KABARBURSA.COM - Saham properti tengah diselimuti angin segar usai Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen. Sentimen positif ini bisa dimanfaatkan para investor untuk menentukan pilihan investasinya ke saham properti.
Analis sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana memiliki sejumlah rekomendasi saham properti di tengah katalis positif ini. Menurutnya, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) masuk radar akumulasi bertahap (buy on weakness) pada kisaran 404 dengan target harga 515.
"Mengingat valuasinya yang sangat rendah (PBV 0,61x) dan fundamental township yang masih berkembang agresif," ujar dia dalam risetnya kepada Kabarbursa.com dikutip, Selasa, 27 Mei 2025.
Saham PT Ciputra Development Tbk (CTRA) juga direkomendasikan Hendra dengan speculative buy dengan target 1.120. Hal ini didukung oleh eksposur geografis yang luas dan disiplin manajemen terhadap ekspansi dan manajemen risiko.
Lebih jauh ia mengatakan saham PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) menjadi salah satu yang paling undervalued secara earnings (PER 4,8x), dengan prospek pertumbuhan kawasan industri yang masih besar, terutama dari permintaan data center dan manufaktur otomotif.
"Sehingga layak menjadi pilihan spekulatif dengan target harga 185," tuturnya.
Sementara itu, lanjut Hendra, untuk saham PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) sebaiknya hanya di-hold karena valuasinya sudah relatif premium dan katalis pertumbuhannya lebih terbatas.
Khusus untuk dua saham PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), ia mengimbau investor perlu berhati-hati.
Meskipun secara valuasi tampak murah, kata Hendra, fundamental keduanya terganggu oleh leverage yang tinggi, proyek yang stagnan, dan belum ada strategi pemulihan jangka pendek yang jelas.
"ASRI mungkin bisa menjadi spekulatif buy di bawah 90 jika ada perkembangan positif dari sisi manajemen atau restrukturisasi, sedangkan APLN saat ini lebih baik dihindari," pungkasnya.
The Fed Tahan, Properti dan Kredit Masih Tertekan
Keputusan The Federal Reserve atas The Fed menahan suku bunga di level tinggi pada Mei 2025 bukan kabar baik bagi pasar. Alih-alih membawa angin segar, langkah ini justru menunjukkan bahwa inflasi belum jinak dan ruang pelonggaran moneter masih jauh dari kata aman. Dampaknya adalah sektor properti dan otomotif di Indonesia terancam terus megap-megap menghadapi biaya pinjaman yang kian mahal.
Direktur Riset CORE Indonesia, Etika Karyani, yang menyebut keputusan tersebut sebagai peringatan bahwa pelonggaran kebijakan moneter belum bisa dilakukan dalam waktu dekat.
“Langkah The Fed ini adalah bentuk kehati-hatian yang menandakan inflasi masih dianggap membandel. Jadi, bukan optimisme yang ditunjukkan, melainkan sinyal bahwa pelonggaran belum aman dilakukan,” ujar Etika kepada KabarBursa.com, Rabu, 21 Mei 2025.
Menurut Etika, pasar global termasuk Indonesia merespons keputusan ini dengan kombinasi harapan dan kewaspadaan. Meskipun The Fed tak menaikkan suku bunga lebih lanjut, level suku bunga yang masih tinggi tetap menyimpan tekanan tersendiri bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Bagi Indonesia, jeda kenaikan suku bunga The Fed memberikan sedikit ruang bernapas. Nilai tukar rupiah relatif stabil dan pasar modal tidak mengalami guncangan besar, setidaknya dalam jangka pendek. “Namun, meskipun jeda ini memberi kelegaan sesaat, tetap saja tingkat suku bunga global yang tinggi membuat ruang pelonggaran moneter Bank Indonesia menjadi sempit,” jelas Etika.
Ia menambahkan, Bank Indonesia kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuannya lebih lama demi menjaga selisih imbal hasil (interest rate differential) yang kompetitif, dan menjaga daya tarik aset rupiah di mata investor asing.
“Menjaga stabilitas nilai tukar menjadi prioritas utama BI saat ini, dan itu berarti kebijakan suku bunga tidak akan buru-buru dilonggarkan,” katanya.(*)