KABARBURSA.COM - Defisit anggaran APBN 2025 diproyeksikan mencapai Rp 616,2 triliun atau sekitar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menimbulkan kekhawatiran terkait kehati-hatian fiskal pemerintah.
Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengungkap defisit anggaran yang mendekati 3 persen dari PDB ini menunjukkan potensi risiko yang signifikan terhadap stabilitas fiskal.
"Defisit anggaran hingga 2,53 persen dari PDB, tidak mencerminkan kehati-hatian fiskal," kata Yusuf kepada Kabar Bursa di Jakarta, Minggu 18 Agustus 2024.
Lanjutnya Yusuf menilai pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto tengah menghadapi berbagai program prioritas, termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), program Makan Bergizi Gratis (MBG), dan rencana pembentukan kementerian atau lembaga baru.
Ditambah dengan kemungkinan perubahan APBN 2025 melalui mekanisme APBN-P, ada kemungkinan besar defisit anggaran dapat melebihi 3 persen dari PDB.
Kekhawatiran ini semakin diperburuk oleh sensitivitas APBN terhadap fluktuasi makroekonomi, seperti pelemahan kurs Rupiah dan kenaikan harga minyak dunia yang dipengaruhi oleh ketidakpastian global.
"Maka peluang defisit menembus 3 persen dari PDB itu nyata, tidak mengada-ada," jelasnya.
Selain itu, beredar kabar bahwa Presiden terpilih berencana untuk meningkatkan rasio utang pemerintah hingga 50 persen dari PDB. Ada juga spekulasi mengenai potensi perubahan batasan defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Angka defisit anggaran 2025 ini menjadi semakin krusial mengingat upaya konsolidasi fiskal yang telah dilakukan pasca pandemi.
Pada masa pandemi, defisit anggaran sempat melonjak hingga 6,14 persen dari PDB pada tahun 2020 dan 4,57 persen pada tahun 2021. Upaya konsolidasi berhasil menurunkan defisit menjadi 2,38 persen pada 2022, dan 1,65 persen pada 2023.
"Sejak 2024, konsolidasi fiskal mengalami pembalikan yang signifikan, dan semakin menguat pada 2025. Defisit anggaran 2024 semula dipatok 2,29 persen dari PDB," papar Yusuf.
Namun kejatuhan penerimaan dan tekanan belanja yang menguat di tahun politik, terutama anggaran bansos dan pemilu, membuat defisit anggaran 2024 diperkirakan akan menembus 2,70 persen dari PDB.
Penetapan defisit anggaran 2025 sebesar 2,53 persen dari PDB ini dipandang berpotensi berbahaya, terutama dengan kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan tekanan belanja untuk mendukung program pemerintahan saat ini serta program yang direncanakan oleh Presiden terpilih.
Dengan segala pertimbangan tersebut, ada kemungkinan besar defisit anggaran 2025 akan mendekati atau bahkan melampaui 3 persen dari PDB.
RAPBN 2025 Kurang Optimis
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama mengungkap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 tidak seoptimis tahun-tahun sebelumnya. Hal itu mengacu pada postur asumsi dasar makro ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2024.
“Kalau dari sisi asumsi dasar makro, untuk RAPBN tahun 2025 ini tidak seoptimis dari tahun-tahun sebelumnya, tetapi lebih rasional sehinggi diharapkan nanti target-target pembangunan dan sasarannya mudah-mudahan bisa tercapai,” jelasnya.
Berdasarkan target pertumbuhan ekonomi 2025, pemerintahan selanjutnya menargetkan pertumbuhan yang sama dengan tahun sebelumnya, yakni 5,2 persen dengan tingkat inflasi yang menurun dari 2,8 persen menjadi 2,5 persen di tahun 2025.
Akan tetapi, Riza mengingatkan bahwa inflasi yang rendah lantaran tiga bulan terakhir ekonomi Indonesia juga mengalami deflasi. Dia menilai, deflasi yang terjadi secara beruntun menandakan rendahnya daya beli masyarakat.
“Ini pada gilirannya, daya beli ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, dari sisi konsumsi rumah tangga,” jelasnya.
Kondisi Ekonomi Global
Di sisi lain, Riza juga memaparkan target suku bunga SBN 10 tahun naik menjadi 7,1 persen di tahun 2025 dari angka sebelumnya sebesar 6,1 persen di tahun 2024. Dia menilai, naiknya suku bunga SBN terjadi lantaran kondisi ekonomi global yang masih berdinamika tinggi hingga tahun depan.
“Sehingga risiko masih besar terhadap capital outflow, sementara itu di sisi lain Indonesia itu profil jatuh tempo utangnya di tahun depan itu sangat tinggi, sekitar Rp700 triliun. Itu belum sama pembayaran suku bunga utangnya,” jelasnya.
Sementara nilai tukar rupiah, kata dia, terdepresiasi lebih dari Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun 2024. Sehingga, tutur Riza, asumsi dasar nilai tukar rupiah naik dengan rata-rata Rp10.000.
Menurutnya, hal tersebut menjadi sinyalemen bagi perekonomian Indonesia terkait daya saing nilai tukar yang menurun. Riza mengingatkan, nilai tukar rupiah perlu diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap kinerja perdangan ekspor-impor.
Di sisi lain, target harga minyak mentah juga masih ditargetkan dengan angka yang sama, yakni 82. Riza menyebut, pergerakan harga komoditas juga sudah stabil kendati tidak begitu tinggi.
Akan tetapi, produksi minyak dan gas (migas) menglami penurunan. Riza menyebut, hal itu terjadi lantaran sumur-sumur migas di Indonesia sudah terlampau tua. Sementara sumber migas belum banyak ditemukan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.