KABARBURSA.COM - Data perusahaan yang melantai di pasar modal Indonesia dari tahun ke tahun alami penurunan. Kok bisa?
Dilansir dari laman resminya Bursa Efek Indonesia (BEI) jumlah perusahaan yang melantai melalui skema penawaran umum perdana saham (IPO) mengalami tren penurunan dalam empat tahun terakhir. Data yang dihimpun dari otoritas pasar modal menunjukkan bahwa pada 2021 terdapat 52 perusahaan yang melakukan IPO. Angka ini sempat meningkat menjadi 56 perusahaan pada 2022, namun mulai menunjukkan pelemahan signifikan dalam dua tahun berikutnya.
Pada 2023, jumlah perusahaan IPO meningkat tajam menjadi 78 entitas, namun hal ini terbukti tidak berkelanjutan. Memasuki tahun 2024, jumlah perusahaan yang tercatat melakukan IPO justru anjlok menjadi hanya 41 perusahaan, mencatatkan penurunan hampir 47 persen dibanding tahun sebelumnya.
Penurunan ini mencerminkan kondisi makroekonomi yang masih penuh ketidakpastian serta meningkatnya kehati-hatian investor terhadap aset berisiko. Selain itu, tingginya suku bunga global dan pengetatan likuiditas menjadi faktor eksternal yang turut menghambat minat korporasi untuk mencari pendanaan lewat pasar saham.
Penurunan jumlah IPO juga dinilai tidak serta merta mencerminkan kelesuan ekonomi, tetapi lebih pada perubahan strategi pendanaan korporasi yang kini lebih selektif dan berhati-hati.
Analis Strategi Institute, Fauzan Luthsa, menilai turunnya jumlah perusahaan yang melakukan IPO tersebut karena strategi yang berkaitan dengan penjabat di pasar modal.
Salah satu orang yang menyebut dirinya sebagai aktivis 98 ini mengatakan penurunan itu menjadi sinyal perlunya perombakan komposisi direksi BEI, terutama menjelang periode kepemimpinan baru di lembaga tersebut.
“Pemenuhan target IPO tahun lalu saja gagal. Tahun ini ada kemungkinan terulang. Ini pertaruhannya pasar modal Indonesia,” ujar Fauzan dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com pada Jumat, 16 Mei 2025.
Menurutnya, salah satu penyebab utama rendahnya jumlah IPO adalah lemahnya kapasitas tim penilaian, yang dia klaim belum memiliki sertifikasi profesi penunjang pasar modal, baik secara nasional maupun internasional. "Sehingga sepertinya menggunakan asumsi akan kebutuhan sektor riil," ujar dia.
Ia mengatakan ada beberapa perusahaan yang sebenarnya sudah memenuhi persyaratan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) namun gagal melanjutkan proses IPO karena dinilai belum layak oleh BEI.
Sebagai langkah reformasi, Fauzan mengusulkan agar calon direksi BEI ke depan bukan berasal dari jalur karier internal bursa, melainkan dari kalangan sekuritas yang sudah memahami dinamika pasar dan memiliki sertifikasi kompetensi pasar modal.
Fauzan juga menyebut bahwa kewajiban sertifikasi sudah berlaku luas di berbagai profesi pasar modal, sehingga idealnya juga diberlakukan terhadap tim penilai IPO di BEI.
“Jadi sebaiknya tim yang melakukan penilaian atas calon emiten yang akan IPO, juga tersertifikasi,” kata dia.
Ia menekankan pentingnya sertifikasi sebagai standar minimal dalam mengelola pasar yang semakin kompleks. Direksi yang tersertifikasi dinilai lebih mampu menyusun strategi IPO yang inklusif dan menganalisis risiko berdasarkan data konkret.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2025 hanya terdapat satu calon perusahaan tercatat yang menunda proses penawaran umum perdana (IPO). Penundaan tersebut terjadi karena perusahaan tersebut masih memerlukan waktu tambahan untuk menyempurnakan dokumen yang dipersyaratkan.
“Penundaan hanya dilakukan oleh satu perusahaan dan itu pun murni karena alasan internal, yakni untuk melakukan penyesuaian dokumen,” ujar Nyoman melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, dikutip Jumat, 9 Mei 2025. Ia tidak menyebut nama perusahaan dan sektor apa yang melakukan penundaan IPO.
Nyoman menambahkan, hingga awal Mei 2025, masih terdapat 29 Calon Perusahaan Tercatat yang berada dalam pipeline pencatatan saham di Bursa. Hal ini disampaikannya menyusul tercatatnya PT Cipta Sarana Medika Tbk kode saham DKHH sebagai emiten baru pada tanggal 8 Mei 2025.
“Dengan masuknya PT Cipta Sarana Medika Tbk pada 8 Mei kemarin, total emiten baru bertambah satu. Sementara itu, pipeline kami saat ini masih berisi 29 perusahaan yang dalam proses menjadi perusahaan tercatat,” ujar dia.
Dari sisi skala usaha, mayoritas calon emiten yang berada dalam pipeline merupakan perusahaan dengan aset skala menengah dan besar. Nyoman menilai hal ini menunjukkan kepercayaan pelaku usaha besar terhadap pasar modal Indonesia sebagai sarana pendanaan jangka panjang yang kredibel.
“Mayoritas dari pipeline saat ini adalah perusahaan dengan skala aset menengah dan besar, mencerminkan optimisme dan minat yang kuat untuk melantai di Bursa,” imbuhnya.
Nyoman sebelumnya menjelaskan pasar modal Indonesia tetap menjadi pilihan menarik di tengah ketidakpastian global.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 30 perusahaan yang sudah masuk pipeline IPO. "Pre-active kan model juga, tapi di pipeline ada 30. Tolong dicatat ya," katanya di Gedung BEI, Jakarta pada Kamis, 8 Mei 2025 sambil menambahkan bahwa hingga kini belum ada BUMN yang masuk daftar tersebut. "Sepertinya sih belum masuk ke BUMN ya," sambung dia.
Menariknya, ia menyebut ada dua perusahaan yang masuk kategori Lighthouse IPO pada tahun ini. "Ada dua," jawab Nyoman ketika ditanya lebih lanjut. Mengenai sektor usahanya, ia menjelaskan, " Sektornya energi yang satu, satu lagi consumer," kata dia.
Nyoman menegaskan bahwa meskipun tekanan eksternal masih ada, geliat IPO tetap positif dan menjadi bukti daya tarik pasar modal Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa BEI terus memantau kondisi pasar untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan berkelanjutan.
Pasar Modal Indonesia Masih Cukup Tinggi di ASEAN
Bedasarkan data Bursa Efek Indonesia, pasar modal Indonesia diklaim menorehkan pencapaian signifikan dalam tren pencatatan saham, mempertegas posisinya sebagai bursa teraktif di kawasan ASEAN.
Berdasarkan data terbaru dari BEI per 28 April 2025, Indonesia mencatat 57 perusahaan baru yang melantai di bursa sepanjang periode 2024 hingga Maret 2025. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi puncak, mengungguli Thailand dengan 55 perusahaan, Singapura 51 perusahaan, Vietnam 37 perusahaan, dan Malaysia yang hanya mencatatkan 16 perusahaan baru.
Tren positif ini memperkuat reputasi BEI sebagai pasar yang dinamis dan terus berkembang, meskipun di tengah tantangan makroekonomi global. Sejak tahun 2015, laju pencatatan saham di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang konsisten. Pada 2015, BEI hanya mencatat 14 perusahaan dengan total nilai emisi sebesar Rp54,1 triliun. Tren ini terus menanjak hingga mencapai puncaknya pada 2023 dengan 79 pencatatan baru dan nilai emisi Rp62,6 triliun.
Tahun 2024 sempat mengalami penurunan dengan hanya 24 pencatatan saham baru dan nilai emisi Rp6,9 triliun. Namun, pemulihan yang kuat mulai terlihat kembali pada kuartal pertama 2025, menandakan kebangkitan pasar yang cepat dan solid. Grafik pertumbuhan ini menjadi bukti ketahanan pasar modal Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan eksternal.
Di level regional, data juga menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya unggul dalam jumlah pencatatan, tetapi juga secara nilai emisi yang terus stabil dari tahun ke tahun. Dibandingkan dengan bursa lain di ASEAN, BEI memimpin jauh dan mulai mendekati dinamika yang biasa terlihat di bursa-bursa global besar seperti New York Stock Exchange.
Diberitakan sebelumnya, Nyoman juga sempat memaparkan data geliat kenaikan di pasar modal sepanjang 2025 dengan pipeline pencatatan saham, obligasi, dan aksi korporasi yang terus bertumbuh.
Antusiasme: Himpun Dana Publlik
Hingga 2 Mei 2025, sebanyak 13 perusahaan telah resmi mencatatkan sahamnya di BEI, menghimpun dana publik sebesar Rp6,94 triliun. Antusiasme emiten pun terlihat dari daftar antrean yang terus bertambah, dengan 30 perusahaan kini berada dalam pipeline pencatatan saham BEI.
"Terdapat 3 perusahaan yang masuk kategori aset skala kecil dengan total aset di bawah Rp50 miliar, 17 perusahaan berskala menengah dengan aset antara Rp50 miliar hingga Rp250 miliar, dan 10 perusahaan berskala besar dengan aset di atas Rp250 miliar," kata Nyoman melalui keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Minggu, 4 Mei 2025.
Peminat dari berbagai sektor cukup merata, mencerminkan luasnya potensi sektor riil yang ingin menghimpun dana melalui pasar modal. Secara sektoral, pipeline pencatatan saham ini mencakup beragam industri.
Tercatat 1 perusahaan berasal dari sektor bahan baku (Basic Materials), 4 perusahaan dari sektor barang konsumsi siklikal (Consumer Cyclicals), serta 5 perusahaan dari sektor barang konsumsi non-siklikal (Consumer Non-Cyclicals).
Sektor energi diwakili oleh 3 perusahaan, sementara sektor keuangan dan kesehatan masing-masing menyumbang 4 perusahaan.
Di sektor industri terdapat 3 perusahaan yang bersiap melantai, dan sektor infrastruktur mencatat 1 perusahaan. Tidak ada perusahaan dari sektor properti dan real estat dalam pipeline kali ini, sementara sektor teknologi diisi oleh 2 perusahaan dan sektor transportasi & logistik oleh 3 perusahaan.
Di sisi pasar obligasi, aktivitas juga menunjukkan dinamika yang tinggi. Sampai saat ini, telah diterbitkan 44 emisi dari 31 penerbit Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS), dengan dana yang dihimpun mencapai Rp57,4 triliun.
Pipeline obligasi turut menunjukkan geliat signifikan, dengan 56 emisi dari 43 penerbit yang tengah menunggu giliran. Menariknya, sektor keuangan menjadi tulang punggung pipeline ini dengan 23 perusahaan, disusul sektor energi sebanyak 8 perusahaan.
Sektor bahan baku menyumbang 4 perusahaan, sektor barang konsumsi non-siklikal tercatat 3 perusahaan, dan sektor industri diwakili oleh 2 perusahaan. Sektor kesehatan, infrastruktur, dan properti & real estat masing-masing mencatat 1 perusahaan, sementara sektor teknologi serta transportasi & logistik tidak tercatat dalam pipeline obligasi saat ini.
Untuk aksi korporasi, khususnya rights issue, BEI mencatat bahwa hingga 2 Mei 2025 telah ada 4 perusahaan yang berhasil menerbitkan rights issue dengan total nilai Rp0,86 triliun.
Pipeline rights issue pun masih berjalan, dengan 4 perusahaan tercatat sedang memproses penerbitannya. Pipeline ini terdiri atas 2 perusahaan dari sektor bahan baku, 1 perusahaan dari sektor kesehatan, serta 1 perusahaan dari sektor transportasi & logistik.
Hal ini juga menjadi sinyal positif bagi investor, karena semakin beragamnya sektor yang masuk ke lantai bursa akan memperkuat fundamental pasar kita ke depan.
Expert Pengembangan Perusahaan Tercatat BEI, Natal Neibahaho juga sempat menjelaskan proses initial public offering (IPO) bukanlah hal yang sederhana. Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan bahwa meskipun perusahaan telah menjadwalkan IPO, tetap dimungkinkan bagi mereka untuk menunda bahkan membatalkan pelaksanaan aksi korporasi tersebut. Namun, penundaan ini harus disertai alasan kuat dan disampaikan secara resmi kepada otoritas.
“Kalau memang jadwalnya sudah ada, di awal sudah ditetapkan, lalu di akhir bisa ada perubahan, itu sangat mungkin terjadi dan memang secara aktual pernah terjadi,” ujar Natal dalam acara sesi tanya jawab edukasi wartawan pada Selasa, 29 April 2025.
Menurut Natal, jika perusahaan memutuskan menunda IPO, maka mereka harus mengajukan permohonan resmi kepada Bursa dan OJK, berikut alasan dan latar belakang keputusannya.
“Proses evaluasi akan dihentikan sementara sampai perusahaan siap kembali dan menyampaikan dokumen pendukung lanjutan,” ucap dia.(*)