Logo
>

Data OJK dan BEI Berbeda, Investor Wajib Pahami ini

Direktur Penilaian BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengatakan bahwa perbedaan data tidak mencerminkan ketidaksesuaian.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Data OJK dan BEI Berbeda, Investor Wajib Pahami ini
Layar utama Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG yang menampilkan beberapa nama saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Terdapat perbedaan data pipeline pencatatan saham, right issue, dan obligasi yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) baru-baru ini. BEI menerangkan bahwa ada perbedaan ini disebabkan metodologi hingga cakupan waktu pencatatan yang dipakai oleh masing-masing lembaga.

    Direktur Penilaian BEI, I Gede Nyoman Yetna, mengatakan bahwa perbedaan data tidak mencerminkan ketidaksesuaian. Baik BEI maupun OJK sama-sama mengutamakan transparansi data untuk disajikan kepada para investor.

    "Transparansi data tetap kami utamakan. Kami menyarankan pelaku pasar untuk memperhatikan basis data dan waktu pencatatan saat melakukan analisis," kata dia melalui keterangan resmi, Senin, 14 April 2025.

    Lebih lanjut, berdasarkan data BEI, Nyoman menyampaikan bahwa terdapat 32 perusahaan yang tengah berada dalam proses evaluasi pencatatan saham. Sementara itu, OJK melaporkan data yang lebih lengkap terkait hal ini.

    "Data pipeline pencatatan saham di BEI hanya mencakup perusahaan yang saat ini aktif dalam proses evaluasi. Sementara itu, data dari OJK memungkinkan mencakup seluruh proses, termasuk yang telah ditolak, ditunda, maupun dibatalkan. Namun demikian, hal ini masih perlu dikonfirmasi lebih lanjut kepada OJK," ujarnya.

    Perbedaan data juga terjadi pada pencatatan aksi korporasi right issue. BEI mencatat nilai right issue yang telah dilaksanakan (exercised) sebesar Rp0,47 triliun pada 2025. Di sisi lain, OJK mencatat nilai yang jauh lebih besar yakni Rp2,76 triliun. Nilai tersebut mencerminkan jumlah right issue yang telah memperoleh pernyataan efektif dari OJK, meskipun belum dilaksanakan oleh perusahaan bersangkutan.

    "BEI mencatat setelah pelaksanaan right issue, sedangkan OJK mencatat berdasarkan pernyataan efektif yang telah diberikan," tutur Nyoman.

    Sementara itu, perbedaan paling mencolok tampak pada data pencatatan obligasi. BEI mencatat 37 emisi efek bersifat utang dan sukuk (EBUS) yang tercatat, sementara OJK mencatat hanya 31 emisi. Perbedaan ini timbul karena perbedaan cut-off data yang digunakan. OJK menggunakan tanggal efektif dari pernyataan OJK, sedangkan BEI menggunakan tanggal resmi pencatatan di bursa.

    "Ada 6 emisi obligasi yang memperoleh pernyataan efektif dari OJK pada tahun 2024, namun baru tercatat di BEI pada 2025. Ini yang membuat data BEI terlihat lebih besar dari OJK," kata Nyoman.

    Selain itu, ia berpendapat OJK menghitung nilai penawaran umum berdasarkan angka dalam prospektus yang belum tentu terealisasi secara penuh. "Terdapat penawaran umum dengan mekanisme best effort, sehingga nilai pencatatan aktual bisa lebih kecil dari yang direncanakan," imbuhnya.

    Buyback Saham Senilai Rp14,97 Triliun

    Diberitakan Kabarbursa.com sebelumnya, Nyoman sempat memaparkan ada sebanyak 32 perusahaan yang lakukan buyback hingga 10 April 2025 lalu. 

    "Relaksasi kebijakan buyback tanpa RUPS (rapat umum pemegang saham) yang diberikan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah dimanfaatkan oleh 21 emiten, dengan total nilai anggaran sebesar Rp14,97 triliun. Hingga saat ini, sebanyak 15 emiten telah melaksanakan buyback dengan realisasi mencapai Rp429,72 miliar atau sebesar 2,87 persen," kata Nyoman dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 11 April 2025. Namun, dia tidak menjelaskan perusahaan mana saja yang telah melakukan pembelian kembali.

    Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya regulator untuk menjaga stabilitas pasar di tengah potensi volatilitas. “OJK bersama BEI secara aktif melakukan monitoring terhadap kondisi pasar untuk memastikan kebijakan yang responsif dan tepat sasaran,” tambahnya.

    Lebih lanjut, Nyoman menjelaskan bahwa hingga 10 April 2025, terdapat 11 perusahaan yang telah mencatatkan saham di BEI, dengan total dana yang berhasil dihimpun sebesar Rp5,92 triliun. Selain itu, sebanyak 32 perusahaan saat ini masih berada dalam pipeline pencatatan saham, yang didominasi oleh perusahaan dengan aset skala menengah (17 perusahaan) dan besar (12 perusahaan).

    Nyoman menyebut komposisi sektor dari pipeline saham cukup beragam, dengan dominasi sektor consumer non-cyclicals sebanyak 7 perusahaan, disusul sektor healthcare dan consumer cyclicals masing-masing 5 dan 4 perusahaan.

    Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi sektor dalam menjaga daya tahan pasar modal nasional.

    Di sisi surat utang, BEI mencatat hingga saat ini telah diterbitkan 37 emisi dari 27 penerbit efek bersifat utang dan sukuk (EBUS), dengan total dana dihimpun sebesar Rp50,1 triliun. “Masih terdapat 47 emisi dari 36 penerbit EBUS yang berada dalam pipeline, didominasi sektor keuangan sebanyak 19 perusahaan atau 53,2 persen dari total pipeline,” ungkapnya.

    Untuk aksi korporasi rights issue, Nyoman menyebut bahwa hingga 10 April 2025 telah terdapat dua perusahaan tercatat yang melaksanakan rights issue dengan total nilai mencapai Rp470 miliar. Adapun dalam pipeline rights issue, tercatat empat perusahaan dengan dominasi sektor basic materials dan healthcare.

    Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa sebanyak 21 emiten telah berencana melakukan pembelian kembali saham (buyback) tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

    Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengatakan izin buyback tanpa RUPS di usulkan saat melihat kondisi pasar terkini, dengan harapan menjaga stabilitas pasar modal. Adapun total anggaran yang disiapkan untuk aksi buyback ini hampir mencapai Rp15 triliun.

    “Perkembangannya hingga 9 April 2025 terdapat 21 emiten yang berencana untuk melakukan buyback tanpa RUPS dengan total anggaran dana buyback sebesar Rp14,97 triliun. Hampir mencapai Rp15 triliun," ungkap Inarno dalam konferensi pers.

    Dari jumlah tersebut, sebanyak 15 emiten telah merealisasikan aksi buyback dengan nilai sebesar Rp429,72 miliar. Buyback ini diharapkan dapat membantu menahan tekanan jual berlebihan di pasar saham, sekaligus menjaga kepercayaan investor. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".