcoin adalah aset deflasi. Artinya, nilainya cenderung naik seiring waktu, melindungi kekayaan dari erosi inflasi.
2. Solusi bagi yang tak Terjangkau Bank
Jutaan Muslim masih unbanked alias enggak punya akses ke bank. Bitcoin memungkinkan mereka untuk menyimpan dan mentransfer kekayaan tanpa perantara.
3. Efisiensi Pengiriman Uang
Negara-negara Muslim adalah penerima remitansi terbesar di dunia. Dengan Bitcoin, kiriman uang lintas negara jadi lebih cepat, murah, dan aman.
4. Mengurangi Ketergantungan pada Dolar
Bitcoin memberi kesempatan bagi negara Muslim untuk membangun kedaulatan ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada mata uang asing seperti dolar AS.
Bitcoin bukan cuma teknologi baru, tapi juga sistem keuangan yang mengedepankan keadilan, transparansi, dan kesetaraan—nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Islam. Di tengah kegelisahan akibat sistem fiat yang eksploitatif, Bitcoin menawarkan secercah harapan.
Jika dunia Muslim mau serius mengadopsi Bitcoin, ini bisa menjadi langkah besar menuju kemandirian ekonomi dan kesejahteraan sosial. Masa depan yang adil dan berkelanjutan mungkin saja dimulai dari sini.
Jadi, apakah Bitcoin adalah masa depan dunia Muslim?
Negara-Negara yang Sudah Melegalkan
Setelah bicara tentang Bitcoin sebagai solusi Islami, mari kita geser sedikit pembahasan ke ranah global. Ternyata, beberapa negara sudah melangkah lebih jauh dengan melegalkan Bitcoin, baik sebagai alat transaksi maupun aset investasi. Beberapa di antaranya bahkan punya cerita menarik, terutama soal regulasi dan bagaimana Bitcoin masuk dalam kebijakan ekonomi mereka. Dan di tengah semua itu, El Salvador mencuri perhatian sebagai negara pertama yang benar-benar mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi.
Bitcoin, sejak pertama kali muncul pada 2009, memang menimbulkan dilema bagi banyak negara. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan sistem keuangan yang bebas dari kendali pusat, cocok dengan narasi “kebebasan finansial”. Tapi di sisi lain, Bitcoin juga jadi mimpi buruk bagi otoritas yang suka mengontrol uang rakyat.
Dilansir dari Investopedia, beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa sudah memberikan lampu hijau, meskipun dengan regulasi ketat. Di AS, misalnya, Bitcoin dianggap sebagai properti, jadi setiap transaksi Bitcoin dikenai pajak layaknya jual beli properti. Inggris juga sudah lama mengizinkan penggunaan Bitcoin dan bahkan telah mengatur berbagai jenis aset kripto, mulai dari stablecoin hingga NFT.
Lalu ada Uni Eropa, yang lewat regulasi Markets in Crypto-Assets (MiCA) memberikan pedoman bagi negara-negara anggotanya untuk mengelola Bitcoin dan aset kripto lainnya. Intinya, selama memenuhi aturan yang ada, Bitcoin bisa digunakan secara legal.
Negara-negara seperti Jepang, Jerman, dan Kanada juga sudah melangkah maju, sementara Australia memberi kelonggaran pajak bagi mereka yang hanya menggunakan Bitcoin untuk keperluan pribadi.
El Salvador: Si Berani yang Mengubah Sejarah
Dari semua cerita negara yang bersahabat dengan Bitcoin, El Salvador jelas adalah kisah yang paling berani. Pada 2021, negara ini menjadi yang pertama di dunia yang mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi.
Presiden Nayib Bukele, sosok muda yang ambisius, melihat Bitcoin sebagai cara untuk membawa negaranya ke panggung dunia, sekaligus menyelesaikan beberapa masalah domestik seperti rendahnya inklusi keuangan dan tingginya biaya remitansi.
Langkah ini enggak cuma revolusioner, tapi juga kontroversial. Bukele langsung membeli Bitcoin untuk cadangan negara. Seperti diberitakan Yahoo Finace, pada 5 Desember lalu, Bukele membagikan tangkapan layar kepemilikan Bitcoin El Salvador di X (sebelumnya Twitter). Tangkapan layar tersebut menunjukkan cadangan Bitcoin El Salvador kini bernilai USD603,34 juta (sekitar Rp9,53 triliun dengan kurs Rp15.800), yang mencerminkan peningkatan nilai sebesar 117,74 persen sepanjang 2024.
Keuntungan total negara ini mencapai USD333,59 juta (sekitar Rp5,27 triliun) dari investasi awal sebesar USD269,74 juta (sekitar Rp4,26 triliun). Ini karena didorong oleh lonjakan harga Bitcoin yang melewati USD100.000 (sekitar Rp1,58 miliar) baru-baru ini.
Kenapa El Salvador Berbeda?
Ada beberapa hal yang bikin El Salvador unik dibanding negara-negara lain yang juga punya Bitcoin:
1. Langsung Beli Bitcoin
Sementara negara lain lebih memilih menambang atau menggunakan cara tidak langsung untuk mengumpulkan Bitcoin, El Salvador malah beli langsung. Ini jelas langkah yang berani karena membawa risiko politik besar.
2. Bitcoin Sebagai Alat Pembayaran Resmi
Berbeda dari negara-negara lain yang hanya menganggap Bitcoin sebagai aset investasi, El Salvador menjadikannya mata uang resmi, setara dengan dolar AS. Artinya, bisnis di negara itu harus menerima Bitcoin sebagai pembayaran.
3. Tekanan Internasional
Langkah El Salvador enggak lepas dari kritik. IMF, misalnya, menganggap kebijakan ini bisa merusak stabilitas ekonomi negara. Bahkan, dalam negosiasi pinjaman terbaru dengan IMF senilai USD1,3 miliar, salah satu syaratnya adalah menjadikan penerimaan Bitcoin sebagai pilihan, bukan kewajiban.
Terlepas dari kontroversinya, langkah El Salvador menunjukkan bahwa Bitcoin bukan lagi sekadar teknologi eksperimental. Bitcoin sekarang ada di meja negosiasi ekonomi global, dari pinjaman IMF hingga pembahasan kedaulatan ekonomi.
Rusia Mulai Melirik Bitcoin
Setelah El Salvador menjadi pelopor negara yang menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi, kini giliran Rusia yang mulai memasukkan Bitcoin ke dalam agenda strategis. Tapi, gaya Rusia tentu berbeda. Wakil Duma Negara (atau DPR kalau di Indonesia), Anton Tkachev, baru-baru ini mengusulkan pembentukan cadangan strategis Bitcoin.
Ide ini sudah dikirimkan secara resmi ke Menteri Keuangan Anton Germanovich Siluanov, dan bisa jadi sinyal awal bagaimana Negeri Beruang Merah ini akan memainkan kartu kripto di kancah geopolitik.
Dalam dokumen yang dilaporkan oleh kantor berita RIA Novosti, Tkachev meminta pemerintah Rusia untuk mempertimbangkan Bitcoin sebagai aset cadangan negara. Idenya sederhana tapi ambisius: Bitcoin bisa dijadikan alternatif cadangan, mirip dengan dolar, euro, atau yuan, tapi tanpa kendali geopolitik dari negara lain.
Kenapa ini mendesak? Karena sanksi ekonomi yang terus-menerus membatasi akses Rusia ke sistem pembayaran internasional tradisional. Dengan Bitcoin, Rusia bisa melewati blokade finansial dan tetap beroperasi di pasar global. Bahkan, Bank Sentral Rusia sendiri sudah bersiap menguji pembayaran lintas negara menggunakan kripto.
“Bitcoin adalah alternatif yang independen dari kontrol negara mana pun,” kata Tkachev, dikutip KabarBursa.com dari laman ria.ru di Jakarta.
Dia juga menyoroti bagaimana mata uang tradisional, meski stabil, rentan terhadap inflasi dan manipulasi politik. Dalam kondisi ini, Bitcoin yang desentralisasi terlihat lebih menarik untuk menjaga stabilitas keuangan Rusia.
[caption id="attachment_105142" align="alignnone" width="573"] “Siapa yang bisa melarang penggunaan alat pembayaran elektronik lain? Tidak ada.” – Vladimir Putin menegaskan bahwa Bitcoin dan cryptocurrency tidak bisa dihentikan, sekaligus membuka peluang baru bagi Rusia di tengah dinamika ekonomi global. Foto: Media Sosial X Bitcoin Magazine.[/caption]
Langkah ini sejalan dengan pandangan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang beberapa hari lalu menegaskan bahwa Bitcoin tidak bisa dilarang atau dihentikan. Putin bahkan sudah menandatangani undang-undang yang melegalkan penambangan Bitcoin di Rusia. Artinya, Rusia mulai membuka diri untuk menjadikan Bitcoin bagian dari ekosistem keuangan nasional.
Jika ide Tkachev disetujui, Rusia akan masuk ke daftar negara yang mulai mengumpulkan Bitcoin sebagai aset strategis. Amerika Serikat, El Salvador, bahkan Polandia sudah lebih dulu mengadopsi strategi serupa.
Perang Geopolitik: Bitcoin vs Emas?
Sementara Rusia sibuk merancang cadangan strategis Bitcoin, di Amerika Serikat wacana soal Bitcoin juga panas. Salah satu pendukung terbesar Bitcoin, Michael Saylor, punya ide radikal: jual semua cadangan emas Amerika, beli Bitcoin.
Menurut CEO MicroStrategy ini, emas itu ketinggalan zaman. Mau mindahin emas ribuan ton ribet. Menurut Saylor, Bitcoin lebih portable, lebih aman, dan lebih modern. "Bitcoin adalah emas digital, 100 kali lebih baik dari emas,” kata Saylor, seperti dikutip Bitcoinist.
Dia bahkan percaya, kalau AS benar-benar mengganti emasnya dengan Bitcoin, nilai aset nasional bisa melonjak hingga USD100 triliun (Sekitar Rp1.580 kuadriliun). "Jual semua emas AS dan beli Bitcoin. Dengan uang hasil jual emas itu, kalian bisa dapat 5 juta Bitcoin," kata Saylor di lain waktu saat wawancara dengan Yahoo Finance.
Presiden terpilih AS Donald Trump kabarnya sedang merancang rencana untuk membangun cadangan strategis Bitcoin lebih dari 1 juta Bitcoin. Langkah ini jelas bikin Rusia semakin waspada.
Bitcoin kini sudah menggerakkan negara-negara besar untuk membangun alat pembayaran baru. Dengan El Salvador memimpin, Amerika mulai merancang strategi besar, dan Rusia masuk arena, Bitcoin telah menjadi pion baru dalam permainan catur geopolitik global.
Langkah Rusia, meski belum final, menunjukkan bahwa Bitcoin semakin relevan, bahkan dalam konteks perang ekonomi dan sanksi internasional. Jika Rusia benar-benar mengadopsi cadangan Bitcoin, dunia keuangan global mungkin akan menghadapi babak baru yang tak kalah seru.
Negara-negara Muslim yang kerap berjuang dengan masalah inflasi dan ketergantungan pada mata uang asing, bisa belajar banyak dari keberanian El Salvador. Bitcoin, seperti yang sudah dibahas sebelumnya, menawarkan alternatif yang lebih adil dan transparan. Tinggal bagaimana negara-negara ini berani mengambil risiko dan mengelola potensi yang ada.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.