KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa pada triwulan II-2024, industri perbankan Indonesia menunjukkan sikap pesimistis terhadap kondisi makroekonomi, sebagaimana tercermin dari penurunan Indeks Ekspektasi Kondisi Makroekonomi (IKM) dari 47 menjadi 31.
Ini diungkapkan dalam laporan hasil Survei Orientasi Bisnis Perbankan (SBPO) triwulan II-2024 yang dirilis pada Rabu 29 Mei 2024 lalu.
Menurut laporan tersebut, ketidakpastian ekonomi global menjadi salah satu faktor utama penyebab pesimisme ini. Industri perbankan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2024 akan mengalami peningkatan, didorong oleh konsumsi masyarakat yang meningkat terkait momen Lebaran dan hari libur.
Namun, terkait inflasi, diperkirakan akan terjadi kenaikan karena naiknya harga pangan akibat El Nino dan permintaan yang meningkat pasca-Lebaran. Konflik geopolitik di Timur Tengah juga diperkirakan akan berdampak pada kenaikan harga minyak.
Industri perbankan juga memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sebesar 25 basis poin pada triwulan II-2024. Ini sejalan dengan kebijakan BI yang menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen pada Mei 2024.
Selain itu, kebijakan suku bunga The Fed juga menjadi sorotan, terutama karena ketidakpastian terkait kebijakan yang diambil menyusul kondisi inflasi yang masih tinggi.
Survei SBPO melibatkan 95 bank sebagai responden, yang merupakan bagian besar dari total aset bank umum.
Suku Bunga Acuan
Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk tidak mengubah suku bunga acuannya pada bulan Mei 2024, setelah peningkatan sebesar 25 basis poin pada bulan April. Keputusan ini diambil untuk menjaga inflasi tetap stabil di kisaran sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen hingga akhir tahun 2025.
"Pemutusan ini konsisten dengan pendekatan kebijakan moneter yang pro-stabilitas, yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi dalam batas yang ditetapkan," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu 22 Mei 2024.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Langkah-langkah kebijakan makroprudensial yang longgar bertujuan untuk mendorong kredit kepada sektor usaha dan rumah tangga.
"Penting untuk memperkuat infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran serta memperluas adopsi digitalisasi dalam sistem pembayaran," tegasnya.
Keputusan tentang suku bunga acuan juga mempertimbangkan kondisi global saat ini, termasuk penguatan ekonomi AS yang didukung oleh pertumbuhan domestik yang kuat dan inflasi yang tetap terkendali.
"Inflasi AS masih tinggi, yang dapat memicu penurunan suku bunga Federal Reserve pada akhir 2024. Namun, tegangan geopolitik global yang memburuk belum berlanjut," ungkap Perry.
Peningkatan aliran modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia, telah membantu menekan tekanan terhadap mata uang lokal. Namun demikian, perubahan dalam kebijakan The Fed dan dinamika geopolitik perlu terus dipantau karena dapat mempengaruhi pasar keuangan global.
Perry menekankan bahwa kebijakan moneter yang diambil juga bertujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2024 menunjukkan tanda-tanda yang positif, didukung oleh konsumsi swasta dan publik yang meningkat serta investasi yang terus berkembang.
Namun demikian, tantangan masih ada, terutama dari sisi ekspor yang masih melambat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menjaga pertumbuhan melalui kebijakan makroprudensial dan stabilisasi neraca perdagangan.
Dengan semua pertimbangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan berada dalam kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen pada tahun 2024. Bank Indonesia akan terus bekerja sama dengan pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui kebijakan yang akomodatif.
Selain itu, kondisi eksternal yang stabil, ditandai dengan surplus neraca perdagangan dan cadangan devisa yang cukup, memberikan dukungan tambahan bagi ekonomi Indonesia. Dengan demikian, Bank Indonesia optimis bahwa inflasi akan tetap terkendali dalam sasaran yang ditetapkan, yaitu 2,5 persen plus minus 1 persen.
Inflasi Turun
Sejumlah ekonom mengindikasikan bahwa tingkat inflasi pada bulan Mei 2024 kemungkinan akan mengalami penurunan, seiring dengan turunnya harga-harga pangan dan berakhirnya momentum Ramadan.
Inflasi bulanan pada Mei 2024 diproyeksikan berada di kisaran antara 0,07 persen hingga 0,07 persen. Sementara itu, untuk inflasi tahunan pada bulan Mei, perkiraannya berkisar antara 2,94 persen hingga 2,98 persen.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, memperkirakan bahwa laju inflasi bulanan pada Mei mencapai 0,08 persen, sementara inflasi tahunan mencapai 2,94 persen.
"Perlambatan inflasi didorong oleh penurunan harga bahan pokok, terutama beras, serta sejumlah komoditas lainnya seperti bawang merah, daging ayam, telur ayam, dan daging sapi," ungkap David, Kamis 30 Mei 2024.
Dia menjelaskan bahwa perlambatan ini terjadi secara musiman, karena harga-harga bahan pokok cenderung turun setelah momen liburan Lebaran.
Namun demikian, David juga memperingatkan tentang kemungkinan kenaikan harga energi dan inflasi impor dalam jangka menengah yang perlu diwaspadai, sambil menekankan pentingnya menjaga stabilitas kurs.
Ekonom dari Bank Danamon, Irman Faiz, mengatakan bahwa inflasi bulan Mei 2024 diperkirakan akan sedikit menurun menjadi 2,98 persen tahunan, seiring dengan perlambatan inflasi makanan yang volatile akibat musim panen yang melimpah.
"Iklim bisnis manufaktur juga menunjukkan tanda-tanda moderasi sejalan dengan penurunan harga komoditas pangan dan barang impor global," ujar Irman kepada Kontan.
Meskipun demikian, dia menegaskan bahwa risiko inflasi masih cenderung meningkat akibat ketidakpastian geopolitik global dan potensi perpanjangan musim El Nino.
Irman juga menyoroti pentingnya memastikan ketersediaan stok pangan yang memadai untuk mengantisipasi kemungkinan lonjakan harga pangan.
Sebagai kesimpulan, proyeksi inflasi untuk bulan Mei 2024 menunjukkan adanya perlambatan dari bulan sebelumnya, namun risiko inflasi tetap perlu diwaspadai mengingat kondisi eksternal dan faktor-faktor internal yang mempengaruhi dinamika harga.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.