KABARBURSA.COM - Ketegangan geopolitik kembali mengguncang pasar keuangan global, terutama di kawasan Asia-Pasifik, yang mencatat pelemahan signifikan pada awal pekan ini, Senin, 7 April 2025. Sentimen pelaku pasar dibayangi kekhawatiran atas kemungkinan pecahnya perang dagang global, menyusul kebijakan tarif baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Langkah tersebut sontak memicu gelombang aksi jual dan meningkatnya penghindaran risiko di kalangan investor.
Pasar saham di Hong Kong menjadi yang paling terpukul, dengan Indeks Hang Seng terjun bebas hingga 9,56 persen pada awal perdagangan. Tidak jauh berbeda, indeks utama di Tiongkok daratan, CSI 300, ikut terseret dengan penurunan tajam sebesar 4,82 persen. Tekanan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dampak lanjutan dari ketegangan perdagangan terhadap ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar di Asia.
Di Jepang, gejolak pasar juga tidak terbendung. Indeks Nikkei 225 anjlok 6,38 persen, menyentuh level terendahnya dalam 18 bulan terakhir. Sementara indeks Topix, yang mencerminkan kinerja lebih luas dari pasar saham Jepang, turun lebih dalam, yaitu 6,52 persen.
Kondisi serupa terjadi di Korea Selatan, di mana indeks Kospi sempat memangkas sebagian kerugian namun tetap turun sebesar 4,32 persen. Saham-saham berkapitalisasi kecil di bursa Kosdaq mengalami tekanan lebih besar, dengan penurunan 3,52 persen.
Australia pun tak luput dari dampak gejolak ini. Indeks S&P/ASX 200 terkoreksi 4,5 persen, dan secara teknikal telah memasuki wilayah koreksi setelah mencatat penurunan sebesar 11 persen dari puncak tertingginya yang tercapai pada Februari lalu. Penurunan ini memperlihatkan kekhawatiran investor terhadap dampak global dari konflik dagang, termasuk potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan arus perdagangan internasional.
Kepanikan juga merambah ke pasar energi. Harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat turun lebih dari 3 persen, dengan West Texas Intermediate (WTI) berada di kisaran USD59,74 per barel—level terendah sejak April 2021. Penurunan ini dipicu oleh surutnya optimisme pasar bahwa pemerintahan Trump akan mampu mencapai kompromi tarif dengan negara-negara mitra dagangnya.
Wall Street Terpuruk
Sementara itu, pasar saham Amerika Serikat mengalami tekanan hebat pada akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average mencatat penurunan harian terbesar sejak Juni 2020, jatuh 2.231 poin atau 5,5 persen ke level 38.314,86. Indeks S&P 500 terpangkas hampir 6 persen, sementara Nasdaq Composite—yang banyak dihuni oleh perusahaan teknologi dengan eksposur kuat ke pasar Tiongkok—turun 5,8 persen.
Penurunan Nasdaq ini sekaligus menandai koreksi lebih dari 20 persen dari puncak rekornya pada Desember, yang dalam terminologi Wall Street berarti telah memasuki fase pasar bearish.
Meskipun pasar menunjukkan kepanikan luas, pejabat ekonomi utama di pemerintahan Trump bersikukuh bahwa kebijakan tarif akan tetap diterapkan, dengan menyatakan bahwa potensi inflasi atau resesi tidak menjadi alasan untuk mengubah pendekatan mereka. Namun demikian, pelaku pasar semakin gelisah melihat adanya saling balas kebijakan antara AS dan Tiongkok yang dapat menyeret ekonomi global ke dalam ketidakpastian yang lebih dalam.
Gelombang aksi jual ini menunjukkan bahwa pasar tengah memasuki fase volatilitas tinggi, dengan investor cenderung menghindari aset-aset berisiko. Ketidakpastian yang melingkupi arah kebijakan perdagangan global menjadi momok utama, dan selama belum ada kepastian diplomatik antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, tekanan di pasar saham kemungkinan masih akan berlanjut.
IHSG Masih Terkoreksi Meskipun Berpotensi Rebound
Sementara, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan mengalami tekanan berat pada perdagangan pekan pertama setelah liburan. Menurut analis pasar dan Co-Founder Pasardana Hans Kwee, respons pelaku pasar terhadap kebijakan tarif Trump sangat negatif, karena memicu kekhawatiran akan meluasnya perang dagang dan meningkatkan risiko resesi global.
Hans memproyeksikan bahwa IHSG berpotensi melemah tajam pada hari Selasa, 8 April 2025, mengikuti jejak bursa global yang terkoreksi saat pasar Indonesia masih tutup. Meski begitu, ia juga melihat peluang adanya rebound teknikal di akhir pekan mendatang.
Ia menyarankan investor untuk bersikap taktis dengan melakukan aksi beli saat harga saham mengalami penurunan signifikan atau strategi buy on weakness, karena koreksi dalam bisa menjadi peluang jangka menengah.
Secara teknikal, pergerakan IHSG berada dalam rentang support di kisaran 6.179 hingga 5.967, dengan resistance di level 6.550 sampai 6.706. Ini menunjukkan bahwa tekanan jual masih mungkin terjadi, namun ruang pemulihan juga terbuka jika sentimen global mulai membaik.
Efek dari kebijakan tarif ini tak hanya mengganggu kestabilan saham, namun juga memperburuk ekspektasi ekonomi makro. Bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) kini diprediksi akan memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga hingga empat kali sepanjang tahun ini, untuk meredam dampak perlambatan ekonomi domestik.
Di Eropa, tekanan serupa juga dirasakan, dengan proyeksi bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan melakukan pelonggaran moneter melalui pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam tiga putaran mulai akhir bulan April.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena beban tarif cukup tinggi, dengan total beban mencapai 42 persen jika digabungkan dengan tarif dasar. Situasi ini menimbulkan tantangan besar bagi pelaku ekspor nasional. Maka dari itu, negosiasi cepat dan aktif dengan pemerintah AS menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah tekanan lanjutan terhadap ekonomi domestik.
Dari sisi performa pasar, data dari aplikasi IPOT mencatat bahwa sepanjang tahun berjalan hingga akhir Maret 2025, IHSG mengalami penurunan sebesar 8,0 perseb, dari level 7.079 ke 6.472. Namun demikian, menjelang libur Lebaran, IHSG sempat mencatatkan penguatan mingguan sebesar 3,2 persen sebagai respons optimis terhadap kemungkinan stabilisasi ekonomi global.
Meskipun sempat bangkit, tren utama masih menunjukkan tekanan, dan langkah ke depan akan sangat ditentukan oleh respons kebijakan fiskal serta arah diplomasi dagang Indonesia.
Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian ini, pasar saham Indonesia berada di persimpangan penting. Keseimbangan antara risiko geopolitik dan peluang kebijakan akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah IHSG ke depan.(*)