KABARBURSA.COM - PT Adhi Karya Tbk (ADHI) sebaagai emiten plat merah yang bergerak di bidang konstruksi, real estate, investasi infrastruktur, dan penyelenggaraan perkeretaapian memastikan proyek yang digarap memiliki cash flow positif, karena melihat latar belakang emiten konstruksi memiliki cash flow yang terus tergerus dari bunga perbankan.
Direktur Utama Adhi Karya Entus Asnawi Mukhson, menjelaskan, berdasarkan pengalaman yang ada dalam buku Adhi karya, dalam tiga tahun terakhir berturut-turut selalu dalam posisi positif. Namun memang pada 2023 sisi positifnya hanya 0,08 atau Rp80 miliar, namun perseroan membantah pada 2022 sebesar Rp1,5 triliun dan 2021 sebesar Rp1,4 triliun.
"Pada 2023 hanya Rp80 miliar karena tertundanya pembayaran LRT sebesar Rp4,2 triliun, yang seharusnya dibayarkan pada saat September 2023, namun bisa dibayar dan bergeser pada April 2024," ungkap Entus dalam paparan publik ADHII, Rabu 28 Agustus 2024.
Adapun posisi cash flow terakhir untuk operasi semester 1 tahun 2024 sebesar Rp1 triliun. Untuk memastikan bahwa cash flow operasi bisa terjamin dengan baik, maka perseroan harus memastikan pembayaran sesuai dengan yang direncanakan.
Selain itu, investasi yang dirasa terlalu besar dan sulit untuk dilakukan exit tidak akan diambil oleh perseroan, seperti contohnya investasi di jalan tol yaitu Jogja - Solo, Jogja - Bawen, pintu masuk Ulujami, semua atas pertimbangan kehati-hatian.
"Itu beberapa pola yang kami lakukan untuk meng-cash flow di samping bekerja sama dengan perbankan dalam mendapatkan dukungan kerja lainnya," terangya.
Perseroan juga menjelaskan, ADHI ditugaskan untuk memelihara potensi di bidanag realme. Perseroan menyebutkan jumlah realme di Indonesia saat ini memang tidak terlalu banyak, sehingga ADHI berfokus kepada regional Filipina kerena sedang masif membangun dari Selatan ke Utara, yang panjangnya sekitar 120 km.
"Para pesaing berasal dari Korea, Jepang, Italia, Australia dan New Zeland. Ini ternyata kita bisa dengan pengalaman saat ini mengerjakan LRT, MRT dan kompetensi itu bisa jadi upaya untuk mencari dibatasi, karena fokus ke regional Asia Tenggara yang dijangkau dengan baik," terang Entus.
Dari sisi lainnya, perseroan menerangkan penggunaan dana PMN Adhi Karya tahun 2022 yang sebetulnya ditujukan bukan untuk membayar hutang, namun untuk membayar penyertaan dua proyek invetasi.
"Kita tidak ingin penyertaan itu bersumber dari hutang, karena nantinya akan membahayakan terutama dari sisi keuangan. Karena itu, kami sudah dapat proyek dan meminta penambahan modal, saat itu kami penuhi kurang lebih 77 persen kebutuhan ekuitas tiga proyek," terangnya.
Sebelumnya, Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) mengajukan penyertaan modal negara (PMN) tahun 2025 sebesar Rp2,09 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk penyelesaian dua proyek strategis nasional (PSN) yakni jalan tol Solo-Yogyakarta-Kulonprogo dan tol Yogyakarta-Bawen.
"Total PMN yang kami ajukan sebesar Rp2 triliun dengan rincian Rp1,9 triliun untuk tol Solo-Yogyakarta-Kulonprogo dan tol Yogyakarta-Bawen sebesar Rp173 miliar," tuturnya.
Menurutnya, usulan PMN tersebut merupakan opsi terbaik dengan menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada dua proyek tersebut. Adapun perubahan kondisi saham ADHI pada pembangunan Tol Solo-Yogyakarta-Kulonprogo berubah menjadi 47,18 persen dari sebelumnya 24 persen.
Sampai dengan Juli 2024, PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) berhasil membukukan kontrak baru sebesar Rp12 triliun, naik 17,65 persen jika dibandingkan bulan Juni 2024 sebesar Rp10,2 triliun. Informasi tersebut disampaikan perseroan dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.
Disebutkan, sebesar 90 persen kontrak per Juli 2024 dari lini bisnis konstruksi dan energi, 4 persen dari properti dan hospitality, 4 persen manufaktur, dan 2 persen lini bisnis investasi & konsesi. Sampai dengan bulan Juli 2024, ADHI memperoleh lima kontrak besar, yaitu sarana prasarana tambak udang Sumbawa KKP RI senilai Rp3,2 triliun, Istana Wakil Presiden Rp1,3 triliun, EPCC Jetty & Propylene Storage Tank Rp700 miliar, Jembatan Pulau Balang Bentang Pendek Fase 2 senilai Rp500 miliar, dan Gedung Otorrita IKN senilai Rp300 miliar.
Berdasarkan tipe pekerjaan, sebesar 50 persen kontrak ADHI tersebut berasal dari proyek gedung, 29 persen proyek sumber daya air, dan sisanya proyek jalan & jembatan, properti, manufaktur, dan EPC sebesar 22 persen.
Berdasarkan segmentasi pemilik proyek dan sumber pendanaan, sebesar 36 persen kontrak ADHI per Juli 2024 dari pemerintah, 27 persen dari Loan, 19 persen dari proyek swasta, dan 18 persen dari badan usaha milik negara (BUMN) dan lainnya.
Manajemen ADHI menyampaikan, hingga akhir Juli 2024, Perseroan sedang mengerjakan setidaknya 111 proyek aktif dan 48 proyek berstatus PSN (Proyek Strategis Nasional). Sebagian proyek besar diharapkan rampung pada tahun 2024 hingga 2025 sehingga berkontribusi terhadap pada pendapatan ADHI.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan, ADHI mencatatkan laba bersih yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk sebesar Rp10,15 miliar. Laba ini lebih tinggi 20,14 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp8,45 miliar.
Laba yang naik tersebut berbanding terbalik dengan pendapatan yang tergerus. Sepanjang kuartal I/2024, ADHI membukukan pendapatan usaha sebesar Rp2,63 triliun. Pendapatan ini lebih rendah 1,21 persen dibandingkan dengan kuartal I/2023 yang tercatat sebesar Rp2,66 triliun.
Pendapatan usaha tersebut ditopang oleh usaha teknik dan konstruksi sebesar Rp2,03 triliun, properti dan pelayanan sebesar Rp106,33 miliar, manufaktur sebesar Rp379,54 miliar dan investasi dan konsesi sebesar Rp98,58 miliar.
Meski pendapatan turun, beban pokok justru meningkat menjadi sebesar Rp2,40 triliun atau naik 3,18 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp2,33 triliun. Alhasil laba kotor tergerus sebesar 32,02 persen menjadi sebesar Rp226,63 miliar dari sebelumnya sebesar Rp333,41 miliar.(*)