KABARBURSA.COM - Ekonom Yanuar Rizky menyoroti aturan dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2025 yang mengatur Danantara, khususnya Pasal 3X ayat 1 yang menyatakan bahwa organ dan pegawai badan ini bukan penyelenggara negara.
Menurutnya, aturan ini berimplikasi pada privatisasi penuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masuk ke dalam Danantara.
“Dengan masuknya seluruh BUMN ke Danantara dengan dalih leverage untuk mengundang investor asing, sama artinya dengan privatisasi BUMN 100 persen. Ini karena Danantara hakikatnya diperlakukan sebagai entitas swasta,” ujar Yanuar kepada KabarBursa.com, Senin, 31 Maret 2025.
Ia membandingkan konsep Danantara dengan State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC) di China yang dibentuk pada 2003.
Menurutnya, meskipun seluruh BUMN China berada di bawah SASAC, badan tersebut tetap berstatus sebagai penyelenggara negara. Hal ini berbeda dengan Danantara yang justru didefinisikan sebagai entitas yang bukan bagian dari negara.
“China membuat Sovereign Wealth Fund (SWF) yang terpisah dari SASAC. China Investment Corporation (CIC) dibentuk pada 2008 dari surplus laba moneter bank sentralnya, yang berasal dari keuntungan valuta asing akibat krisis Wall Street 2008,” jelasnya.
Yanuar pun mempertanyakan ide yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam merancang aturan ini, terutama terkait status Danantara yang tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
“Kalau kita, idenya dari mana untuk dengan tegas menyatakan bukan penyelenggara negara, padahal mengendalikan harta negara?” tanyanya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa kebijakan ini bukan memperkuat negara, tetapi justru melemahkan. Ia membandingkannya dengan model konsolidasi BUMN di China melalui SASAC atau di Malaysia dengan Petronas dan Khazanah yang masih berhubungan erat dengan keuangan negara.
“Kita malah pelemahan negara, yang nggak ada hubungan lagi ke keuangan negara. Jadi inbreng sama dengan hibah ke Danantara, bukan pemindahan antar lembaga negara. Ini bukan semata menghindari KPK dan BPK, tetapi sudah menyentuh aspek filosofi dalam konstitusi soal aset negara,” tegasnya.
Emiten BUMN yang Bergabung dengan Danantra
PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau BKI telah resmi bertransformasi menjadi perusahaan holding operasional Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara, yang kini dikenal sebagai Danantara. Transformasi ini terjadi seiring dengan pengalihan saham Seri B dari sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada BKI melalui skema inbreng yang ditetapkan oleh pemerintah.
Langkah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2025 mengenai Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham PT Biro Klasifikasi Indonesia untuk Pendirian Holding Operasional.
Meskipun struktur kepemilikan saham BKI kini sepenuhnya berada di bawah kendali negara, dengan tambahan kepemilikan saham Seri A Dwiwarna oleh BUMN terkait, pemerintah tetap mempertahankan kontrol terhadap perusahaan-perusahaan yang berada dalam holding ini. Sebelumnya, kepemilikan saham dilakukan secara langsung oleh negara, namun kini telah dialihkan menjadi kepemilikan tidak langsung melalui PT BKI.
Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria, menjelaskan bahwa pemilihan BKI sebagai holding operasional didasarkan pada regulasi yang mengatur struktur kepemilikan holding. Dalam skema ini, 99 persen saham dimiliki oleh Danantara, sementara 1 persen sisanya dikuasai oleh pemerintah atau Kementerian BUMN.
Pemerintah menggunakan pendekatan assisting dalam skema ini guna menghindari kewajiban setoran modal atas kepemilikan 1 persen BUMN terhadap total aset yang dikonsolidasikan.
Dony menegaskan bahwa dalam pemilihan perusahaan induk ini, pemerintah memilih perusahaan dengan kondisi keuangan yang paling sehat dan tidak memiliki masalah finansial yang signifikan. BKI dinilai memenuhi kriteria tersebut, karena memiliki struktur keuangan yang solid dan tidak memiliki beban utang besar, sehingga mempermudah proses konsolidasi BUMN yang berada di bawahnya.
Setelah transformasi ini, BKI akan beroperasi dengan nama baru, yaitu Danantara.
Setelah seluruh BUMN yang tergabung dalam holding ini dialihkan melalui skema inbreng, Danantara akan melakukan pemetaan ulang terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Langkah ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan bisnis dan meninjau kembali struktur holding BUMN yang telah ada. Proses pemetaan ulang ini akan melibatkan analisis mendalam terhadap model bisnis dan strategi operasional masing-masing perusahaan guna memastikan efisiensi serta sinergi yang optimal dalam ekosistem holding.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per 27 Maret 2025, sebanyak 14 perusahaan BUMN telah mengalihkan saham Seri B dan C mereka ke PT Biro Klasifikasi Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam holding ini mencakup berbagai sektor, mulai dari perbankan hingga industri konstruksi dan infrastruktur.
Beberapa di antaranya adalah:
- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk,
- PT Bank Mandiri (Persero) Tbk,
- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk,
- PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk,
- PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk,
- PT Krakatau Steel (Persero) Tbk,
- PT Waskita Karya (Persero) Tbk,
- PT Wijaya Karya (Persero) Tbk,
- PT Adhi Karya (Persero) Tbk.
Sejarah PT BKI sendiri dimulai sejak pendiriannya pada 1 Juli 1964 sebagai badan klasifikasi nasional yang ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan klasifikasi kapal niaga berbendera Indonesia.
Status hukum BKI mengalami perubahan pada tahun 1977, di mana perusahaan ini bertransformasi menjadi PT (Persero) Biro Klasifikasi Indonesia. Sejak saat itu, BKI menjadi badan klasifikasi keempat di Asia setelah Jepang, China, dan Korea, yang bertugas menilai kelayakan kapal niaga di Indonesia serta kapal asing yang beroperasi di perairan nasional.
Dalam menjalankan tugasnya, BKI melakukan klasifikasi terhadap kapal dengan menilai struktur lambung, mesin, dan sistem kelistrikan guna memberikan evaluasi teknis terhadap kelayakan kapal untuk berlayar.
Dengan perubahan status menjadi holding operasional Danantara, perusahaan ini kini memiliki tanggung jawab yang lebih luas dalam mengelola dan mengoptimalkan aset serta bisnis BUMN yang tergabung di dalamnya.
Transformasi ini menandai langkah strategis pemerintah dalam mengkonsolidasikan kepemilikan BUMN guna meningkatkan efisiensi, memperkuat sinergi antarperusahaan, serta menciptakan holding yang lebih kuat dan kompetitif dalam skala nasional maupun internasional.(*)