KABARBURSA.COM - PT Indofood Sukses Makmur Tbk atau INDF mencatatkan rugi bersih yang cukup tinggi pada laporan keuangan sepanjang tahun fiskal 2024. Penyebab utama dari rugi bersih tersebut adalah pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Lalu, bagaimana INDF menatap tahun 2025 di tengah pelemahan kurs yang luar biasa seperti sekarang ini?
Kinerja keuangan INDF memang cukup menarik. Meskipun secara keseluruhan perusahaan berhasil membukukan laba bersih tahunan sebesar Rp8,6 triliun atau tumbuh 6 persen secara tahunan (YoY), hasil tersebut masih berada di bawah ekspektasi pasar.
Capaian laba tersebut hanya setara dengan 89 persen dari estimasi yang dibuat oleh Stockbit Sekuritas dan 85 persen dari estimasi konsensus.
Namun, yang menjadi perhatian utama dalam laporan keuangan terbaru adalah hasil pada kuartal keempat 2024 (4Q24), di mana INDF justru membukukan rugi bersih sebesar Rp119 miliar. Angka ini kontras dengan laba bersih sebesar Rp1,1 triliun pada 4Q23 serta laba yang jauh lebih besar pada kuartal sebelumnya, yakni Rp4,9 triliun pada 3Q24.
Penyebab utama dari kerugian pada kuartal terakhir tahun 2024 ini adalah adanya tekanan dari rugi kurs akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Pada akhir September 2024, nilai tukar rupiah berada di level Rp15.138 per USD, namun kemudian melemah signifikan menjadi Rp16.162 per USD pada akhir Desember 2024. Akibat pergerakan nilai tukar ini, INDF harus menanggung kerugian kurs sebesar Rp2,9 triliun.
Selain dampak dari nilai tukar, Indofood juga mencatatkan rugi neto dari entitas asosiasi dan joint venture sebesar Rp1,5 triliun. Kerugian ini terutama berasal dari penurunan nilai wajar Dufil Prima Foods Plc. (DPFP), sebuah entitas asosiasi di Nigeria yang berada di bawah anak usaha Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
Masalah yang dihadapi DPFP kemungkinan besar berhubungan dengan depresiasi tajam mata uang Nigeria, naira, yang turut berdampak pada bisnis perusahaan di negara tersebut.
Meskipun hasil akhir pada 4Q24 mengalami tekanan, secara operasional INDF tetap menunjukkan kinerja yang solid. Laba usaha pada kuartal ini tercatat mencapai Rp6,6 triliun, mengalami pertumbuhan sebesar 18 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, serta naik 25 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini mendorong total laba usaha sepanjang tahun 2024 menjadi Rp22,8 triliun, atau tumbuh sebesar 16 persen YoY.
Pendapatan Indofood pada 4Q24 hanya mengalami kenaikan moderat sebesar 4 persen YoY, namun efisiensi dalam pengelolaan biaya operasional menjadi faktor utama yang menjaga profitabilitas perusahaan. Beban penjualan mengalami penurunan sebesar 3 persen YoY, sementara beban umum dan administrasi berkurang lebih drastis hingga 27 persen YoY, yang menunjukkan adanya kontrol biaya yang lebih ketat dalam operasional perusahaan.
Dari sisi segmen bisnis, divisi agribisnis menjadi kontributor utama dalam pertumbuhan laba usaha Indofood pada 4Q24. Segmen ini mencatatkan laba usaha sebesar Rp1,8 triliun, naik signifikan sebesar 84 persen YoY dan 88 persen secara kuartalan. Kenaikan ini sejalan dengan tren positif harga minyak kelapa sawit (CPO) yang masih tinggi di pasar global.
Sementara itu, segmen Consumer Branded Products yang berada di bawah ICBP mencatatkan kinerja yang lebih stabil pada 4Q24 dengan pertumbuhan laba usaha yang hanya sebesar 1 persen YoY. Namun, dalam skala tahunan, segmen ini masih mampu mencatatkan pertumbuhan yang cukup baik sebesar 9 persen YoY.
Meskipun Indofood mengalami tekanan dari faktor eksternal seperti pergerakan kurs dan penurunan nilai investasi, secara fundamental perusahaan masih menunjukkan daya tahan yang baik.
Efisiensi operasional dan pertumbuhan yang kuat di sektor agribisnis menjadi pendorong utama kinerja perusahaan, yang tetap solid meskipun menghadapi tantangan makroekonomi yang cukup berat.
Sinyal Pelemahan Daya Beli Masyarakat Semakin Kencang
Tantangan lain yang dihadapi INDF pada tahun ini adalah munculnya berbagai indikator ekonomi menunjukkan tanda-tanda pelemahan daya beli. Pemerintah berkali-kali membantah adanya penurunan konsumsi masyarakat. Namun, sederet data justru memperlihatkan sinyal yang sebaliknya.
Indonesia mencatat deflasi beruntun yang terdalam dalam 25 tahun terakhir, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami penurunan pada Februari 2025, dan Indeks Penjualan Riil (IPR) mengalami kontraksi sebesar 4,7 persen secara bulanan pada Januari 2025.
Salah satu indikator yang paling nyata adalah potensi berkurangnya jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini, yang jatuh pada akhir Maret 2025 atau penghujung kuartal pertama. Tradisi mudik yang biasanya menjadi penggerak roda ekonomi tahunan diprediksi akan mengalami perlambatan akibat keterbatasan daya beli masyarakat, terutama di kelompok menengah bawah.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menyoroti kebijakan pemerintah yang dinilai lebih berpihak pada kelompok menengah atas menjelang Lebaran. Salah satu contoh nyata adalah pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi sektor swasta yang sering terlambat dan menjadi polemik tahunan.
Dana yang baru tersedia mendekati hari-H membuat masyarakat kehilangan peluang membeli kebutuhan Lebaran dengan harga yang lebih terjangkau, karena harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi sudah melonjak tajam.
Sementara itu, kebijakan diskon tarif tol lebih banyak menguntungkan pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, sekitar 60 persen pemudik bergantung pada transportasi umum seperti bus, kereta ekonomi, dan kapal laut—yang justru tidak mendapatkan subsidi serupa.
Kenaikan harga tiket angkutan umum yang mencapai 30 persen - 50 persen menjelang puncak arus mudik menjadi beban tambahan bagi masyarakat kelas pekerja dan informal, yang daya beli mereka sudah terbatas.
Di sisi lain, Ekonom Center on Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa penurunan jumlah pemudik merupakan indikator penting dalam mengukur tingkat konsumsi masyarakat selama Ramadan dan Lebaran.
Jika tren ini dikombinasikan dengan indikator lain seperti perlambatan penjualan ritel dan penurunan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan, maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Pelemahan daya beli ini juga diperkirakan akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2025. Core masih melakukan perhitungan lebih lanjut terkait estimasi pertumbuhan ekonomi, namun sementara ini diprediksi akan berada di kisaran 4,9 persen - 5 persen, sedikit di bawah target pemerintah sebesar 5,2 persen.
Meskipun pemerintah optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan tetap sesuai target, sinyal pelemahan daya beli yang semakin jelas perlu mendapat perhatian lebih serius.
Jika daya beli masyarakat tidak segera dipulihkan melalui kebijakan yang lebih inklusif dan tepat sasaran, maka target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah bisa semakin sulit tercapai.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.