Logo
>

Bursa Global Berdarah akibat Tarif Trump, Apa Selanjutnya?

Indeks utama di Eropa langsung terhempas menyusul pelemahan di Asia

Ditulis oleh Syahrianto
Bursa Global Berdarah akibat Tarif Trump, Apa Selanjutnya?
Papan pantau saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menampilkan indeks saham dunia. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pasar saham global terguncang hebat pada Senin, 7 April 2025, seiring ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas dan memicu aksi jual masif. Lonjakan tarif oleh pemerintah AS dan respons keras dari Beijing menjadi pemicu utama kejatuhan bursa, memperdalam kekhawatiran investor atas potensi resesi global yang semakin nyata.

    Indeks utama di Eropa langsung terhempas menyusul pelemahan di Asia. Lonjakan ini terjadi tak lama setelah Gedung Putih mengumumkan paket tarif baru yang menargetkan berbagai produk strategis dari China. Menurut laporan Reuters, AS menaikkan tarif rata-rata dari 7,6 persen menjadi lebih dari 15 persen pada barang-barang seperti elektronik, suku cadang otomotif, dan logam. 

    Beijing tak tinggal diam, sebagai balasan, China menerapkan tarif hingga 34 persen pada produk pertanian dan energi dari AS, termasuk jagung, kedelai, dan LNG. Ini bukan sekadar lanjutan dari perang dagang lama, tapi sudah berubah menjadi perang tarif level dewa. Dibandingkan era awal ketegangan 2018–2019, di mana tarif AS ke China melonjak dari 3–5 persen ke 19,3 persen pada akhir 2019, tensi sekarang jauh lebih ekstrem. Dan kali ini, produk yang disasar jauh lebih vital bagi rantai pasok dan ekonomi global. 

    Indeks DAX Jerman ambles 6,5 persen ke posisi 19.311,29, sementara CAC 40 di Paris merosot 5,9 persen ke 6.844,96. FTSE 100 Inggris ikut terpuruk 5 persen ke 7.652,73. Arah negatif ini juga tercermin di bursa berjangka AS. Kontrak berjangka S&P 500 anjlok 3,4 persen, Dow Jones turun 3,1 persen, dan Nasdaq terkoreksi paling dalam, yakni 5,3 persen.

    Aksi jual masif ini menyusul krisis pasar yang memuncak sejak Jumat, 4 April 2025 lalu. Saat itu, S&P 500 anjlok 6 persen dalam sehari, sementara Dow Jones terkoreksi 5,5 persen, dan Nasdaq merosot 3,8 persen. Kejatuhan ini menjadi salah satu penurunan harian terburuk sejak pandemi COVID-19.

    Sebagai pembanding, pada 16 Maret 2020, salah satu hari tergelap dalam sejarah pasar modern, indeks S&P 500 jatuh 12 persen, Dow Jones longsor 12,9 persen, dan Nasdaq turun 12,3 persen dalam satu hari. Kala itu, pasar keuangan global kolaps di tengah kepanikan akibat penyebaran cepat virus corona dan lockdown besar-besaran di berbagai negara.

    Dalam hitungan minggu, kapitalisasi pasar global menguap lebih dari USD17 triliun. Harga minyak sempat menyentuh level negatif, dan volatilitas pasar memecahkan rekor. Ketidakpastian makro kala itu didorong oleh kombinasi krisis kesehatan global, ketakutan akan kontraksi ekonomi masif, dan respon kebijakan moneter darurat dari bank sentral dunia.

    Lebih lanjut, Presiden AS Donald Trump, berbicara dari pesawat kepresidenan Air Force One pada Minggu, 6 April 2025 malam, mempertegas posisinya terhadap kebijakan tarif. Ia menyatakan tidak menginginkan kehancuran pasar global, namun juga tak khawatir dengan aksi jual besar-besaran. Dengan santai, ia mengatakan, "Kadang, Anda harus minum obat pahit untuk menyembuhkan sesuatu."

    Dalam nada meyakinkan, Trump menjelaskan bahwa tarif yang diberlakukan adalah bentuk "pengambilan kembali" dari kesepakatan-kesepakatan yang ia anggap merugikan AS. Ia juga menegaskan, meski tarifnya mungkin akan lebih rendah dari yang dikenakan negara lain ke AS, ini bagian dari "kewajiban global".

    Di Asia, pasar bereaksi keras. Bursa Jepang mengalami kejatuhan signifikan, dengan indeks Nikkei 225 sempat turun hampir 8 persen setelah pembukaan dan sempat dihentikan perdagangannya sementara waktu. Indeks akhirnya ditutup merosot 7,8 persen ke 31.136,58. Saham-saham keuangan termasuk yang paling terpukul, Mizuho Financial Group jatuh 10,6 persen, dan Mitsubishi UFJ Financial Group terkoreksi 10,2 persen akibat kekhawatiran dampak langsung perang dagang terhadap sektor keuangan dan ekonomi makro.

    Pasar China, yang seringkali tidak sepenuhnya mengikuti tren global, kali ini ikut terseret. Indeks Hang Seng Hong Kong tumbang 13,2 persen ke 19.828,30, sementara Shanghai Composite turun 7,3 persen ke 3.096,58. Bursa Taiwan juga tak luput, dengan indeks Taiex jatuh 9,7 persen. 

    Analis Everbright Securities, Kenny Ng Lai-yin, menyebut kejatuhan ini sebagai efek "mengejar ketertinggalan" karena pasar China sempat libur pada Jumat, 4 April 2025.

    Raksasa teknologi seperti Alibaba Group dan Tencent Holdings mengalami koreksi tajam. Saham Alibaba anjlok 18 persen, sementara Tencent kehilangan 12,5 persen. 

    Selain itu, dalam pernyataan berbeda mengenai pelemahan pasar yang dipicu oleh aksi jual besar-besaran di saham Tencent dan BYD, Kenny Ng menambahkan bahwa tren negatif juga dipengaruhi oleh penurunan saham teknologi besar akibat aksi jual oleh pihak internal. Ia menyebutnya sebagai faktor utama dari pelemahan pasar hari itu.

    Di Korea Selatan, indeks Kospi kehilangan 5,6 persen ke level 2.328,20. Sementara itu, ASX 200 Australia juga terkoreksi 4,2 persen meskipun sempat pulih dari penurunan lebih dari 6 persen.

    Asia, yang sangat bergantung pada ekspor, terutama ke AS, merasa dampak langsung dari perseteruan tarif ini. Gary Ng dari Natixis menekankan bahwa kekhawatiran yang lebih besar kini adalah dampak sistemik terhadap negara-negara ekonomi kecil yang sangat bergantung pada perdagangan global. Menurutnya, penting untuk melihat apakah Trump akan segera mencapai kesepakatan dagang meskipun hanya bersifat parsial.

    Sinyal resesi semakin kuat. Pasar tenaga kerja AS memang mencatatkan data yang lebih baik dari perkiraan, namun bahkan kabar baik ini gagal meredam sentimen negatif. China pada Jumat lalu mengumumkan balasan terhadap tarif AS dengan menerapkan tarif sebesar 34 pers terhadap produk-produk AS mulai 10 April—tepat mengimbangi tarif yang dikenakan Washington.

    Harga minyak juga ikut longsor. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) anjlok USD2,03 ke USD59,96 per barel. Minyak Brent turun ke USD63,55 per barel. Di pasar valas, dolar AS juga tertekan terhadap yen Jepang, turun ke level 146,24 dari sebelumnya 146,94. Yen, yang kerap dianggap sebagai aset safe haven, kembali menjadi pelarian modal di tengah gejolak.

    Investor global kini mulai memperhitungkan kemungkinan penurunan suku bunga acuan oleh Federal Reserve sebagai respons atas eskalasi perang dagang. Harapan bahwa pemangkasan suku bunga dapat mengimbangi dampak negatif tarif mulai mencuat. Namun, Ketua The Fed Jerome Powell justru mengingatkan bahwa tarif yang lebih tinggi bisa meningkatkan ekspektasi inflasi dan menekan efektivitas pemangkasan suku bunga.

    Analis menilai belum ada sinyal bahwa pemerintahan Trump akan melunak. Penasihat perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro, bahkan menegaskan bahwa investor tidak perlu panik karena kebijakan perdagangan pemerintah justru akan menghasilkan “ledakan terbesar dalam sejarah pasar saham.” Namun, banyak pengamat justru menilai risiko pasar masih jauh dari usai.

    Nathan Thooft dari Manulife Investment Management memperkirakan eskalasi tarif akan mendorong negara-negara lain mengambil langkah balasan, dan proses negosiasi yang kompleks ini bisa berlangsung lama. “Menurut kami, ketidakpastian dan volatilitas akan bertahan dalam waktu cukup lama,” ujarnya.

    Sean Callow, analis senior di ITC Markets, menilai bahwa satu-satunya "pemutus arus" yang nyata adalah Presiden Trump sendiri. Namun hingga kini, belum ada tanda bahwa aksi jual pasar cukup mengganggunya untuk mengubah kebijakan yang sudah ia pegang selama puluhan tahun.

    Dengan ketegangan dagang yang terus meningkat dan kerugian pasar yang sudah mencapai triliunan dolar, pelaku pasar pun bertanya-tanya: sampai kapan pasar bisa bertahan tanpa kepastian kebijakan? (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.