Logo
>

Cuan Lebih Cepat: ini Saham Ritel Efisien di IDX30 dan LQ45

KabarBursa.com mengajak para investor, baik investor ritel maupun institusional, untuk melihat lebih dalam kinerja operasional emiten-emiten ritel terpilih di IDX30 dan LQ45, dan bagaimana days inventory dapat menjadi kunci dalam mengenali saham.

Ditulis oleh Syahrianto
Cuan Lebih Cepat: ini Saham Ritel Efisien di IDX30 dan LQ45
Ilustrasi: Cuan Lebih Cepat: ini Saham Ritel Efisien di IDX30 dan LQ45. (Foto: AI untuk KabarBursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketika ekonomi global menghadapi tantangan inflasi, ketidakpastian geopolitik, dan volatilitas pasar, sektor ritel Indonesia justru memperlihatkan ketangguhan tersendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, pemulihan daya beli masyarakat, akselerasi digitalisasi bisnis, serta perubahan perilaku konsumen pascapandemi menjadi katalis positif bagi emiten-emiten ritel di Bursa Efek Indonesia (BEI).

    Sejumlah indikator makro seperti pertumbuhan konsumsi rumah tangga, indeks keyakinan konsumen yang tetap kuat, dan tren urbanisasi menunjukkan bahwa sektor ini masih menjadi tulang punggung ekonomi domestik. Tak hanya itu, dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), transformasi omnichannel, hingga ekspansi jaringan ritel ke kota lapis kedua turut menciptakan peluang pertumbuhan yang menarik.

    Namun, dalam euforia sektor ritel yang menggeliat ini, tidak semua saham ritel diciptakan sama. Keberhasilan suatu perusahaan tidak hanya bergantung pada pendapatan yang tumbuh atau ekspansi gerai, tapi juga pada seberapa efisien perusahaan tersebut mengelola siklus operasionalnya, khususnya dalam hal pengelolaan persediaan barang.

    Di sinilah peran days inventory menjadi relevan. Metrik ini mengukur berapa lama rata-rata waktu yang dibutuhkan suatu emiten untuk mengubah persediaan barang menjadi penjualan. Semakin rendah nilainya, semakin cepat perusahaan memutar stok menjadi kas, sebuah indikator efisiensi yang krusial namun kerap diabaikan oleh banyak investor awam.

    Melalui artikel ini, KabarBursa.com mengajak para investor, baik investor ritel maupun institusional, untuk melihat lebih dalam kinerja operasional emiten-emiten ritel terpilih di IDX30 dan LQ45, dan bagaimana days inventory dapat menjadi kunci dalam mengenali saham yang lebih lincah dan berpotensi memberi return lebih cepat. Tak hanya dari sisi internal perusahaan, KabarBursa.com juga akan mengaitkan analisis ini dengan kondisi makroekonomi aktual agar investor memperoleh insight yang lebih holistik dan faktual dalam mengambil keputusan investasi.

    Days Inventory: Indikator Kunci Efisiensi Operasional

    Dalam menganalisis efisiensi operasional perusahaan ritel, salah satu metrik yang semakin relevan namun sering kali luput dari perhatian investor awam adalah days inventory. Indikator ini mengukur berapa hari rata-rata yang dibutuhkan sebuah perusahaan untuk menjual seluruh persediaan barang yang dimilikinya. Semakin kecil angkanya, semakin cepat perputaran barang dari gudang ke konsumen, yang secara langsung berkontribusi pada arus kas yang lebih sehat dan risiko penumpukan barang yang lebih rendah. 

    Secara teknis, days inventory dihitung dengan membagi nilai persediaan akhir perusahaan dengan biaya pokok penjualan (COGS), kemudian dikalikan dengan 365 hari. 

    Metrik ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan; ia mencerminkan kemampuan manajemen dalam mengatur rantai pasok, merespons permintaan pasar, dan menjaga efisiensi operasional. Bila sebuah emiten memiliki days inventory yang rendah, itu berarti perusahaan mampu menjual barangnya dalam waktu singkat, sehingga meminimalkan risiko produk menjadi usang atau memerlukan diskon besar untuk bisa terjual. 

    Sebaliknya, days inventory yang tinggi bisa menjadi sinyal potensi overstock atau ketidaksesuaian antara produk yang ditawarkan dan kebutuhan aktual pasar.

    Namun, penting untuk dicatat bahwa perbandingan days inventory hanya valid jika dilakukan antar perusahaan dalam sektor yang sama. Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik barang, siklus penjualan, dan strategi operasional di tiap subsektor ritel. 

    Sebuah perusahaan minimarket, misalnya, secara alami akan memiliki rotasi stok yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang menjual peralatan rumah tangga atau fashion olahraga. Oleh karena itu, interpretasi metrik ini harus selalu dikaitkan dengan konteks model bisnis masing-masing emiten agar tidak menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan.

    Menelaah Saham Ritel IDX30 dan LQ45

    Empat emiten ritel terkemuka yang tergabung dalam indeks IDX30 dan LQ45 menjadi fokus utama dalam analisis ini: PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), PT Map Aktif Adiperkasa Tbk (MAPA), dan PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk (ACES). Keempatnya merepresentasikan sub-segmen ritel yang berbeda, dari kebutuhan sehari-hari, fesyen dan gaya hidup, hingga perlengkapan rumah tangga. Perbedaan model bisnis ini menjadi konteks penting dalam membaca metrik efisiensi mereka, terutama dari sisi pengelolaan persediaan barang atau days inventory.

    Berdasarkan laporan keuangan tahun 2024, AMRT mencatatkan days inventory sebesar 42,98 hari. Angka ini menunjukkan tingkat efisiensi yang sangat tinggi, mencerminkan cepatnya rotasi barang dalam jaringan minimarket yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Model bisnis fast-moving consumer goods (FMCG) yang diadopsi oleh AMRT memang mendukung strategi inventory turnover yang agresif, dengan produk-produk berumur pendek dan frekuensi pembelian yang tinggi. Dengan perputaran barang kurang dari 1,5 bulan, AMRT menjadi benchmark efisiensi yang sulit disaingi dalam konteks ritel kebutuhan harian.

    Berbeda halnya dengan MAPI yang bergerak di segmen ritel gaya hidup menengah ke atas. Perusahaan ini mencatatkan days inventory sebesar 137,77 hari. Meskipun secara angka terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan AMRT, dalam konteks ritel fashion, metrik ini mencerminkan efisiensi yang cukup kompetitif. Produk-produk yang dijual MAPI, seperti busana, alas kaki, dan aksesori, memiliki siklus hidup yang lebih panjang dan pola pembelian yang lebih terencana oleh konsumen. Maka dari itu, angka mendekati 4,5 bulan masih dalam kategori wajar, terlebih jika disandingkan dengan margin laba kotor yang tinggi.

    MAPA, anak usaha MAPI yang fokus pada ritel produk olahraga premium, mencatatkan days inventory sebesar 187,26 hari. Ini berarti persediaan barang rata-rata berada di gudang selama lebih dari enam bulan sebelum terjual. Tingginya angka ini mencerminkan karakteristik produk olahraga yang tergolong high value–low frequency purchase, serta strategi bisnis MAPA yang menitikberatkan pada eksklusivitas dan margin dibandingkan volume penjualan cepat. Walau begitu, angka days inventory setinggi ini tetap perlu dipantau karena berpotensi menekan efisiensi operasional secara keseluruhan.

    Sementara itu, ACES menempati posisi dengan tingkat efisiensi terendah dalam daftar ini, mencatatkan days inventory sebesar 251,66 hari. Dengan kata lain, barang-barang yang dijual, yang sebagian besar adalah produk perlengkapan rumah dan hobi, memerlukan waktu lebih dari delapan bulan untuk terjual. Meskipun model bisnis ACES menyasar produk tahan lama, tingginya angka ini menunjukkan potensi risiko penumpukan stok, terutama di tengah perubahan selera konsumen dan tren dekorasi rumah. Efisiensi yang rendah ini dapat berdampak pada struktur biaya logistik dan penyusutan nilai barang di gudang.

    Infografis: Days inventory empat emiten di IDX30 dan LQ45. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Efisiensi operasional yang tercermin melalui days inventory hanya satu dari sekian banyak indikator yang harus dipertimbangkan investor dalam menilai kelayakan suatu saham ritel. Untuk memperoleh gambaran menyeluruh, analisis perlu diperluas ke aspek yang lebih fundamental: laporan keuangan secara utuh. Dalam hal ini, kinerja keempat emiten ditinjau dari tiga perspektif utama: laba rugi (income statement), neraca (balance sheet), dan arus kas (cash flow statement).

    AMRT, sebagai emiten dengan days inventory terendah, membukukan pendapatan sebesar Rp118,2 triliun pada tahun 2024, tumbuh sekitar 10,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Laba bersih mencapai Rp3,2 triliun dengan margin bersih sekitar 2,7 persen. Neraca perusahaan menunjukkan struktur modal yang sehat dan modal kerja positif. Arus kas operasional juga mencatat hasil yang kuat, mencerminkan kemampuan konversi laba menjadi likuiditas nyata.

    MAPI mencatat pendapatan sebesar Rp37,8 triliun dan laba bersih Rp2,1 triliun. Margin laba kotor yang berada di atas 40 persen menunjukkan kekuatan daya tawar dan portofolio merek yang mapan. Neraca MAPI mencerminkan struktur keuangan yang solid dengan proporsi aset lancar yang tinggi, serta arus kas operasional yang tetap positif.

    MAPA membukukan pendapatan Rp17,2 triliun dan laba bersih Rp1,3 triliun, dengan margin kotor yang tetap kuat. Namun, neraca menunjukkan peningkatan signifikan dalam nilai persediaan, yang harus diimbangi dengan pertumbuhan penjualan yang berkelanjutan agar tidak menjadi beban kas. Arus kas dari aktivitas operasional masih mencatat aliran masuk, meskipun dalam rasio yang lebih kecil dibanding pendapatan.

    ACES, meskipun mencatat pendapatan sebesar Rp8,58 triliun dan laba bersih Rp885 miliar, menunjukkan tekanan dari sisi efisiensi. Rasio persediaan terhadap total aset tergolong tinggi, dan arus kas operasional mengindikasikan perlambatan. Struktur kas yang relatif konservatif memungkinkan perusahaan untuk menjaga kelangsungan operasional, namun penyesuaian strategi inventori menjadi penting untuk menjaga pertumbuhan ke depan.

    Secara keseluruhan, terlihat bahwa days inventory memiliki korelasi langsung terhadap arus kas dan efektivitas pemanfaatan aset dalam laporan keuangan. Emiten dengan rotasi persediaan lebih cepat cenderung mencatat arus kas yang lebih kuat dan struktur neraca yang lebih sehat. Oleh karena itu, memahami metrik ini dalam konteks yang tepat membantu investor mengambil keputusan berdasarkan landasan operasional dan finansial yang terukur.

    Infografis: Snapshot kinerja keuangan AMRT, MAPI, MAPA, ACES. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Perspektif Ekonomi Makro

    Dalam menilai prospek saham-saham ritel, analisis tidak dapat dilepaskan dari konteks ekonomi makro yang lebih luas. Faktor-faktor eksternal seperti tingkat inflasi, suku bunga acuan, nilai tukar rupiah, hingga harga komoditas global memainkan peran penting dalam menentukan daya beli konsumen, struktur biaya operasional, serta ekspektasi pertumbuhan pendapatan emiten ritel. Pemahaman terhadap variabel-variabel ini menjadi penting agar investor tidak hanya menilai perusahaan dari kinerja internal, tetapi juga dari resiliensi mereka terhadap dinamika ekonomi yang lebih besar.

    Inflasi, misalnya, memiliki pengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat. Pada tahun 2024, tingkat inflasi Indonesia masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia, yakni di bawah 4 persen. Namun, fluktuasi harga bahan pokok dan energi tetap menjadi perhatian, terutama bagi perusahaan ritel seperti AMRT yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Jika inflasi meningkat, konsumen cenderung menekan belanja non-esensial, yang dapat berdampak pada kinerja emiten seperti MAPA dan ACES yang bergerak di sektor barang tahan lama dan discretionary spending.

    Suku bunga acuan atau BI rate juga berperan dalam mengatur ritme konsumsi dan investasi. Kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia sebagai respons terhadap tekanan eksternal dapat menurunkan minat konsumen untuk berutang, serta menambah beban bunga bagi perusahaan yang memiliki struktur pembiayaan berbasis pinjaman. Meskipun AMRT dan MAPI memiliki neraca yang relatif sehat, tekanan suku bunga tetap dapat memengaruhi keputusan ekspansi atau pengembangan gerai baru.

    Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menjadi faktor penting, khususnya bagi emiten seperti MAPI dan MAPA yang mengandalkan produk impor. Melemahnya rupiah dapat meningkatkan biaya pokok penjualan dan menekan margin keuntungan jika tidak diimbangi dengan strategi harga yang tepat. Sementara AMRT dan ACES yang cenderung beroperasi dengan rantai pasok lokal, relatif lebih terlindungi dari risiko kurs, namun tetap harus waspada terhadap implikasi harga bahan baku yang dipengaruhi harga global.

    Harga komoditas global juga turut memengaruhi biaya logistik dan operasional. Kenaikan harga minyak dunia, misalnya, dapat meningkatkan ongkos distribusi barang, terutama bagi ritel dengan jaringan logistik luas seperti ACES. Selain itu, tren harga bahan baku seperti plastik, kertas, dan tekstil akan berdampak pada harga pokok produk ritel, yang pada akhirnya memengaruhi strategi penetapan harga di tingkat gerai.

    Dalam kondisi seperti ini, penting bagi investor untuk menilai sejauh mana fleksibilitas dan daya adaptasi masing-masing emiten terhadap tekanan eksternal. Emiten dengan struktur biaya yang efisien, daya tawar yang kuat terhadap pemasok, serta strategi diversifikasi mata uang dalam pembelian barang akan memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menjaga profitabilitas. Oleh karena itu, mempertimbangkan indikator makroekonomi dalam analisis investasi bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan utama dalam menilai keberlanjutan kinerja emiten ritel di tengah dinamika pasar global.

    Potensi Jangka Pendek vs Jangka Panjang

    Analisis potensi saham ritel memerlukan pendekatan menyeluruh, tidak hanya dari aspek efisiensi operasional, tetapi juga dari sudut pandang valuasi pasar dan proyeksi pertumbuhan yang diestimasi oleh analis. Dengan menggabungkan data terbaru terkait harga saham, indikator valuasi fundamental, serta konsensus estimasi kinerja hingga 2026, artikel ini menyajikan gambaran berbasis data atas arah strategis masing-masing emiten ritel. Perlu dicatat bahwa seluruh harga saham yang dibahas di bawah ini merupakan harga terakhir yang tercatat pada pukul 15.00 WIB, Rabu, 23 April 2025, dan belum mencerminkan harga penutupan resmi sesi perdagangan hari tersebut.

    AMRT tercatat pada harga Rp1.990 dengan kenaikan 4,19 persen dari sesi sebelumnya dan kapitalisasi pasar sebesar Rp82,2 triliun. Rasio price-to-earnings (P/E) saat ini berada di angka 26,18 dan menurun ke 17,09 pada forward P/E tahun 2025, dengan earnings yield sebesar 3,82 persen dan price-to-sales 0,70. Berdasarkan estimasi analis, AMRT diproyeksikan mencetak pendapatan Rp144,6 triliun pada 2026, meningkat dari Rp118,2 triliun pada 2024. Laba bersih juga diperkirakan naik dari Rp3,1 triliun menjadi Rp5,1 triliun, dengan EPS dari 75,81 ke 123,61. Efisiensi operasional perusahaan tercermin dari days inventory yang sangat rendah di 42,98 hari, mendukung perputaran kas yang cepat dan struktur biaya yang ramping. Dalam konteks operasional dan prospek pertumbuhan yang solid, AMRT memperlihatkan daya tahan kuat terhadap volatilitas pasar jangka pendek.

    Sementara itu, MAPI berada pada level Rp1.345 per saham dengan valuasi P/E sebesar 12,63 dan forward P/E 10,02. Price-to-sales 0,59 serta price-to-book value 1,91 mengindikasikan valuasi moderat untuk perusahaan yang mengelola berbagai merek internasional di sektor ritel gaya hidup. Menurut proyeksi analis, pendapatan MAPI akan bertumbuh dari Rp37,8 triliun menjadi Rp47,5 triliun dalam dua tahun mendatang. Laba bersih juga diperkirakan naik dari Rp1,7 triliun menjadi Rp2,4 triliun, dan EPS dari 106,48 ke 154,46. Dengan days inventory sebesar 137,77 hari, MAPI menunjukkan efisiensi yang masih kompetitif dalam kategorinya. Rotasi produk yang tidak secepat sektor FMCG dikompensasi dengan margin tinggi dan strategi portofolio merek yang terdiversifikasi.

    MAPA, anak usaha MAPI yang fokus pada ritel olahraga, tercatat di harga Rp635 dengan kenaikan 3,25 persen. P/E ratio berada di angka 13,05 dan forward P/E turun ke 8,76, sementara price-to-sales mencapai 1,03. Data konsensus menunjukkan pertumbuhan pendapatan dari Rp17,2 triliun pada 2024 menjadi Rp24,3 triliun pada 2026. Laba bersih diestimasi naik dari Rp1,3 triliun menjadi Rp2,2 triliun, dengan EPS yang meningkat dari 47,50 ke 81,13. Meski mencatat days inventory sebesar 187,26 hari—tertinggi kedua setelah ACES—MAPA menunjukkan proyeksi pertumbuhan yang kuat. Segmentasi produk yang lebih sempit dan eksklusifitas merek turut menjelaskan tingginya siklus persediaan, tanpa mengindikasikan kelemahan struktural dalam operasional.

    ACES mencatat harga terakhir di Rp500 dengan kenaikan 3,31 persen dan volume transaksi harian yang melonjak signifikan. Valuasi perusahaan saat ini berada pada P/E 9,69 dan forward P/E 8,22, dengan earnings yield mencapai 10,32 persen. Konsensus analis memperkirakan pertumbuhan pendapatan dari Rp8,5 triliun menjadi Rp10,2 triliun, dan laba bersih dari Rp892 miliar menjadi Rp1,09 triliun dalam periode 2024–2026. EPS diproyeksikan naik dari 52,10 ke 63,31. Di sisi operasional, ACES memiliki days inventory tertinggi, yaitu 251,66 hari, yang menunjukkan tantangan dalam manajemen stok. Namun, valuasi yang konservatif dan performa keuangan yang tetap positif memberi ruang bagi perbaikan, terutama bila strategi inventori disesuaikan dengan dinamika permintaan pasar.

    Infografis: Valuasi empat emiten ritel di IDX30 dan LQ45. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Takeaway Investor

    Di tengah pertumbuhan konsumsi domestik dan ekspansi sektor ritel nasional, efisiensi operasional menjadi faktor kunci dalam membedakan performa antar emiten. Salah satu indikator utama yang mampu merefleksikan efisiensi tersebut adalah days inventory, yang dalam konteks empat saham ritel IDX30 dan LQ45, AMRT, MAPI, MAPA, dan ACES, menunjukkan variasi yang signifikan dalam kecepatan perputaran persediaan.

    AMRT mencatat days inventory terendah, menandakan kekuatan model bisnis fast-moving consumer goods dalam menghasilkan arus kas cepat dan resilien terhadap tekanan eksternal. MAPI dan MAPA, meskipun memiliki siklus stok yang lebih panjang, menunjukkan potensi pertumbuhan yang solid baik dari sisi pendapatan maupun laba bersih, sebagaimana tercermin dalam proyeksi analis hingga 2026. Sementara itu, ACES menghadapi tantangan terbesar dalam hal efisiensi rotasi barang, namun tetap mempertahankan kinerja keuangan yang sehat serta valuasi yang kompetitif di antara para pesaingnya.

    Di sisi lain, dinamika makroekonomi seperti inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan harga komoditas global turut memengaruhi struktur biaya dan daya beli konsumen. Emiten yang mampu menyesuaikan strategi bisnisnya dengan lingkungan eksternal serta menjaga efisiensi internal akan memiliki posisi yang lebih kuat dalam menghadapi ketidakpastian pasar.

    Bagi investor, baik individu maupun institusi, memahami interaksi antara efisiensi operasional dan proyeksi kinerja keuangan menjadi langkah awal yang penting dalam membangun strategi investasi yang terukur. Days inventory bukanlah satu-satunya indikator, tetapi dapat menjadi sinyal awal untuk mengidentifikasi perusahaan dengan ketangguhan operasional yang tinggi. Ketika dikombinasikan dengan analisis menyeluruh terhadap laporan keuangan dan konteks makroekonomi, indikator ini dapat memperkuat kualitas keputusan investasi secara menyeluruh. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.