Logo
>

Bursa Asia Tersungkur Gegara Nvidia dan Tarif Dagang AS

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Bursa Asia Tersungkur Gegara Nvidia dan Tarif Dagang AS
Ilustrasi - IHSG dibuka menghijau pada perdagangan hari ini. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bursa saham Asia babak belur pada Jumat, 28 Februari 2025, setelah aksi jual besar-besaran di Wall Street. Para trader masih mencerna laporan keuangan Nvidia yang kurang memuaskan, rincian lebih lanjut soal tarif dagang AS, dan data ekonomi yang campur aduk.

    Saham di Australia dan Jepang langsung dibuka merah setelah indeks S&P 500 anjlok 1,6 persen pada Kamis kemarin dan menghapus semua keuntungan yang sudah dikumpulkan sepanjang tahun ini. Nasdaq 100 bahkan turun lebih dalam, 2,8 persen, dengan saham teknologi jadi beban utama.

    Indeks Nikkei 225 di Jepang anjlok 2,81 persen, sementara Topix melemah 1,87 persen. Di Korea Selatan, Kospi merosot 3,15 persen, sedangkan Kosdaq yang didominasi saham berkapitalisasi kecil turun lebih dalam, yakni 3,20 persen.

    Di Hong Kong, indeks Hang Seng terkoreksi 2,34 persen, sementara CSI 300 yang mencerminkan pergerakan saham unggulan di daratan China turun 0,62 persen. Saham-saham di India juga tertekan, dengan Nifty 50 melemah 0,99 persen.

    Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG di Bursa Efek Indonesia dibuka turun 73,27 poin atau 1,13 persen dan kini berada di level 6.412,18.

    Penurunan saham-saham di Asia seiring dengan anjloknya saham-saham berkapitalisasi besar di AS. Nvidia, misalnya, longsor 8,5 persen, pertanda hasil laporannya bikin pasar kecewa. Indeks Magnificent Seven juga tumbang 3 persen, jadi kejatuhan paling dalam sejak Desember lalu. Sementara itu, pasar obligasi AS agak stabil setelah sebelumnya terjadi aksi jual di tenor panjang, sedangkan obligasi jangka pendek justru naik.

    Dolar AS makin perkasa setelah Presiden Donald Trump memastikan tarif 25 persen untuk Kanada dan Meksiko bakal berlaku mulai 4 Maret, sementara impor dari China kena tambahan beban 10 persen. Para ekonom pun memperingatkan kebijakan ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi AS, memperburuk inflasi, dan bahkan memicu resesi di Kanada dan Meksiko. Kalau tidak ada pembatalan mendadak, maka pajak perdagangan ini bakal mencakup lebih dari USD1 triliun nilai impor.

    “Pasar yang sebelumnya mulai kebal terhadap isu tarif dagang kini harus kembali mempertimbangkan dampaknya,” tulis Kepala Riset Pepperstone Group, Chris Weston, dikutip dari The Economic Times di Jakarta, Jumat.

    Sementara itu, data ekonomi AS menunjukkan bahwa ekonomi tetap tumbuh solid, meskipun inflasi ternyata lebih keras kepala dari perkiraan awal di akhir 2024. Produk Domestik Bruto (PDB) AS tumbuh 2,3 persen secara tahunan di kuartal keempat, dengan konsumsi masyarakat yang masih kuat di level 4,2 persen.

    “Investor kepingin suku bunga The Fed turun, tapi mereka juga enggak mau kalau itu terjadi gara-gara ekonomi beneran memburuk,” kata Bret Kenwell dari eToro. “Minimal kalau ekonomi melambat, inflasi juga harus ikut turun.”

    Dampak dari tarif dagang juga langsung terasa di pasar komoditas. Kabar kenaikan pajak untuk Kanada dan Meksiko—dua pemasok minyak mentah terbesar ke AS—bikin harga minyak naik. West Texas Intermediate (WTI) naik 2,2 persen pada Kamis dan tembus di atas USD70 per barel. Sementara itu, emas bersiap mencatatkan kerugian mingguan pertamanya tahun ini.

    Di pasar mata uang, yen melemah terhadap dolar AS setelah inflasi di Tokyo melambat lebih dari yang diperkirakan. Meski begitu, Bank Sentral Jepang tampaknya masih akan tetap membuka opsi kenaikan suku bunga.

    Gubernur Bank of Japan, Kazuo Ueda, kembali menegaskan pihaknya siap turun tangan di pasar obligasi kalau terjadi lonjakan imbal hasil yang terlalu cepat. Pernyataan ini ia sampaikan dalam pertemuan para pejabat ekonomi di Cape Town pekan ini.

    Di Asia, India sedang sibuk mencari cara buat menurunkan tarif impor untuk berbagai produk, termasuk mobil dan bahan kimia. Tujuannya? Menghindari tarif balasan dari Trump. Usulan pemangkasan tarif ini lebih luas dibanding sebelumnya, seperti pada motor gede dan bourbon whiskey.

    Beberapa data yang akan dirilis di Asia hari ini termasuk angka PDB kuartal keempat India dan data perdagangan Sri Lanka.

    Inflasi PCE Dipantau Ketat, The Fed Belum Mau Ubah Suku Bunga

    Presiden Federal Reserve Bank of Cleveland, Beth Hammack, menegaskan bahwa suku bunga saat ini belum cukup ketat untuk benar-benar menekan inflasi. Karena itu, menurutnya, The Fed masih perlu mempertahankan kebijakan moneter saat ini sambil menunggu bukti lebih kuat bahwa inflasi memang kembali ke target 2 persen.

    Pernyataan ini muncul menjelang rilis data inflasi pilihan The Fed, yaitu Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index, yang akan diumumkan Jumat ini. Data ini diperkirakan menunjukkan perlambatan inflasi ke level terendah sejak Juni tahun lalu. Tapi karena penurunan harga masih berjalan lambat, bank sentral kemungkinan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan soal suku bunga ke depan.

    Para ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan core PCE, yang tidak memasukkan harga makanan dan energi yang cenderung fluktuatif, naik 2,6 persen secara tahunan hingga Januari. Inflasi PCE secara keseluruhan juga diperkirakan melandai dibanding tahun sebelumnya.

    Namun, analis memperingatkan laju penurunan inflasi ini belum tentu bertahan lama. “Ada indikasi bahwa tekanan harga bisa kembali meningkat, bahkan sebelum efek tambahan dari tarif baru diterapkan. Ini harus jadi peringatan bahwa inflasi jangka pendek masih berisiko,” ujar Jim Baird dari Plante Moran Financial Advisors.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).