Logo
>

Diuntungkan Saat Pandemi, Apa Kabar KAEF Cs Pasca COVID? (1)

Ada empat emiten yang diuntungkan kondisi pandemi COVID-19, apa saja emiten tersebut?

Ditulis oleh Yunila Wati
Diuntungkan Saat Pandemi, Apa Kabar KAEF Cs Pasca COVID? (1)
Ilustrasi emiten kesehatan yang mendapat untung saat pendemi COVID-19.

KABARBURSA.COM - Waktu pandemi COVID-19 datang, banyak sektor usaha babak belur, ekonomi nyaris berhenti, bisnis gulung tikar, dan pasar saham penuh ketidakpastian. Namun, di tengah situasi sulit itu, sektor kesehatan menjadi sorotan utama. 

Kebutuhan akan obat, alat medis, hingga layanan rumah sakit melonjak drastis. Akibatnya, beberapa saham emiten kesehatan naik tajam. Contohnya, saham PT Kimia Farma Tbk (IDX KAEF), PT Indofarma Tbk (IDX INAF), dan PT Itama Ranoraya Tbk (IDX IRRA) mengalami lonjakan harga yang fantastis. Sementara, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) tetap stabil dengan pertumbuhan yang positif. 

PT Kimia Farma Tbk (IDX KAEF), PT Indofarma Tbk (IDX INAF), dan PT Itama Ranoraya Tbk (IDX IRRA), masing-masing naik cukup fantastis, yaitu 520,69 persen, INAF naik 23,30 persen, IRRA naik 216 persen.

Nah, bagaimana kondisinya pasca COVID? Apakah saham-saham tersebut masih menarik untuk dikoleksi dan memberikan keuntungan maksimal kepada investor? Yuk, kita bahas satu per satu!

PT Kimia Farma Tbk (IDX KAEF)

Performa keuangan PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dalam beberapa tahun terakhir menggambarkan cerita penuh dinamika, dari masa kejayaan, jatuh ke jurang kerugian, hingga upaya keras untuk kembali berdiri.

PT Kimia Farma Tbk.
Jika menengok catatan pendapatan dan laba bersih dari tahun ke tahun, jelas terlihat bahwa perusahaan yang sempat menjadi primadona di masa pandemi ini sedang menghadapi masa-masa sulit, terutama dalam dua tahun terakhir.

Di tahun 2023, KAEF mencatatkan kerugian sangat besar, bahkan bisa dibilang membara, hingga Rp1,486 triliun. Dan ironisnya, di 2024 kondisinya belum membaik. Hingga kuartal ketiga saja, rugi bersih yang tercatat sudah menembus angka Rp1,730 triliun. 

Ini jauh kontras dibanding masa-masa emas mereka, seperti pada 2018 saat laba bersih mencapai Rp416 miliar, atau bahkan di 2021 ketika perusahaan masih bisa mencetak laba sebesar Rp302 miliar.

Pendapatan perusahaan pun tidak cukup kuat menahan beban yang terus menekan. Meskipun pada masa pandemi sempat mencatatkan kinerja positif karena tingginya permintaan produk kesehatan dan vaksin, pasca pandemi justru menjadi titik balik yang berat. 

Kerugian mulai tampak sejak 2022 dan semakin dalam di 2023 dan 2024. Bisa jadi ini disebabkan oleh beban operasional yang membengkak, efisiensi yang menurun, atau strategi ekspansi yang belum membuahkan hasil optimal.

Dividen yang sempat menjadi daya tarik investor juga kini tampak menghilang. Tidak ada catatan pembagian dividen sejak 2021. Padahal di masa lalu, KAEF dikenal rajin membagi dividen, misalnya pada 2017 dengan yield 1,10 persen dan payout ratio yang konsisten di angka 20-30 persen. 

Hal ini cukup bisa dimaklumi, mengingat perusahaan harus memutar otak dan menjaga kas agar tetap bertahan di tengah tekanan kerugian besar.

Dari sisi valuasi pasar, Kimia Farma saat ini memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp2.516 triliun, sedangkan enterprise value-nya mencapai Rp9.355 triliun. 

Gap yang besar antara nilai pasar dan nilai perusahaan menunjukkan beban utang yang cukup signifikan, serta bisa menjadi cermin bahwa pasar masih menilai risiko KAEF cukup tinggi untuk saat ini.

Dengan jumlah saham beredar sebanyak 5,57 miliar lembar, KAEF kini sedang berada dalam fase kritis untuk membalikkan kinerja keuangan. Laba yang terus negatif, tidak adanya pembagian dividen, dan tekanan beban usaha membuat perusahaan ini perlu strategi pemulihan yang bukan hanya agresif, tapi juga tepat sasaran.

Tren laba PT Kimia Farma Tbk. Sumber: Stockbit.
Badai Dahsyat Fundamental Saham KAEF

Melihat fundamental PT Kimia Farma Tbk (KAEF) saat ini, kita seperti sedang menyaksikan perjalanan panjang sebuah perusahaan besar yang sedang menghadapi badai cukup dahsyat. 

Angka-angka yang muncul dari laporan keuangan dan valuasi memberikan sinyal bahwa KAEF tengah berada di fase kritis, di mana tekanan dari sisi profitabilitas, efisiensi, hingga kekuatan neraca keuangan semuanya ikut berbicara.

Secara valuasi, perusahaan tampak sangat tertekan. Price to Earnings (PE) ratio yang negatif, baik untuk hitungan tahunan maupun trailing twelve months (TTM), masing-masing di angka -4,47 dan -1,45, jelas menunjukkan bahwa perusahaan sedang mengalami kerugian yang signifikan. 

Hal ini didukung oleh data Earnings per Share (EPS) TTM yang juga negatif di level -310,79, mencerminkan kerugian besar yang terbagi ke tiap lembar saham. Bahkan return yang seharusnya menarik bagi investor, seperti earnings yield, berada di angka -68,76 persen, menunjukkan betapa jauhnya KAEF dari kata “menguntungkan”.

Dari sisi harga saham terhadap kinerja keuangan, Price to Sales (P/S) ratio masih rendah di 0,25, yang artinya harga saham jauh di bawah nilai pendapatan per lembar saham. Price to Book Value (PBV) juga hanya 0,47, di bawah angka satu yang biasanya menunjukkan saham undervalued. 

Tapi ini bukan sinyal menarik secara langsung, karena rasio rendah ini lebih mencerminkan turunnya harga saham akibat tekanan kinerja yang melemah, bukan karena aset-aset perusahaan dinilai murah oleh pasar.

Beralih ke neraca keuangan, solvabilitas KAEF cukup mengkhawatirkan. Rasio utang terhadap ekuitas mencapai 1,31, sementara total liabilitas dibandingkan ekuitas bahkan menyentuh 2,08. Artinya, beban utang perusahaan jauh lebih besar dibanding modal sendiri. 

Rasio lancar (current ratio) yang hanya 0,68 dan quick ratio 0,42 juga menunjukkan bahwa perusahaan kemungkinan akan kesulitan menutupi kewajiban jangka pendek dari aset lancarnya, lampu kuning yang sangat nyata. 

Ditambah lagi, Altman Z-Score di angka -1,46, jauh di bawah batas aman, menandakan potensi risiko finansial jangka menengah hingga tinggi.

Dari sisi profitabilitas, margin yang biasanya menjadi tolok ukur efisiensi pun kini tak bersinar. Net Profit Margin berada di angka -7,36 persen, Operating Profit Margin negatif 5,03 persen, dan ROE serta ROA masing-masing di -32,45 persen dan -10,30 persen. 

Artinya, perusahaan belum mampu menghasilkan return dari modal maupun aset yang dimilikinya. Return on Capital Employed (ROCE) pun ikut negatif, mencerminkan rendahnya efektivitas penggunaan modal.

Menariknya, walaupun perusahaan secara laba mencatatkan kerugian sebesar Rp1,730 triliun (TTM), ada sedikit angin segar dari sisi arus kas. Free cash flow tercatat positif Rp88 miliar, dan cash from operations juga menunjukkan angka positif sebesar Rp582 miliar.

Indikasinya, perusahaan masih mampu menghasilkan kas meski secara akuntansi masih merugi. Ini menjadi sebuah sinyal bahwa KAEF belum sepenuhnya kehilangan daya hidupnya.

Sayangnya, tekanan pasar terhadap saham KAEF juga tak bisa diabaikan. Harga sahamnya sempat menyentuh level tertinggi 905 dalam 52 minggu terakhir, tapi juga anjlok ke posisi terendah 324. 

Dalam setahun terakhir, saham KAEF telah turun hampir 37 persen, bahkan jika ditarik ke periode 5 dan 10 tahun, penurunannya sudah menyentuh lebih dari 60 persen. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan investor terhadap prospek jangka panjang perusahaan tengah mengalami erosi.

Secara keseluruhan, KAEF sedang berada di titik evaluasi serius. Dengan valuasi yang murah namun dibayangi oleh kinerja negatif, solvabilitas yang rapuh, dan tekanan pasar yang tinggi, perusahaan ini perlu manuver strategis yang bukan hanya bertahan, tapi benar-benar melakukan transformasi menyeluruh. 

Kekuatan historis sebagai pemain besar di industri farmasi saja kini tidak cukup, KAEF harus mampu membuktikan bahwa bisa kembali mencetak laba, menyehatkan arus kas, dan meyakinkan pasar untuk percaya lagi.

Saham Belum Layak Dikoleksi?

Jadi, berdasarkan data yang ada, KAEF tidak layak dikoleksi oleh investor saat ini dan tidak menunjukkan potensi keuntungan dalam jangka pendek maupun menengah secara fundamental.

PT Indofarma Tbk (IDX INAF)

Perjalanan keuangan PT Indofarma Tbk (INAF) dari tahun ke tahun ibarat roller coaster yang lebih banyak menukik tajam ke bawah daripada naik ke puncak.

PT Indofarma Tbk.
Kalau dilihat dari data laba bersih yang dibukukan sejak tahun 2015 hingga 2024, perusahaan ini mengalami kerugian hampir setiap tahun, bahkan nilainya makin membesar seiring waktu.

Di tahun 2024, kerugian yang tercatat mencapai Rp334 miliar. Ini memang sedikit “lebih ringan” dibanding tahun 2023 yang mencatat rekor kerugian Rp721 miliar. Tapi tetap saja, angka tersebut menunjukkan bahwa secara bisnis, perusahaan masih belum bisa membalikkan keadaan. Bahkan sejak 2022, INAF sudah konsisten mencatatkan rugi di atas Rp400 miliar. 

Di sisi lain, upaya pemulihan di tahun-tahun sebelumnya pun belum memberikan hasil yang berarti. Tahun 2021 misalnya, perusahaan masih mencatatkan rugi Rp38 miliar, yang kemudian semakin membengkak di tahun-tahun berikutnya.

Kalau kita tarik lebih jauh ke belakang, satu-satunya momen kecil yang bisa dibilang "agak terang" datang dari 2020, ketika perusahaan berhasil membukukan laba Rp28 juta. Tapi angka itu jauh dari cukup untuk menutupi luka dalam laporan keuangan yang penuh tinta merah.

Bahkan sebelumnya, tahun 2019 hanya mencatatkan laba Rp8 miliar, sementara tahun-tahun lain seperti 2018 dan 2017 kembali ke zona rugi, masing-masing Rp33 miliar dan Rp46 miliar.

Dengan tren kerugian yang hampir terus-menerus selama satu dekade terakhir, rasanya wajar kalau investor ragu menaruh uang di saham ini. Tak hanya karena minimnya laba, tapi juga karena tidak adanya pembagian dividen selama sepuluh tahun terakhir. 

Itu artinya, pemegang saham tidak mendapat imbal hasil langsung, meskipun mereka bersedia bertahan lama.

Dari sisi valuasi, kapitalisasi pasar INAF berada di kisaran Rp391 miliar, sementara enterprise value-nya lebih dari dua kali lipat, yaitu Rp903 miliar. Gap ini menandakan tingginya beban utang atau kewajiban lain di luar ekuitas, yang memperbesar risiko keuangan perusahaan. 

Dengan jumlah saham beredar sebesar 3,10 miliar lembar, nilai per lembar saham tidak sepenuhnya mencerminkan kekuatan kinerja, melainkan lebih kepada sentimen pasar dan spekulasi jangka pendek.

Secara keseluruhan, laporan keuangan INAF menyajikan potret perusahaan yang tengah berada dalam tekanan berat. Upaya keluar dari kerugian tampaknya masih membutuhkan waktu, strategi yang lebih solid, dan efisiensi operasional yang nyata. 

Untuk saat ini, investor yang mempertimbangkan INAF perlu berpikir dua kali, mengingat catatan keuangan yang jauh dari kata stabil dan absennya nilai tambah langsung melalui dividen. Tantangan INAF ke depan bukan hanya soal mencetak untung, tapi juga membalikkan persepsi pasar dan membangun kembali kepercayaan investor.

Fundamental Terpuruk Cukup Dalam

Melihat kondisi fundamental PT Indofarma Tbk (INAF) saat ini ibarat menelusuri jejak perusahaan yang sedang terpuruk cukup dalam. 

Gambaran fundamental INAF. Sumber: Stockbit
Dari sisi laporan keuangan, hampir seluruh indikator utama menunjukkan bahwa perusahaan ini berada dalam tekanan besar, bukan hanya dari segi kinerja keuangan, tapi juga dari struktur neraca dan rasio solvabilitas yang sangat rapuh.

Secara laba bersih, INAF mencatat kerugian sebesar Rp334 miliar selama 12 bulan terakhir (TTM). Ini sudah cukup menggambarkan bahwa perusahaan belum bisa mencetak keuntungan, bahkan sebaliknya terus merugi. 

Earnings per Share (EPS) pun ikut terseret ke zona merah dengan nilai negatif Rp107,93 per lembar. Dengan kata lain, untuk setiap saham yang dimiliki, investor justru menanggung kerugian, bukan keuntungan.

PE ratio yang menjadi indikator valuasi juga tidak bisa dijadikan acuan positif. Nilai PE saat ini ada di angka -1,17, mengindikasikan bahwa perusahaan tidak menghasilkan laba yang bisa dinilai pasar. 

Earnings yield yang biasanya memberi gambaran imbal hasil dari laba bersih malah menunjuk ke -85,65 persen, angka yang sangat tidak sehat. Artinya, tidak ada hasil finansial yang bisa dinikmati oleh pemilik saham.

Dari sisi neraca, kondisi makin rumit. Total ekuitas perusahaan kini negatif, tercatat minus Rp1,144 triliun. Ini berarti aset perusahaan tidak cukup untuk menutup kewajiban atau utang yang ada dan menjadi sebuah sinyal kuat bahwa perusahaan secara teknikal berada dalam kondisi insolven. 

Rasio utang terhadap ekuitas (Debt to Equity Ratio) pun ikut negatif, yang mencerminkan ketimpangan parah antara aset dan kewajiban. Ditambah lagi, current ratio hanya 0,09 dan quick ratio 0,07. Dua angka ini secara praktis menunjukkan bahwa perusahaan hampir tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Altman Z-Score INAF juga patut jadi perhatian. Skor ini digunakan untuk mengukur risiko kebangkrutan, dan nilai di bawah 1,8 menandakan zona bahaya. Nah, skor INAF adalah -27,21 yang artinya bukan cuma di bawah ambang aman, tapi sudah jauh di wilayah berisiko tinggi. Ini memperkuat kesan bahwa secara keuangan, perusahaan sedang berada di tepi jurang.

Masuk ke profitabilitas, margin keuntungan INAF pun dalam kondisi yang sangat lemah. Gross Profit Margin tercatat -35,45 persen, lalu Operating Margin menyentuh -171,11 persen, dan Net Profit Margin tembus -231,70 persen. 

Semua margin ini menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya langsung produksi, apalagi beban operasional lainnya.

Meskipun begitu, secara unik, beberapa metrik efisiensi seperti Return on Capital Employed (ROCE) dan Return on Invested Capital (ROIC) tercatat positif, bahkan tinggi: masing-masing 32,72 persen dan 38,55 persen. 

Tapi angka-angka ini tampaknya lebih bersifat anomali dalam konteks akuntansi dan struktur modal negatif, daripada sebagai sinyal nyata dari kinerja sehat. Dengan total aset sebesar Rp618 miliar dan utang jangka pendek mencapai Rp523 miliar, beban utang nyaris menelan seluruh nilai aset perusahaan.

Dari sisi arus kas, situasinya juga belum membaik. INAF mencatatkan arus kas operasi negatif Rp22 miliar, dan free cash flow juga minus di angka yang sama. Dengan kata lain, aktivitas operasional perusahaan belum menghasilkan kas masuk yang bisa digunakan untuk ekspansi atau membayar utang.

Performa harga saham pun ikut mencerminkan kondisi ini. Dalam satu tahun terakhir, harga saham INAF turun sebesar 22,70 persen. Jika ditarik lebih jauh, penurunan dalam 3 tahun mencapai hampir 90 persen, dan selama 5 tahun turun lebih dari 88 persen. 

Bahkan dalam 10 tahun, penurunan mencapai 48 persen. Jelas terlihat bahwa pasar telah kehilangan banyak kepercayaan terhadap prospek jangka panjang perusahaan.

Kesimpulannya, dari semua sisi yang bisa dinilai, seperti laba, neraca, arus kas, valuasi, hingga sentimen pasar, PT Indofarma Tbk saat ini berada dalam kondisi yang tidak sehat secara fundamental. 

Perusahaan menanggung rugi besar, ekuitas negatif, arus kas tersendat, dan hampir tidak punya kemampuan likuid untuk bertahan tanpa intervensi besar. 

Bagi investor, angka-angka ini berbicara lebih keras daripada harapan: INAF berada dalam posisi yang sangat rentan dan belum menunjukkan sinyal pemulihan yang kuat.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79