KABARBURSA.COM - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, mengungkap bahwa realisasi beban jaminan kesehatan hingga akhir 2023 sebesar Rp158 triliun. hal tersebut menimbulkan beban jaminan kesehatan nasional (JKN) yang cukup besar.
“Dari beban jaminan kesehatan tersebut, BPJS Kesehatan mencatat penyakit yang berbiaya katastropik menempati urutan teratas dalam klaim biaya pelayanan kesehatan Program JKN dan menggerus 25 persen dari total biaya layanan kesehatan di rumah sakit,” kata Ali kepada Kabar Bursa, di Jakarta, Minggu, 16 Juni 2024.
Data terbaru menunjukkan bahwa konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat, menyebabkan lonjakan kasus penyakit terkait tembakau yang termasuk dalam kategori Penyakit Tidak Menular.
“Dari beban jaminan kesehatan tersebut, BPJS Kesehatan mencatat penyakit yang berbiaya katastropik menempati urutan teratas dalam klaim biaya pelayanan kesehatan Program JKN dan menggerus 25 persen dari total biaya layanan kesehatan di rumah sakit,” tambahnya.
Selain itu, konsumsi rokok juga menyebabkan biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif sangat tinggi. Ali menyebut bahwa berdasarkan data di tahun 2023, BPJS kesehatan membayar penyakit berbiaya katastropik sebesar Rp34,7 triliun atau 25 persen dari total beban jaminan kesehatan di tahun tersebut. Ada delapan penyakit yang menghabiskan anggaran tersebut.
Dari Rp34,7 triliun beban penyakit berbiaya katastropik, di posisi pertama sekitar Rp17,6 triliun dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membayar pelayanan kesehatan peserta JKN yang mengidap jantung dengan jumlah kasus 20 juta.
Kanker di posisi kedua dengan biaya sebesar Rp5,9 triliun untuk 3,9 juta kasus. Di posisi ketiga ada penyakit stroke dengan jumlah kasus 3,4 juta dan menghabiskan anggaran Rp5,2 triliun.
Lalu diikuti penyakit gagal ginjal yang kasusnya mencapai 1,5 juta dengan biaya Rp2,9 triliun, lalu ada sirosis hati sebanyak 236 ribu kasus dengan biaya Rp446 milar, leukimia sebanyak 161 ribu kasus dengan biaya Rp579 miliar.
“BPJS Kesehatan juga menjamin penyakit haemofilia mencapai 149 ribu kasus dengan biaya Rp1,2 triliun dan talasemia sebanyak 347 kasus dan mengahiskan biaya Rp764 miliar,” paparnya.
Ali juga mengatakan jika saat ini BPJS Kesehatan tidak dalam kapasitas menyebutkan bahwa semua penyakit yang disebutkan di atas merupakan penyakit akibat rokok sepenuhnya.
“Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut oleh pihak terkait. Namun data penyakit berbiaya katastropik ini merupakan penyakit akibat gaya hidup tidak sehat, sehingga menyebabkan komplikasi dan pembiayaan kesehatan yang berbiaya tinggi,” tutupnya.
Pemerintah sebelumnya menerbitkan peraturan terkait kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2023. Dilansir dari laman Sekretariat Negara, kenaikan tarif cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi maupun produksi rokok. Kenaikan itu turut mendongkrak nilai penyaluran DBH CHT menjadi 3 persen atau Rp 5,47 triliun pada 2023, meningkat sekitar 39,4 persen dari DBH CHT tahun 2022 yang masih menggunakan alokasi 2 persen.
Namun, Kementerian Keuangan kemudian menurunkan DBH CHT pada 2024 menjadi sebesar Rp 4,9 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 9,26 persen dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengungkapkan penurunan DBH cukai hasil tembakau ini disebabkan oleh penurunan penerimaan cukai hasil tembakau pada 2023 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Menurut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2024, Provinsi Jawa Timur adalah wilayah dengan penerima DBH CHT tertinggi, yakni sebesar Rp 2,77 triliun. Hal ini tak lepas karena daerah tersebut merupakan sentra penghasil tembakau terbesar di indonesia. (Dian/*)