Logo
>

Dampak Perubahan Iklim Bisa Pangkas PDB 5 Persen

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Dampak Perubahan Iklim Bisa Pangkas PDB 5 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai angka yang dilaporkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa dampak negatif perubahan iklim dapat mengurangi pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 2,87 persen terlalu rendah. Menurut dia, berdasarkan beberapa studi, dampak perubahan iklim sebenarnya bisa mengurangi PDB hingga 5 persen.

    "Angka 2,87 persen itu tergolong rendah karena beberapa studi menunjukkan bahwa dampaknya bisa berkisar antara 2 persen hingga 5 persen," ujar Fabby kepada Kabar Bursa, Jumat, 31 Mei 2024.

    Fabby menjelaskan, bahwa pemangkasan PDB memang bisa dipengaruhi oleh perubahan iklim, tergantung pada kenaikan temperatur. Kenaikan temperatur ini dapat menyebabkan berbagai hal yang dapat mempengaruhi ekonomi, salah satunya adalah kenaikan muka air laut.

    Dia menerangkan, saat es di kutub mencair, muka air laut naik, menyebabkan daerah pesisir tenggelam. Kerugian yang timbul dari ini adalah tanah yang tidak bisa lagi menjadi tanah produktif, seperti tambak di pinggir laut yang hilang potensinya. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga terdampak, dan kawasan pertanian bisa terganggu oleh intrusi air laut.

    "Kemudian, daerah pemukiman akan terdampak, orang harus pindah dan melakukan relokasi, serta ada kerugian ekonomi dari infrastruktur yang tergenang akibat kenaikan muka air laut tersebut," jelas dia.

    Selain itu, kenaikan temperatur juga dapat menurunkan produktivitas kerja karena orang lebih mudah sakit, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan output ekonomi.

    Perubahan iklim juga mengganggu produksi pangan, setiap kenaikan 0,1 derajat Celsius bisa mengurangi produktivitas pangan hingga 10 persen. Jika produktivitas pangan menurun, akan terjadi kekurangan pasokan yang menyebabkan harga naik, dan hal ini berdampak pada inflasi.

    Fabby pun mengatakan untuk mengurangi risiko perubahan iklim, Pemerintah harus memangkas emisi gas rumah kaca, yang mana 70 persen dari emisi gas rumah kaca itu dihasilkan oleh energi fosil.

    "Jadi, dampak perubahan iklim terhadap ekonomi kita sangat besar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk mengakselerasi transisi energi," tandas dia.

    Sebelumnya, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, menyampaikan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim bisa mencapai 2,87 persen dari produk domestik bruto (PDB).

    Adapun mitigasi perubahan iklim membutuhkan biaya sekitar USD281 miliar. Sementara, adaptasi terhadap perubahan iklim memerlukan biaya antara USD2,3 miliar hingga USD12,14 miliar.

    “Aksi adaptasi dibutuhkan dana USD2,3 miliar hingga USD 12 miliar untuk membangun ketahanan dan kapasitas kita beradaptasi mengurangi risiko kerugian. Kalau tidak bisa, maka akan mengalami kerugian 2,7 persen dari PDB,” tutur Boby dalam media briefing Kemenkeu, dikutip Kamis, 30 Mei 2024.

    Boby menegaskan bahwa kebijakan fiskal moderat diperlukan untuk mendanai kebutuhan perubahan iklim, baik melalui penerimaan negara, pendanaan, maupun pembiayaan. Penerimaan negara harus diarahkan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam, investasi energi baru terbarukan, dan memastikan transisi energi yang adil dan terjangkau.

    “Dengan fiscal tools, fasilitas pajak itu kita gunakan untuk merangsang, misal electric vehicle industry, fasilitas perpajakan yang dibebaskan atau tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk, dan lainnya. Penerimaan PNBP sektor hutan itu bisa dikelola dari penerimaan negara,” jelasnya.

    Pemerintah terus mencari sumber pembiayaan lain yang terkait dengan lingkungan, sosial, dan budaya. Pendanaan ini dilakukan melalui climate budget tagging, yaitu pemberian tanda khusus pada belanja yang berhubungan dengan penanganan dampak perubahan iklim.

    Sebagai informasi, dalam enhanced nationally determined contribution (NDC), pemerintah menargetkan penurunan emisi sebesar 32 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,2 persen pada 2030.

    Tantangan Sektor Pertanian

    Perubahan iklim dinilai masih menjadi tantangan bagi sektor pertanian Indonesia pada kuartal II 2024. Pemerintah pun diminta untuk mengantisipasi hal ini.

    “Perubahan iklim masih akan terus menjadi tantangan ke depan,” ujar pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori kepada Kabar Bursa, Kamis, 9 Mei 2024.

    Lebih lanjut Khudori meminta agar pemerintah bisa mengantisipasi hal tersebut dengan berbagai cara. Salah satunya adalah meningkatkan produksi dan produktivitas pangan, terutama beras.

    “Selain itu, pemerintah juga perlu menjamin harga GKP (Gabah Kering Panen) tetap menguntungkan petani,” kata Khudori.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS)  mencatat lapangan usaha pertanian terkontraksi 3,54 persen pada kuartal I 2024.

    Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan terkontraksi sektor pertanian diakibatkan oleh El Nino. Hal ini mengakibatkan penurunan produksi komoditas pertanian, khususnya tanaman pangan.

    “El Nino yang terjadi sejak semester II-2023 dan tekanannya berkurang pada April 2024 telah menyebabkan produksi beras dan jagung nasional turun. Beras, misalnya, pada 2023, total produksinya 31,1 juta ton atau turun 1,36 persen secara tahunan,” jelas Khudori.

    Kemudian, pada Januari-Maret 2024, lanjut Khudori, data kerangka sampel area BPS menunjukkan total produksi beras nasional sebanyak 5,78 juta ton. Jumlah tersebut turun sebesar 37,98 persen dibandingkan triwulan I-2023 yang sebanyak 9,32 juta ton.

    Dia bilang, El Nino juga menyebabkan panen raya padi hasil musim tanam I mundur dari biasanya Maret menjadi April 2024. Hal itu menyebabkan input sektor pertanian tanaman pangan terhadap PDB triwulan I 2024 juga kecil.

    “Di samping itu, pada triwulan I 2024, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sangat tinggi, bahkan ada yang tembus Rp8.000 per kg di sejumlah daerah. Namun, lantaran baru sedikit daerah yang panen padi, hanya sedikit petani yang menikmati kenaikan harga GKP itu,” terang Khudori.

    Menurut Khudori situasi perberasan pada tahun lalu hingga triwulan I 2024 menjadi pembelajaran bagi pemerintah.

    Penurunan produksi beras akibat El Nino dan kenaikan harga GKP yang tidak dirasakan banyak petani berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.