KABARBURSA.COM - Guru Besar IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Etty Riani membeberkan dampak pencemaran air terhadap ekonomi di masyarakat.
Etty menyatakan, air merupakan sumber kehidupan. Sehingga jika kualitas air terjaga, maka kehidupan masyarakat akan baik-baik saja.
"Jika air bagus, ikan, tanaman, hingga hewan ternak yang makan rumput seperti sapi dan kambing, tidak akan terkontaminasi oleh bahan pencemar," kata Etty kepada Kabar Bursa, Jumat 24 Mei 2024.
Akan tetapi lain halnya jika air sudah tercemar. Menurut Etty, andai hal ini terjadi, diperkirakan bakal menimbulkan masalah baru di masyarakat.
"Airnya banyak tapi kualitasnya buruk, itu akan memunculkan berbagai masalah, sampai pada akhirnya mengakibatkan pelestarian akan terganggu," ujarnya.
Etty menuturkan krisis air bisa berdampak pada perekonomian masayarakat. Sebagai contoh, papar dia, masyarakat tidak bisa menggunakan air bersih dikarenakan air yang berasal dari hujan langsung menuju ke laut.
Etty menilai, kondisi tersebut bakal merugikan masyarakat, terutama kalangan menengah bawah . Pasalnya, mereka harus merogoh kocek untuk membeli air bersih.
"Karena (air) ini tidak bisa dipakai, maka otomatis harus membeli, mungkin dulu air ada dimana-mana, ga perlu membeli. Jadi secara ekonomi jelas akan merugikan terutama untuk masyarakat kecil," katanya.
Lebih lanjut Etty mengatakan, kesehatan masyarakat juga terancam akibat tercemarnya air. Dia bilang, masyarakat rentan terkena penyakit jika air sudah terkontaminasi.
Imbasnya, kata Etty, masyarakat kembali harus mengeluarkan pundi-pundi rupiahnya untuk melakukan pengobatan ke dokter.
"Kalau sakit, berobat kan enggak murah. Kalau hanya pusing saja mungkin hanya biaya dokter dan obat . Tapi kalau sudah kanker dan lain sebagainya, butuh peralatan untuk mengecek analisis pemeriksaan, itu kan mahal," jelas dia.
Berdasarkan itu, Etty menyimpulkan, jika kualitas dan kuantitas air rusak, akan berdampak buruk terhadap ekonomi masyarakat. Dengan begitu, dia ingin, air tidak hanya dilihat dari kuantitas saja, namun segi kualitasnya juga harus diperhatikan.
Air menjadi isu yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dalam agenda World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, pada 18-25 Mei 2024.
Penyelenggaraan WWF akan menjadi platform untuk membahas masalah kritis terkait air, termasuk pengelolaan air yang berkelanjutan, adaptasi terhadap perubahan iklim, dan air dan sanitasi.
Forum Air Dunia ke-10 ini mengusung enam sub tema, yakni ketahanan dan kesejahteraan air, air untuk manusia dan alam, pengurangan dan pengelolaan risiko bencana, tata kelola, kerja sama, dan hidro-diplomasi, pembiayaan air berkelanjutan, dan pengetahuan dan inovasi.
Hasil forum diharapkan dapat menghasilkan komitmen dan tindakan nyata untuk mencapai pengelolaan air yang lebih baik dan berkelanjutan.
Di sisi lain, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membutuhkan sekitar Rp123 triliun untuk mencapai target 30 persen air minum perpipaan 2030.
“Kalau fokus di air minum saja, ya, itu untuk naikin 10 persen, itu butuhnya Rp123 triliun. Untuk naikin 10 persen perpipaan,” ujar Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna dikutip Kamis, 23 Mei 2024.
Herry memaparkan bahwa progres air minum perpipaan Indonesia saat ini berada di angka 19,45 persen. Untuk mencapai target 30 persen air minum perpipaan sebagaimana yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, dibutuhkan peningkatan sebesar 10 persen.
“Kalau menuju 100 persen kan masih 80 persen yang harus kita kejar. Nah, tadi 10 persen butuh Rp123,4 triliun. Jadi, kalau mau naikin segitu (80 persen), tinggal dikalikan saja kebutuhannya,” kata Herry.
Oleh karena itu, Herry menekankan pentingnya mendukung usulan Global Water Fund yang disuarakan oleh Indonesia dalam World Water Forum Ke-10. Menurut dia, sulit bagi negara-negara berkembang untuk merealisasikan proyek-proyek besar mereka terkait akses terhadap air.