KABARBURSA.COM - Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengumumkan bahwa mulai 2024, Dana Desa akan diprioritaskan untuk permodalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
"Pada tahun anggaran 2024, amanat prioritas pemanfaatan Dana Desa harus dijalankan untuk permodalan BUMDes, BUMDes Bersama, dan BUMDesa Bersama Lembaga Keuangan Desa (LKD)," kata Gus Halim, sapaan akrab Abdul Halim Iskandar, dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin 24 Juni 2024.
Keputusan ini, lanjutnya, mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan revisi Undang-Undang (UU) Desa, khususnya Pasal 72A UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa.
Aturan tersebut, katanya, menegaskan bahwa pendapatan desa diprioritaskan untuk pendidikan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekonomi, dan kesejahteraan.
Gus Halim menyampaikan bahwa hingga 22 Juni 2024, kerja sama antara Kemendes PDTT dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengenai pendaftaran BUMDes telah menghasilkan 18.850 BUMDes yang berbadan hukum dari total 65.941 BUMDes.
Selain itu, 271 dari 3.243 BUMDes Bersama juga telah berbadan hukum. Dari jumlah tersebut, 2.453 BUMDes Bersama LKD hasil transformasi UPK eks PNPM, dan 1.305 di antaranya telah berbadan hukum.
Kemendes PDTT terus berupaya menunjang usaha BUMDes secara resmi. Salah satu upaya adalah melalui kerja sama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Gus Halim mengungkapkan bahwa kerja sama ini telah menghasilkan 1.016 Nomor Induk Berusaha (NIB) BUMDes, dengan rincian 720 NIB BUMDes dan 296 NIB BUMDes Bersama, terutama BUMDes Bersama LKD.
Potensi Ekses Negatif
Masyarakat diingatkan untuk memperhatikan potensi ekses negatif terkait anggaran dana desa yang diberikan oleh pemerintah pusat. Salah satu ancamannya adalah potensi korupsi yang dapat dilakukan oleh oknum perangkat desa terhadap dana tersebut.
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jaka Sucipta, mengungkapkan bahwa korupsi dana desa dapat memiliki dampak serius, salah satunya adalah penghentian penyaluran dana oleh Kemenkeu dan menempatkan desa terkait dalam daftar hitam (blacklist).
“Kami tidak akan segan-segan menghentikan penyaluran dana dan desa yang terbukti mengorupsi dana desa akan masuk dalam daftar list,” kata Jaka saat ditemui di Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis, 2 Mei 2024.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat.
Pada 2016, jumlah kasus korupsi di desa tercatat sebanyak 17 kasus, dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, jumlah kasusnya melonjak drastis 155 kasus dengan 252 tersangka dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp381 miliar.
Dalam menyikapi hal itu, lanjut Jaka, Kemenkeu telah menetapkan strategi mitigasi, selain menghentikan penyaluran dana pada saat terjadi penyalahgunaan, serta mem-blacklist.
“Kalau kepala desa atau pejabatnya terlibat akan diberhentikan, sampai ditunjuk Plt-nya, baru akan kami salurkan kembali dana desanya. Ruang lingkup kami hanya penyaluran,” terangnya.
Jaka mengatakan, data-data itu memang menjadi salah satu gambaran adanya ekses negatif dari dana desa.
“Kemudian kedua, ketika sebuah desa terkena kasus korupsi, maka tidak boleh ikut dalam kompetisi untuk mendapatkan insentif desa. Jadi salah satu kriteria insentif desa itu tidak ada kasus korupsi di desanya, jadi di blacklist lah,” pungkasnya.
Dana Desa Optimal
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai bahwa Pemerintah Pusat perlu melakukan, pemantauan, evaluasi, dan memberikan sanksi kepada daerah yang tidak mengalokasikan dana desa secara optimal.
Ia menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) perlu membuat regulasi tentang sanksi kepada daerah yang tidak memaksimalkan dana desa.
“Di desa itu sudah ada dana setiap tahun sekitar Rp2 miliar. Nah itu kan dananya banyak di korupsi. Harusnya dari situ bisa untuk menciptakan lapangan pekerjaan,” kata Trubus kepada Kabar Bursa.
Permasalahan inilah, tutur Trubus, yang menjadi faktor pendorong tingginya angka urbanisasi atau perpindahan orang dari desa ke kota yang terjadi setiap arus balik Lebaran Idulfitri.
“Desa ditekan dan diberi sanksi. Desa yang suka mengekspor orang atau mengirim orang, dana desanya ditangguhkan atau enggak usah diberikan saja,” ujarnya.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk memberikan efek jera. Selain itu berkaitan dengan urbanisasi agar jumlah orang yang meninggalkan desa untuk ke kota dapat ditekan.
“Jadi desa harus diberi sanksi, termasuk kecamatan, kabupaten nanti disebutkan juga. Bupatinya harus diberi sanksi. Mereka jangan dikirim uang lagi, jangan ditransfer dana untuk pembangunan desa, supaya mereka tidak mengekspor tenaga kerja lagi,” ucap Trubus.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.