KABARBURSA.COM - China telah mengerek harga tembaga dari level terendah dalam tiga minggu terakhir setelah aktivitas manufaktur Negeri Tirai Bambu menunjukkan performa terkuat dalam hampir tiga tahun.
Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Caixin meningkat menjadi 51,7 pada bulan Mei dari 51,4 pada bulan April. Hasil survei ini, yang menyoroti perusahaan kecil yang berfokus pada ekspor, berbeda jauh dengan data resmi pemerintah China yang lebih pesimis terkait aktivitas pabrik.
Meskipun harga tembaga sempat mencapai rekor lebih dari USD11.000 per ton di London Metal Exchange (LME) bulan lalu, namun kemudian mengalami penurunan karena investor mulai memperhatikan tanda-tanda penurunan permintaan di China. Persediaan logam yang disimpan di gudang Shanghai Futures Exchange pada akhir Mei mencapai level tertinggi sepanjang tahun, menurut data bursa sejak 2003.
"Harga tembaga sedang normalisasi setelah reli short-covering mendorongnya ke rekor tertinggi baru. Ketika situasinya membaik dan pergerakan fundamental mulai berlaku (kemungkinan besar pada 2025), harga akan melanjutkan tren naik, tetapi kami memperkirakan lebih banyak volatilitas dalam waktu dekat," kata Christopher LaFemina, analis di Jefferies LLC, dalam sebuah catatan.
Harga tembaga naik sebanyak 1,5 persen di LME pada hari Senin, memutus penurunan harga selama tiga hari.
Pelaku pasar juga waspada terhadap risiko pasokan yang dapat memperketat pasar. Taseko Mines Ltd menghentikan operasi di tambang tembaga Gibraltar di Kanada karena pemogokan oleh yang dilakukan oleh serikat pekerja.
Harga tembaga naik 1,1 persen menjadi USD10.149,50 per ton pada pukul 4.55 sore waktu setempat di LME. Harga aluminium juga bergerak naik, sementara harga nikel dan timah turun.
China Agresif ke Tembaga
Kalangan ahli pertambangan menilai agresivitas China dalam produksi produk turunan tembaga di pabrik peleburan atau smelter, yang bertahan pada tingkat mendekati rekor tertinggi, dapat menguntungkan Indonesia sebagai eksportir tembaga.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan hasil produksi smelter di China tetap diserap pasar dalam negeri, khususnya untuk menjaga tingkat penyerapan tenaga kerja dan agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
Agresivitas China, di tengah pasar tembaga global yang dicekam oleh kekhawatiran akan kekurangan pasokan dan permintaan yang terjaga, bakal mengerek harga.
“Kalau melihat tren stok tembaga di London Metal Exchange [LME] ini terjadi kekurangan pasokan. Dengan demikian, harga masih tetap menarik untuk eksportir tembaga seperti Indonesia,” ujar Rizal saat dihubungi, dikutip Minggu, 2 Juni 2024.
Rizal mengatakan, saat ini pasokan pada pasar tembaga global memang tengah mengalami penurunan sejak Oktober 2023 yang berada pada level 191.000 ton. Angka itu kemudian turun menjadi 103.000 ton per 17 Mei 2024.
Hal ini menyebabkan harga naik sesuai mekanisme pasar imbas pasokan yang berkurang di tengah permintaan tinggi.
“Harga cash settlement pada Oktober 2023 masih di USD7,876 per ton dan terakhir naik menjadi USD10.668 per ton,” ujar Rizal.
Dengan demikian, Indonesia tentu akan mendapatkan keuntungan tambahan dengan kenaikan harga tersebut, baik dari royalti hingga peningkatan devisa dari ekspor tembaga.
Sekadar catatan, smelter-smelter di China padahal telah berjanji untuk mengurangi kapasitas produksi mereka setelah biaya layanan mereka turun akibat terbatasnya pasokan impor bijih yang mereka gunakan sebagai bahan baku.
Prospek kekurangan tembaga di China hanyalah salah satu pilar yang mendukung reli barnstorming yang membawa harga logam tersebut di atas USD11.000 per ton untuk pertama kalinya pada awal pekan lalu.
Namun, janji pemangkasan produksi tersebut tidak kunjung dilakukan dan perekonomian China yang melemah tidak mampu menyerap kelebihan produksi tembaga di negara tersebut tersebut.
Ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan menjadi makin mencolok dalam beberapa hari terakhir, tecermin dari harga tembaga yang turun hingga sedikit di atas USD10.300 per ton hari ini.
Meskipun kenaikan tersebut masih sebesar 21 persen secara year to date (ytd), hal ini menunjukkan bahwa selama China masih mengalami kelebihan pasokan, tembaga akan kesulitan untuk mencapai kenaikan harga lebih lanjut.
Harga Tembaga Sebelumnya
Menurut ANZ, harga tembaga didukung dengan baik oleh keterbatasan pasokan tahun ini, seiring dengan meningkatnya kendala pasokan. International Copper Study Group (ICSG) telah memangkas perkiraan surplus pasokan tembaga tahun ini karena produksi yang lebih rendah dari yang diperkirakan.
Pada November lalu, First Quantum Minerals menghentikan produksi di tambang tembaga Cobre Panamá, salah satu tambang terbesar di dunia, karena keputusan Mahkamah Agung dan protes nasional atas masalah lingkungan. Anglo American, salah satu produsen utama, juga mengumumkan rencana pemangkasan produksi tembaga pada tahun 2024 dan 2025 dalam upaya untuk mengurangi biaya.
Citi masih optimis bahwa tembaga akan mencapai USD12.000 per ton dan bahkan USD15.000 per ton dalam jangka waktu bullish selama 12-18 bulan mendatang.
“Keuntungan yang solid dari logam-logam industri dan kompleks logam mulia mendukung aliran masuk finansial dan fisik serta sentimen bullish,” kata analis strategi Citi.
Meskipun Citi memperkirakan konsolidasi harga tembaga dalam tiga hingga enam bulan ke depan, namun mereka yakin bahwa masih ada potensi reli lebih lanjut bagi tembaga, tergantung pada kebijakan suku bunga The Fed dan pemulihan manufaktur global. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.