Logo
>

Ditanya Soal Tapera, Jawaban Airlangga Begini

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Ditanya Soal Tapera, Jawaban Airlangga Begini

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Wacana iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi sorotan publik. Kebijakan ini mengharuskan potongan gaji pekerja sebesar 3 persen, yang dianggap memberatkan.

    Ditanya hal itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan akan meneliti lebih lanjut kebijakan tersebut.

    “Nanti kami lihat,” kata Airlangga singkat usai agenda Workshop Tim Nasional OECD di Jakarta, Rabu, 29 Mei 2024.

    Ketika ditanya kapan akan melakukan pengecekan, Airlangga menyatakan akan melakukan dalam waktu dekat. “Nanti kami cek ke kementerian terkait. Tidak lama lah,” ujarnya.

    Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera). Peraturan ini mendapat beragam respons, termasuk dari pengamat pajak Fajry Akbar dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA).

    Menurut Fajry, UU Tapera perlu direvisi ulang sebelum benar-benar diterapkan. “Saya rasa DPR dan pemerintah perlu duduk bersama untuk merevisi UU Tapera agar Tapera bersifat opsional, bukan kewajiban,” kata Fajry kepada Kabar Bursa, Selasa, 28 Mei 2024.

    PP Tapera menetapkan potongan gaji bulanan sebesar 3 persen untuk karyawan swasta, dengan rincian 2,5 persen dipotong dari gaji karyawan dan 0,5 persen dari perusahaan.

    Berdasarkan Pasal 15 PP Tapera Nomor 21 Tahun 2024, aturan ini bertujuan mendorong tabungan perumahan bagi masyarakat.

    Fajry menambahkan, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak Tapera terhadap perhitungan pajak penghasilan (PPh) 21.

    “Kita perlu lihat dampaknya ke perhitungan PPh 21,” ujarnya.

    Sebagai pekerja swasta, ia merasa pungutan Tapera cukup membebani tanpa memberikan manfaat yang jelas.

    “Bagi pekerja swasta seperti saya, pungutan Tapera ini cukup membebani dan tanpa manfaat yang jelas,” tegas Fajry.

    Sebelumnya, kebijakan iuran Tapera ini telah ditolak sejumlah elemen, termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani, menyatakan kebijakan tersebut akan sangat memberatkan pekerja dan pelaku usaha.

    “Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, APINDO dengan tegas menolak diberlakukannya UU tersebut. APINDO telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera,” ujarnya.

    Shinta menjelaskan bahwa APINDO memiliki beberapa pandangan terhadap regulasi tersebut. Pertama, meskipun mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan, PP No.21/2024 dinilai sebagai duplikasi dari program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.

    “Tambahan beban bagi pekerja (2,5 persen) dan pemberi kerja (0,5 persen) dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan,” ungkap Shinta.

    Kedua, APINDO menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Sesuai PP, maksimal 30 persen (Rp138 triliun) dari aset JHT yang mencapai total Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar namun pemanfaatannya sangat sedikit.

    Ketiga, APINDO menilai aturan Tapera akan menambah beban pengusaha dan pekerja, karena saat ini beban pungutan yang ditanggung pelaku usaha sudah mencapai angka 18,224 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan kerja.

    Rincian Beban Pelaku Usaha kepada Pekerja menurut APINDO:

    1. Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999 ‘Jamsostek’):

    - Jaminan Hari Tua (3,7 persen)

    - Jaminan Kematian (0,3 persen)

    - Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24-1,74 persen)

    - Jaminan Pensiun (2 persen)

    2. Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No. 40/2004 ‘SJSN’):

    - Jaminan Kesehatan (4 persen)

    3. Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003 'Ketenagakerjaan') sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar (8 persen).

    “Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” kata Shinta.

    APINDO juga telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), untuk mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja.

    “Dalam diskusi tersebut, khusus pekerja swasta dapat dikecualikan dari Tapera dan mendapatkan fasilitas perumahan dari BP Jamsostek,” imbuh Shinta.

    Pendapat Kaum Buruh

    Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan mendukung program perumahan untuk rakyat. Hal ini, karena, kebutuhan perumahan untuk buruh, kelas pekerja dan rakyat adalah kebutuhan primer seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, papan).

    “Bahkan di dalam UUD 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat,” ujar Said Iqbal dalam siaran persnya secara tertulis kepada Kabar Bursa, Rabu, 29 Mei 2024.

    “Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat,” lanjutnya.

    Menurut Said Iqbal, setidaknya ada beberapa alasan, mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.

    Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.

    “Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” ujarnya.

    Sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp.1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.

    “Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” tegas Said Iqbal.

    “Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah,” sambungnya.

    Alasan kedua mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen. Hal ini akibat upah tidak naik hampir tiga tahun berturut-turu dan tahun ini naik upahnya murah sekali.

    Maka dari itu, bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.

    Sedangkan alasan keempat, Program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.

    “Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan TASPEN. Jadi, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera,” kata Said Iqbal.

    Karena itu, KSPI mengusulkan permerintah merevisi UU tentang Tapera dan peraturan pemerintahnya yang memastikan bahwa hak rumah adalah hak rakyat dengan harga yang murah dan terjangkau, bentuk yang nyaman juga layak, dan lingkungan yang sehat dimana pemerintah berkewajiban menyediakan dana APBN untuk mewujudkan Tapera yang terjangkau oleh rakyat.

    “Intinya, kami menolak program Tapera dijakankan sekarang, karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera,” pungkasnya.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.