KABARBURSA.COM - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang sempat berlangsung antara 2017 hingga 2021, berpotensi kembali memanas seiring dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada Pemilu 2024.
Dengan kebijakan perdagangan yang keras, AS kemungkinan akan memberlakukan tarif impor tinggi terhadap produk-produk China, yang dapat berdampak luas, termasuk pada negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) seperti Indonesia.
Dikhawatirkan, Indonesia bisa menjadi negara tujuan bagi barang-barang murah yang terimbas perang dagang ini.
Chief Economist Citibank Indonesia Helmi Arman memperingatkan bahwa dampak dari kebijakan perdagangan Trump, khususnya peningkatan bea masuk barang, dapat menyebabkan terjadinya pembanjiran produk-produk murah di Indonesia. Negara-negara yang sebelumnya mengekspor barang ke AS mungkin akan mengalihkan pengiriman produknya ke pasar lain, termasuk Indonesia, untuk menghindari kerugian akibat tarif tinggi.
“Risiko lain yang harus diantisipasi yaitu apabila barang ekspor dari negara-negara tetangga yang karena kebijakan tertentu mungkin lebih sulit masuk ke Amerika Serikat, itu dialihkan ke Indonesia dengan harga yang diskon atau lebih murah,” kata Helmi, Rabu, 13 November 2024.
Pergeseran pasar ini tentu akan mempengaruhi daya saing industri dalam negeri. Barang yang semula akan diekspor ke AS, kini harus disalurkan ke negara lain dengan harga yang lebih murah, yang berpotensi mengancam industri manufaktur domestik.
Salah satu dampak negatif yang perlu diantisipasi adalah penurunan harga barang di Indonesia, yang berisiko merugikan sektor industri yang bergantung pada produk-produk tersebut.
Selain dampak langsung terhadap harga barang, perang dagang ini juga berpotensi menurunkan harga komoditas dunia, khususnya yang diekspor oleh Indonesia.
Ketika ekonomi China terpengaruh oleh ketegangan perdagangan, maka permintaan terhadap komoditas tertentu juga dapat menurun, menyebabkan harga produk seperti batu bara, kelapa sawit, dan lainnya turun di pasar global. Hal ini dapat berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
“Confidence terhadap perekonomian China itu menurun sehingga demand China untuk komoditas-komoditas tertentu itu juga ikut melemah dan harga-harganya jadi turun. Akibatnya, ekspor dari Indonesia juga menurun dan mengganggu neraca perdagangan kita,” ujar Helmi.
Indonesia, sebagai negara yang banyak mengandalkan ekspor komoditas, sangat rentan terhadap perubahan harga dan permintaan global. Oleh karena itu, ketegangan dalam perang dagang ini bisa mempengaruhi pendapatan negara dari ekspor dan kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
Salah satu sektor yang akan paling merasakan dampak dari perang dagang ini adalah industri tekstil. Indonesia, yang merupakan eksportir utama tekstil, sepatu, dan kulit, sangat bergantung pada pasar AS.
Menurut Helmi, sekitar 30 persen dari total ekspor Indonesia ke AS terdiri dari produk-produk ini, dengan dominasi pasar Amerika mencapai 44 persen dari total ekspor Indonesia.
“Meski ekspor dari Indonesia ke AS beragam, tapi paling besar adalah tekstil, sepatu, dan kulit. Ini nilainya hampir 30 persen dari total ekspor Indonesia ke Amerika. Tapi, kalau kita lihat dari keseluruhan ekspor komoditi ini, dominasi pasar Amerika itu sekitar 44 persen,” ungkap Helmi.
Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Amerika Serikat ini membuat industri tekstil di Indonesia rentan jika terjadi hambatan dalam ekspor.
Selain tekstil, industri lainnya yang mungkin terdampak adalah industri sawit dan turunannya, serta industri mebel. Walaupun ekspor produk-produk ini ke AS relatif kecil, namun ketergantungan terhadap pasar AS masih cukup signifikan.
Namun, di sisi lain, Helmi menilai bahwa sektor ini memiliki peluang diversifikasi ke negara-negara lain jika terjadi hambatan ekspor ke AS. Meskipun pasar AS menjadi tujuan utama, namun negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia, berpotensi menjadi pasar alternatif yang lebih besar seiring dengan pergeseran ekonomi global.
Perang dagang ini juga memberikan dampak langsung pada industri elektronik, yang telah mengalami kenaikan harga komponen sejak tarif impor diterapkan pada tahun 2018.
Penerapan tarif tinggi terhadap barang elektronik menyebabkan biaya produksi semikonduktor dan perangkat keras elektronik meningkat tajam. Hal ini berimbas pada harga perangkat elektronik seperti smartphone dan laptop yang meroket, baik di pasar AS maupun pasar global.
Kenaikan harga komponen elektronik disertai dengan gangguan pada rantai pasok global, yang memaksa perusahaan-perusahaan elektronik mencari pemasok baru yang lebih murah dan mengubah strategi rantai pasok. Dampaknya, minat investasi di sektor ini pun berkurang karena ketidakpastian pasar dan meningkatnya biaya produksi.
“Investor mundur perlahan karena tidak ada kepastian di industri elektronika,” ujar Helmi. Ketidakpastian ini juga mempengaruhi keputusan pabrikan elektronika yang akhirnya memilih untuk memindahkan fasilitas produksi ke negara lain yang lebih stabil dan tidak terpengaruh tarif tinggi. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.