KABARBURSA.COM - China sedang mempersiapkan armada feri dan kapal sipil untuk menyerang Taiwan. Lembaga riset Amerika mengungkapkan, langkah ini adalah bagian dari upaya Beijing meningkatkan tekanan terhadap negara kepulauan tersebut.
Menurut laporan The Telegraph, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) kekurangan kapal pendarat amfibi untuk melakukan invasi besar-besaran. Namun, kesenjangan ini dapat diatasi dengan menggunakan kapal sipil, termasuk puluhan feri roll-on dan roll-off yang mampu mengangkut ratusan kendaraan lapis baja.
“Pendaratan amfibi adalah salah satu manuver militer yang paling sulit,” ujar Ray Powell, direktur SeaLight, proyek Universitas Stanford yang memantau aktivitas zona abu-abu di Laut China Selatan.
Meskipun kapal feri sipil biasanya tidak ideal untuk misi semacam itu, mereka dapat mengangkut pasukan melintasi Selat Taiwan setelah pertahanan pesisir dihancurkan, atau membuat militer Taiwan kewalahan dengan jumlah pasukan yang besar.
Taipei harus merespons kampanye "zona abu-abu" yang mencakup serangan siber, penerbangan rutin jet militer China di wilayah udara Taiwan, dan pelecehan kapal China di perairannya. Meskipun kekuatan militer Taiwan jauh lebih kecil dibandingkan China, negara ini dilindungi oleh medan pegunungan yang sulit dijangkau dan Selat Taiwan yang berbahaya sepanjang 110 mil.
Angkatan Laut China memiliki armada permukaan terbesar di dunia, dengan lusinan kapal serba guna yang bisa beraksi baik di masa damai maupun perang. Media pemerintah China telah memuji partisipasi kapal feri dalam latihan pendaratan lintas laut selama bertahun-tahun. Misalnya, CCTV memuji latihan militer menggunakan Bang Chui Dao pada 2019 dan Bohai Pearl pada 2021, yang dianggap mampu mengangkut pasukan dalam skala besar.
Berita lainnya mengulas tentang Chang Da Long, feri sipil besar yang mampu membawa cukup banyak tank dan kendaraan berat untuk dua batalyon infanteri mekanis. Meskipun berpenampilan sipil, kapal ini memiliki kemampuan militer yang mumpuni.
Tom Shugart, analis di Center for New American Security, memperkirakan pada 2022 bahwa kapal sipil China dapat secara signifikan meningkatkan kapasitas pengangkutan material militer. Dengan demikian, mereka mampu mengangkut sekitar 300.000 personel dan kendaraan militer melintasi Selat Taiwan dalam waktu sekitar 10 hari.
"Baik komunitas intelijen Taiwan dan Amerika harus mulai mengawasi pelayaran sipil utama China dengan cara yang sama seperti mereka mengawasi kapal angkatan lautnya," tulis Shugart saat itu.
Meskipun penggunaan feri penumpang di zona konflik terdengar tidak biasa, hal ini mencerminkan sejauh mana sektor swasta China terikat dengan partai komunis yang berkuasa dan kebijakan militer pemerintah di Beijing. Hal ini juga membuat perencanaan pertahanan menjadi jauh lebih kompleks, kata para analis.
“Feri sipil adalah bagian dari konsep China yang lebih luas mengenai fusi militer-sipil, yang mana aset dan kemampuan sipil merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya seluruh negara dalam keamanan nasional,” jelas Alessio Patalano, profesor perang dan strategi Asia Timur di King's College London.
Dia menambahkan, meskipun sulit untuk memastikan apakah pergerakan kapal feri penumpang merupakan bagian dari persiapan perang, niat China yang lebih luas sudah jelas. “Tidak ada yang disembunyikan mengenai pembangunan militer China,” tambahnya.
AS Prihatin
Mengutip Reuters, Beijing meluncurkan latihan militer selama dua hari di perairan sekitar Taiwan pekan lalu sebagai "hukuman berat" atas "tindakan separatis" setelah pidato pelantikan yang berapi-api di Taipei oleh Lai Ching-te. Lai dilantik sebagai Presiden Taiwan untuk masa jabatan empat tahun. Ini adalah rangkaian latihan mengelilingi pulau ketiga dalam dua tahun terakhir.
“Kami mendesak China untuk menahan diri dan berhenti merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan dan sekitarnya,” ujar Kementerian Luar Negeri Taiwan.
Departemen Luar Negeri AS pada Sabtu 25 Mei 2024 menyatakan “sangat prihatin” atas latihan militer China di Selat Taiwan dan sekitarnya. AS mendesak China untuk menahan diri.
“Menggunakan transisi yang normal, rutin, dan demokratis sebagai alasan untuk melakukan provokasi militer berisiko meningkatkan eskalasi dan mengikis norma-norma yang telah menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan selama beberapa dekade,” kata Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan.
China mengakhiri latihan perang dua hari di sekitar Taiwan yang mensimulasikan serangan dengan pesawat pengebom. China menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan telah berjanji untuk mengambil alih pulau itu, mungkin dengan kekerasan. Intelijen AS meyakini bahwa Xi Jinping telah memerintahkan PLA untuk siap mengambil alih pulau tersebut pada tahun 2027.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.