KABARBURSA.COM - Seseorang yang positif talasemia secara kasat mata tampak sehat dan tak menunjukkan gejala. Karena, talasemia hanya bisa dideteksi lewat pemeriksaan darah lengkap dan analisis hemoglobin (Hb) fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
Kementerian Kesehatan mengungkapkan, pemeriksaan atau skrining utamanya untuk mencegah atau mengurangi risiko bayi lahir dengan talasemia. Apalagi pada seseorang yang akan memasuki kehidupan pernikahan.
Dokter spesialis anak Teny Tjitra Sari menyarankan, pasangan yang hendak menikah menjalani pemeriksaan darah dan analisis Hb untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan darah yang bisa diturunkan kepada anak.
"Sebelum menikah, penting untuk memeriksa darah terlebih dahulu. Hal ini karena pemerintah menginginkan pasangan yang menikah harus sehat secara keseluruhan, demi kebahagiaan keluarga. Tes yang mencakup analisis Hb dapat membantu dalam mendeteksi dan mencegah jika calon orang tua adalah pembawa sifat," ungkap dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Dengan melakukan skrining, seseorang bisa tahu calon pasangan memiliki gen pembawa sifat talasemia atau tidak sehingga menghindari perkawinan antara sesama Talasemia minor yang dapat melahirkan anak dengan talasemia mayor.
"Pembawa sifat sebaiknya tidak menikah dengan sesama pembawa sifat, karena talasemia dapat diwariskan. Jika kedua orang tua adalah pembawa sifat, maka kemungkinan anak menderita talasemia mayor adalah 25 persen, 50 persen memiliki status pembawa sifat seperti orang tua mereka, dan 25 persen normal," sambung dr Teny.
Pasangan pembawa sifat talasemia yang terlanjur menikah dan memiliki anak, menurut dia, sebaiknya segera membawa anak untuk menjalani tes darah dan analisis Hb.
“(Penderita) talasemia memang harus selalu mendapatkan transfusi, tetapi usahakan ambil sampel darah dulu sebelum transfusi, itu bisa dilakukan hampir di semua fasilitas kesehatan. Karena, kalau anak Hb-nya rendah, dia tidak bisa beraktivitas dengan baik, anak bisa sesak nafas, dan ini mengancam jiwa,” katanya.
“Kalau bisa ambil darah untuk gambaran seperti apa penanganannya,” ia menambahkan.
Sebab itu dia menyarankan analisis Hb pada anak yang diduga mengalami talasemia tidak terburu-buru dilakukan apabila anak terlanjur mendapatkan transfusi darah. “Kalau memang disangka talasemia, tetap harus analisis Hb, tetapi jangan cepat-cepat dilakukan setelah transfusi, karena nanti yang diperiksa darah orang lain, bukan darah anak itu,” katanya.
Menurut dia, waktu yang tepat untuk menjalani analisis Hb adalah tiga sampai empat minggu setelah transfusi darah, saat kadar Hb sudah turun sekitar 7 gram per desiliter. Teny juga menyampaikan beberapa gejala talasemia yang perlu menjadi perhatian orang tua, seperti wajah pucat, mata kuning, dan perut buncit.
Perut anak yang mengalami talasemia bisa menjadi buncit akibat pembengkakan pada hati dan limpa, yang terjadi karena tubuhnya tidak mampu mengelola zat besi dengan baik.
Ia mengatakan, pasien talasemia tubuhnya tidak bisa menghasilkan oksigen dengan baik dari tidak dapat mengelola zat besi dengan baik. “Zat besi ada, namun berlebih darahnya pecah-pecah sehingga itulah yang menyebabkan mata kuning,” katanya.
Penyakit itu disebabkan oleh berkurangnya atau tidak terbentuknya protein pembentuk hemoglobin utama manusia, yang menyebabkan eritrosit mudah pecah dan menyebabkan pasien menjadi pucat karena kekurangan darah.
Skrining talasemia hanya diprioritaskan pada kelompok berisiko
- Saudara kandung penderita talasemia mayor, sejak usia 2 tahun
- Calon pengantin
- Remaja/Anak sekolah (kelas 1, kelas 7, kelas 10)
- Calon pengantin
- Ibu hamil
Bayi Terlahir dengan Talasemia
Kemenkes memperkirakan sekitar 2.500 bayi di Indonesia lahir dengan penyakit talasemia per tahunnya. Penyakit tersebut diturunkan dari orang tua maupun keluarga terdekat
"Indonesia terletak di sepanjang sabuk talasemia di mana 3-10 persen populasi Indonesia merupakan pembawa sifat talasemia beta," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes, Eva Susanti dalam peringatan Hari Talasemia sedunia pada Selasa, 7 Mei.
"Sementara 2,6 sampai 11 persen merupakan pembawa sifat talasemia alpa atau dan diestimasikan sekitar 2.500 bayi terlahir dengan talasemia beta mayor setiap tahunnya di Indonesia," ujar Eva.
Berdasarkan dari global, 7-8 persen populasi dunia merupakan pembawa sifat talasemia. Setiap tahunnya sekitar 300.000-500.000 bayi dilahirkan dengan talasemia mayor.
"Dan 80 persen dari kondisi ini terjadi di negara berkembang dan negara dengan penghasilan rendah dan menengah atau low and middle income countries termasuk Indonesia," kata Eva.