KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengkritik rencana pemerintah yang melibatkan militer dalam proyek ketahanan pangan, khususnya dalam pengembangan lahan food estate seluas 4 juta hektare.
Menurut Yose, langkah tersebut merupakan bentuk terobosan yang tidak memperhitungkan keterbatasan sumber daya militer yang ada. Ia menyebutkan bahwa jumlah personel militer di Indonesia hanya sekitar 500 ribu orang, yang dinilai jauh dari memadai untuk mendukung proyek ambisius tersebut.
"Begitu juga dengan salah satunya adalah keterlibatan militer yang ditanyakan tadi. Keterlibatan militer dianggap bahwa ini merupakan satu terobosan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi karena diharapkan militer ini bisa masuk ke berbagai tempat," ujar Yose dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Namun, Yose mengingatkan bahwa kenyataan di lapangan menunjukkan adanya ketidakcocokan antara luas lahan yang ingin dibuka dan jumlah personel militer yang tersedia.
"Tapi kita lupa bahwa militer kita pun juga sebenarnya terbatas sekali. Hanya ada sekitar 500 ribu orang tenaga militer kita. Sementara kita ingin membuka lahan sebesar 4 juta hektare. Dan di sana militer diharapkan untuk ikut di dalamnya, berpartisipasi di dalamnya untuk membangun ketahanan pangan," jelasnya.
Bahkan, lanjut Yose, jika seluruh personel militer dikerahkan untuk proyek food estate, jumlah tersebut tetap tidak akan mencukupi. Di sisi lain, militer seharusnya tetap fokus pada tugas utamanya, yakni menjaga pertahanan nasional, apalagi dalam situasi global yang semakin kompleks.
"Walaupun semua militer yang ada itu kemudian kita kerahkan ke sana untuk membangun food estate, itu nggak cukup juga jumlahnya. Sementara kita juga lihat bahwa militer seharusnya kan mempunyai peranan yang lebih penting lagi di dalam pertahanan nasional kita. Apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini," paparnya.
Yose menilai bahwa obsesi pemerintah terhadap berbagai "terobosan" seperti ini justru berpotensi melemahkan fondasi kebijakan yang seharusnya dibangun di atas konsistensi dan penerapan strategi yang telah terbukti efektif.
"Ini hal-hal terobos yang kadang-kadang kita terlalu terobsesi dengan menemukan terobosan-terobosan. Padahal kita seharusnya stick saja dengan berbagai resep-resep yang memang sudah baku. Yang memang kelihatannya tidak menjanjikan sesuatu hal yang wah yang bisa dipropagandakan oleh para buzzer. Tetapi sebenarnya itu yang menjanjikan. Yang harusnya kita lakukan secara konsisten," pungkas Yose.
Jurus Capai Swasembada
Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Sofyan Sjaf, mengkritisi kebijakan food estate yang terus diandalkan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan, meskipun berkali-kali terbukti gagal. Ia menegaskan bahwa diskusi mengenai swasembada pangan bukanlah hal baru, tetapi telah berulang sejak puluhan tahun lalu tanpa hasil yang signifikan.
"Ini adalah diskusi yang memang tidak hanya dibicarakan hari ini. Sepuluh tahun yang lalu, dua puluh tahun yang lalu, juga di hari yang sama dibicarakan terkait dengan swasembada pangan," ujar Sofyan dalam sebuah diskusi publik, di Jakarta Selatan, Kamis 30 Januari 2025.
Sofyan mengungkapkan sejumlah proyek food estate yang gagal total dalam beberapa dekade terakhir. Misalnya, proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1996 yang menargetkan pembukaan 1.457.100 hektare, tetapi hanya 48 hektare yang terealisasi. Kemudian di Bulungan, Kalimantan Timur, pada 2011, dari luas 2.981.221 hektare, hanya 5 hektare yang berhasil.
Kegagalan serupa juga terjadi di Merauke, Papua, pada 2013. Dari 1,23 juta hektare yang direncanakan, hanya 400 hektare yang berjalan. Sementara di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2012, dari total potensi lahan sebesar 896.196 hektare, hanya 10.000 hektare yang dibuka, dan yang bertahan hanya 104 hektare.
Kendati demikian, pemerintah mengklaim produksi padi pada Januari-Maret 2025 diprediksi naik hingga 50 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan produksi padi sebesar 50 persen pada Januari 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan juga diperkirakan mencapai 49 persen pada Februari serta 51 persen pada Maret 2025.
Seiring meningkatnya produksi padi, harga beras diharapkan menurun, memberikan dampak positif bagi masyarakat. Saat ini, harga gabah di 70 persen provinsi di Indonesia berada di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), yakni Rp6.500 per kilogram.
Namun, melihat kegagalan berulang program food estate, Sofyan pun mempertanyakan apakah peningkatan produksi ini benar-benar mencerminkan keberhasilan strategi ketahanan pangan pemerintah, atau justru hanya lonjakan sesaat tanpa solusi jangka panjang.
"Pertanyaannya adalah, apakah food estate tetap menjadi sebuah pendekatan untuk swasembada pangan? Atau adakah pendekatan lain yang bisa benar-benar menyejahterakan petani?" tanya Sofyan.(*)