KABARBURSA.COM – PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) telah resmi mengumumkan rencana pembelian kembali saham (buyback) senilai maksimal Rp4 triliun, yang mendapat persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 15 Mei 2025.
Aksi ini akan dilaksanakan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam kurun waktu 12 bulan, terhitung mulai 16 Mei 2025, sebagaimana disampaikan dalam dokumen keterbukaan informasi tertanggal 8 April 2025.
Manajemen menyampaikan bahwa tujuan buyback adalah untuk memperkuat likuiditas saham di pasar serta memberikan nilai tambah bagi pemegang saham.
“Pelaksanaan Pembelian Kembali Saham Perseroan bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham Perseroan sehingga harga saham Perseroan diharapkan dapat mencerminkan nilai fundamental Perseroan,” tulis Corporate Secretary ADRO Mahardika Putranto dalam keterbukaan informasi, dikutip Senin, 19 Mei 2025.
Dana buyback akan sepenuhnya bersumber dari kas internal perusahaan. Posisi keuangan ADRO per akhir tahun 2024 menunjukkan kapasitas likuiditas yang sangat memadai untuk mendanai aksi ini. Berdasarkan laporan keuangan konsolidasian tahun 2024, ADRO mencatatkan kas dan setara kas sebesar USD1,406 miliar, atau sekitar 21 persen dari total aset, dengan utang berbunga hanya USD548 juta. Selain itu, arus kas dari aktivitas operasi mencapai USD2,011 miliar, meningkat 75 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dari sisi teknikal keuangan, buyback berpotensi meningkatkan laba per saham (earnings per share/EPS) karena total laba akan dibagi ke jumlah saham yang lebih sedikit. Dalam simulasi proforma yang disampaikan, manajemen memperkirakan EPS dasar akan naik dari USD0,04491 menjadi USD0,04985 apabila pembelian kembali dilakukan maksimal.
"Aksi ini tidak akan memberikan pengaruh negatif terhadap kinerja dan pendapatan Perseroan karena saldo laba dan arus kas Perseroan yang tersedia saat ini sangat mencukupi,” tegas Mahardika.
Perusahaan juga telah memiliki rekam jejak buyback sebelumnya. Pada 2024, ADRO berhasil membeli kembali 926 juta lembar saham, setara 3,01 persen dari total saham disetor, yang menegaskan konsistensi strategi ini bukan semata reaksi sesaat, melainkan bagian dari kebijakan tata kelola modal.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menilai bahwa langkah buyback ini mencerminkan strategi agresif ADRO untuk menjaga nilai saham dan mengembalikan kepercayaan investor, terutama setelah sahamnya dikeluarkan dari indeks saham blue chip.
“Harus semua dibeli kembali. Saham-saham yang masih berkeliaran di luar, ini perlu dibeli kembali oleh Adaro buyback supaya Adaro kembali lagi melakukan penjualan terbaru dengan harga yang relatif lebih murah. Supaya investor ini bisa kembali untuk melakukan pembelian terhadap harga saham-saham di Adaro,” ujarnya kepada Kabarbursa.com, Senin, 19 Mei 2025.
Ia menjelaskan bahwa aksi ini tak lepas dari pembenahan manajemen dan kondisi pasar batu bara global yang menekan emiten sejenis.
“Adaro itu cukup agresif setelah sahamnya dikeluarkan dari saham blue chip. Kemudian Adaro melakukan pembenahan manajemen dan melakukan buyback agar investor percaya kembali terhadap saham-saham Adaro yang berbasis batu bara, walaupun orang banyak melihat bahwa harga batu bara internasional akan turun,” tambahnya.
Ibrahim menekankan bahwa intensitas buyback juga berperan dalam menjaga nilai saham di pasar. Menurutnya, ADRO ingin kembali masuk ke kelompok saham unggulan dengan memastikan harga saham tetap mencerminkan nilai yang layak.
“Adaro pun juga ingin masuk dalam saham blue chip dong. Nah kemarin kan baru dikeluarkan karena kalah dalam persaingan dengan saham-saham energi terbarukan. Ini cara untuk mengembalikan kepercayaan investor, salah satunya dengan melakukan buyback,” katanya.
Ia menambahkan bahwa komposisi kepemilikan publik ADRO yang hanya sekitar 20–25 persen memungkinkan perusahaan untuk dengan leluasa menyerap kembali saham yang beredar di pasar.
“Kalau saham yang dilempar ke bursa 20 persen, berarti 80 persen masih dipegang oleh Adaro. Sehingga Adaro memiliki dana untuk melakukan buyback. Setelah itu tinggal mencari waktu yang tepat untuk menjualnya kembali di pasar, tentu dengan harga yang lebih kompetitif,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa langkah ADRO adalah bentuk respons cepat untuk menghindari risiko dikeluarkannya saham dari papan utama BEI.
“Jangan sampai nanti akhirnya Adaro tidak listing di bursa, sehingga saham-saham jadi mati. Ini baru Adaro yang cepat dan cekatan dalam melakukan buyback setelah dikeluarkan dari indeks blue chip. Saya belum melihat perusahaan lain bertindak secepat ini,” tandas Ibrahim.
Laporan keuangan tahun 2024 menunjukkan bahwa ADRO membukukan laba bersih dari operasi berlanjut sebesar USD1,556 miliar dengan pendapatan sebesar USD2,079 miliar. EBITDA operasional tercatat sebesar USD982 juta, dengan margin EBITDA sebesar 47 persen. Kinerja ini tercapai meskipun perusahaan menghadapi tekanan harga jual rata-rata (average selling price/ASP) batu bara metalurgi yang turun 16 persen. Namun demikian, ADRO berhasil meningkatkan volume produksi sebesar 30 persen dan penjualan sebesar 26 persen, menjadi masing-masing 6,63 juta ton dan 5,62 juta ton.
Buyback Jadi Sinyal Saham ADRO Undervalued? Ini Data Fundamentalnya
Sejumlah indikator fundamental dari laporan keuangan dan data pasar menunjukkan bahwa saham ADRO saat ini berada pada level valuasi yang relatif rendah dibandingkan benchmark pasar. Data ini sering digunakan oleh pelaku pasar sebagai parameter awal untuk mengidentifikasi potensi saham undervalued.
Per akhir 2024, rasio price-to-earnings (PER) trailing 12 bulan ADRO tercatat sebesar 4,20, jauh di bawah median PER IHSG yang berada di level 8,12. Rasio ini mengindikasikan bahwa investor membayar lebih murah untuk setiap dolar laba yang dihasilkan ADRO dibandingkan dengan mayoritas saham lain di pasar. Dalam konteks umum, PER rendah seperti ini kerap diasosiasikan dengan potensi undervaluasi, khususnya jika tidak diiringi oleh penurunan kinerja atau risiko fundamental lainnya.
Selain itu, rasio price-to-book value (PBV) ADRO juga tercatat di angka 0,92, yang berarti harga sahamnya diperdagangkan di bawah nilai buku per saham perusahaan. Rasio PBV di bawah 1,0 secara teknikal menunjukkan bahwa pasar belum menghargai aset bersih perusahaan secara penuh, suatu indikator yang sering dilihat sebagai peluang bagi investor value investing.
Dari sisi profitabilitas relatif, earnings yield ADRO mencapai 23,78 persen, yang merupakan hasil pembalikan dari PER. Angka ini cukup tinggi, terutama untuk emiten energi berkapitalisasi besar, dan secara historis mengindikasikan return laba yang kompetitif terhadap harga saham saat ini.
Tak kalah penting, rasio EV/EBITDA ADRO berada di 5,00, angka yang tergolong efisien untuk sektor batu bara dan energi. Rasio ini mencerminkan seberapa murah investor dapat mengakuisisi keseluruhan perusahaan berdasarkan kinerja operasional sebelum beban non-operasional seperti bunga dan pajak.
Jika ditinjau secara agregat, keempat indikator di atas, PER rendah, PBV
Namun, penting untuk dicatat bahwa interpretasi atas valuasi rendah ini tidak bisa berdiri sendiri. Setiap rasio harus dilihat dalam konteks risiko sektoral, prospek bisnis, dan ekspektasi investor.
Oleh karena itu, meskipun angka-angka ini menunjukkan potensi undervaluasi, penyimpulan bahwa “ADRO undervalued” secara mutlak tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan sudut pandang analis profesional atau proyeksi valuasi jangka panjang. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.