KABARBURSA.COM - Amerika Serikat (AS) telah memerhatikan secara serius platform "buy now, pay later", yang memungkinkan konsumen mengangsur pembayaran atas belanja konsumtif mereka.
Ekonom senior Well Fargo & Co, sebuah bank ternama di Negeri Paman Sam, Tim Quinlan, mengatakan bahwa pemerintah, bank sentral, dan pelaku pasar Wall Street AS, sangat khawatir dengan "utang hantu" tersebut.
Pasalnya di AS, perusahaan-perusahaan besar yang menyediakan layanan paylater seperti Affirm Holding Inc, Klarna Bank AB, dan Afterpay dari Block Inc, tidak mengirimkan data pinjaman mereka ke lembaga kredit.
Mereka telah menolak permintaan berkali-kali untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang layanan paylater yang mereka tawarkan, meskipun pasar tersebut telah berkembang setiap tahun setidaknya sejak 2020 dan diperkirakan akan mencapai hampir USD700 miliar secara global pada 2028.
Quinlan menambahkan bahwa keengganan tersebut akhirnya mengaburkan gambaran yang lebih jelas tentang kesehatan keuangan rumah tangga di AS. Namun, gambaran yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan oleh berbagai pihak, mulai dari bank sentral global hingga bank dan perusahaan multinasional.
Meskipun belanja konsumen di AS telah menunjukkan ketahanan yang kuat menghadapi inflasi yang tinggi, para ekonom dan pedagang harus terus-menerus merevisi perkiraan mereka mengenai perlambatan pertumbuhan dan penurunan suku bunga. Namun, pertanda-pertanda awal retakan mulai muncul. Pertama, pertumbuhan pinjaman mobil menunjukkan perlambatan.
Selain itu, data tunggakan kartu kredit mencapai level tertinggi sejak 2021, dengan jumlah utang yang telat dibayar dalam 30, 60, dan 90 hari semuanya meningkat. Ada juga indikasi bahwa konsumen di AS kesulitan membayar utang paylater mereka.
Survei terbaru yang dilakukan untuk Bloomberg News oleh Harris Poll menemukan bahwa 43 persen dari mereka yang berutang melalui layanan paylater mengaku terlambat membayar, sementara 28 persen mengatakan mereka menunggak utang lain karena berbelanja di platform tersebut.
“Kekhawatiran utamanya adalah bahwa para pakar ekonomi terlalu percaya diri dengan kinerja konsumen. Namun masyarakat harus lebih sadar akan risiko paylater,” ujar Quinlan.
Layanan paylater berada dalam kotak hitam terutama karena permainan menyalahkan yang sudah berlangsung lama di antara penyedia platform paylater dengan tiga biro kredit utama yaitu TransUnion, Experian PLC dan Equifax Inc. Perusahaan paylater tidak menyediakan data pinjaman angsuran yang mereka salurkan, yang digunakan belanja online yang mencatat nilai belanja hingga USD19,2 miliar pada kuartal pertama menurut Adobe Analytics. Angka itu mencerminkan kenaikan 12,3 persen dibanding kuartal satu tahun lalu.
Raksasa paylater di AS menyatakan lembaga kredit tidak dapat menangani informasi mereka dan merilis informasi tersebut bisa merugikan skor kredit nasabah, yang merupakan kunci untuk mengamankan hipotek (pinjaman rumah) dan pinjaman lainnya.
Tiga biro besar mengatakan mereka siap, sementara dua perusahaan penilaian kredit terbesar, VantageScore Solutions dan Fair Isaac Corp (FICO), mengatakan mereka siap untuk menguji bagaimana produk tersebut akan mempengaruhi angka mereka. Sementara itu, peraturan masih membayangi industri ini, namun kebuntuan ini telah meninggalkan sebagian besar status quo.
"Memang ada tanda-tanda kemajuan perihal data. Apple Inc, pada awal tahun ini menjadi penyedia paylater besar pertama yang memberikan data transaksi dan pembayaran kepada Experian," jelas Quinlan.
Sejauh ini, laporan tersebut memberikan gambaran keseluruhan beban utang konsumen dari transaksi Apple Pay Later, namun informasi tersebut tidak akan digunakan untuk nilai kredit konsumen.
Dalam pernyataan terpisah kepada Bloomberg News, Klarna, Affirm dan Block mengatakan mereka menginginkan jaminan bahwa skor kredit konsumen dan data mereka akan dilindungi sebelum melaporkan informasi pelanggan. Perwakilan TransUnion, Experian dan Equifax mengatakan mereka telah memperbarui struktur mereka dan data akan aman.
Sementara itu, kurangnya transparansi membuat para peneliti di Federal Reserve Bank of New York, yang menerbitkan laporan triwulanan komprehensif mengenai utang rumah tangga AS sebesar USD17,5 triliun, yakin bahwa mereka melewatkan sebagian dari apa yang terjadi dalam perekonomian.
“Pembiayaan tersebut telah mencapai skala tertentu sehingga dapat mempengaruhi asumsi ekonom mengenai prospek ekonomi mereka,” kata Simon Khalaf, Chief Executive Officer Marqeta Inc, sebuah perusahaan yang membantu penyedia paylater memproses pembayaran mereka.
Survei Harris Poll yang dilakukan bulan lalu memberikan beberapa petunjuk penting tentang bagaimana masyarakat AS menggunakan paylater. Pertama, membagi pembayaran menjadi bagian-bagian yang lebih kecil akan mendorong lebih banyak pengeluaran. Lebih dari separuh responden pengguna paylater di AS mengatakan bahwa mereka diperbolehkan membeli lebih dari kemampuan mereka, sementara hampir seperempatnya setuju dengan pernyataan bahwa belanja payleter mereka telah berada “di luar kendali.”
Harris juga menemukan bahwa 23 persen pengguna mengatakan mereka tidak mampu membeli sebagian besar barang yang mereka beli tanpa membagi pembayaran, sementara lebih dari sepertiganya beralih ke layanan tersebut setelah kehabisan kartu kredit.
Temuan itu juga menunjukkan bahwa pembelanjaan, di mana sepertiga pengguna paylater telah melampaui USD1.000, tidak sepenuhnya untuk barang-barang mahal. Hampir setengah dari mereka yang menggunakan paylater mengatakan bahwa mereka telah memulai, atau telah mempertimbangkan, menggunakannya untuk membayar tagihan atau membeli barang-barang penting, termasuk bahan makanan.
Sejauh ini, kantong-kantong kecil tekanan konsumen yang muncul di AS disebabkan oleh perekonomian yang terpecah-belah di mana kelas pekerja AS berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun survei tersebut menemukan bahwa rumah tangga kelas menengah juga mengandalkan paylater.
Sekitar 42 persen dari mereka yang memiliki pendapatan rumah tangga lebih dari USD100.000 melaporkan terlambat atau menunggak pembayaran paylater.
“Paylater pada dasarnya memungkinkan masyarakat untuk menggali lubang kredit yang semakin dalam, yang akan semakin sulit untuk diatasi. Hal itu akan terjadi lebih mudah karena tidak ada transparansi,” kata Ed deHaan, seorang profesor akuntansi di Stanford Graduate School of Business.
Platform Paylater di Indonesia
Sementara itu di Indonesia, menurut laporan Populix yang berjudul "Unveiling Indonesia's Financial Evolution: Fintech Lending & Paylater Adoption" edisi Oktober 2023, layanan paylater dengan brand awareness tertinggi adalah Shopee PayLater, yang dikenal oleh 89 persen dari total responden, lebih banyak dibandingkan dengan layanan paylater lainnya.
Selain menjadi yang paling populer, Shopee PayLater juga merupakan yang paling banyak digunakan. Dari 45 persen responden yang pernah menggunakan layanan paylater, 77 persen di antaranya mengaku pernah menggunakan Shopee PayLater.
Di peringkat kedua, ada GoPay Later yang dikenal oleh 50 persen responden, diikuti oleh Kredivo dengan 38 persen, dan Akulaku Paylater dengan 36 persen.
Sementara itu, proporsi responden yang mengetahui layanan Traveloka PayLater, Home Credit, Indodana PayLater, Atome, dan lainnya lebih kecil, seperti yang terlihat dalam grafik.
Survei ini dilakukan pada tanggal 15-18 September 2023 terhadap 1.017 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Mayoritas responden berasal dari Pulau Jawa (79 persen), diikuti oleh Pulau Sumatra (12 persen), dan pulau lainnya (9 persen). Dari segi usia, mayoritas responden adalah dalam kelompok usia 17-25 tahun (55 persen) dan usia 26-35 tahun (31 persen).
Survei tentang brand awareness layanan paylater ini melibatkan 555 responden yang pernah menggunakan layanan paylater.