KABARBURSA.COM – PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) kembali menambah pinjaman di tengah tekanan arus kas dan ambisi memperluas jaringan serat optik lewat anak usahanya.
Perusahaan milik Grup Salim itu resmi mendapat fasilitas pinjaman jangka panjang dari Bank Mandiri senilai maksimal Rp450 miliar pada 4 November 2025.
Pinjaman ini dibagi dua tahap. Tranche pertama Rp225 miliar dengan tenor lima tahun. Tranche kedua Rp225 miliar lagi, tenor tujuh tahun. Sifatnya committed dan non-revolving, artinya dana bisa langsung ditarik tapi tidak bisa dipakai ulang setelah dilunasi. Agunan bersifat negative pledge, dengan pengecualian untuk aset hasil investasi yang akan diikat hak tanggungan.
Manajemen menjelaskan dana ini dipakai untuk menutup cashflow deficit dan kebutuhan investasi grup. Dalam laporan resmi, perseroan menyebut tak ada dampak material terhadap keuangan, selain kewajiban membayar bunga dan pokok pinjaman secara berkala.
Namun, tambahan pinjaman ini mempertebal posisi utang DNET yang terus naik sejak dua tahun terakhir. Per akhir September 2025, total utang bank sudah mencapai Rp6,47 triliun, dengan Rp5,8 triliun di antaranya berjangka panjang. Jumlah ini naik dari posisi Desember 2024 sebesar Rp5,56 triliun. Total liabilitas kini Rp7,46 triliun, sedangkan ekuitas Rp14,23 triliun. Rasio utang terhadap modal sudah menyentuh 0,52 kali.
Pinjaman Mandiri terbaru ini melengkapi fasilitas besar sebelumnya. Sejak 2023, DNET telah memiliki kredit Rp4 triliun dari bank yang sama untuk mendanai ekspansi serat optik PT Mega Akses Persada (MAP) atau FiberStar. Proyek ini berjalan hingga 2027 dan menyerap dana besar untuk memperluas jaringan nasional serta memperbanyak homepass ke pelanggan ritel dan korporasi.
Masalahnya, bisnis jaringan ini belum menghasilkan arus kas positif. DNET masih harus menanggung beban pembiayaan besar sementara pendapatan langsung dari operasi masih kecil.
Arus kas operasi tahun 2024 hanya Rp199 miliar, sedangkan beban bunga mencapai Rp553 miliar. Artinya, bunga tahunan lebih dari dua kali lipat kas operasi.
Sebagian besar laba Rp1,09 triliun pada 2024 bukan dari bisnis inti, melainkan dari bagian laba entitas asosiasi seperti Indomaret, Sari Roti, dan Fast Food Indonesia.
Dengan struktur seperti ini, kemampuan DNET membayar bunga dan cicilan pinjaman bergantung pada dividen dari perusahaan-perusahaan tersebut.
“Perolehan fasilitas pinjaman akan menunjang langsung kegiatan operasional perseroan,” tulis manajemen dalam ditandatangani Sekretaris Perusahaan Kiki Yanto Gunawan, dikutip Kamis, 6 November 2025.
Bagi pasar, pesan yang terbaca justru berbeda. Tambahan pinjaman menunjukkan kebutuhan likuiditas tambahan di tengah bisnis jaringan yang masih membakar kas. DNET kini beroperasi seperti leveraged holding company — holding yang tumbuh dengan menambah utang, bukan lewat kas operasi.
Selama bertahun-tahun, DNET dikenal sebagai perusahaan investasi kaya kas. Tapi kini gambarnya berubah. Kas per September 2025 hanya Rp1,06 triliun, turun jauh dari posisi 2022 yang masih di atas Rp2 triliun. Sebaliknya, utang bank melonjak dan beban bunga terus bertambah.
Dengan bunga sekitar delapan persen, pinjaman baru ini bisa menambah beban hingga Rp30–35 miliar per tahun. Angka yang tampak kecil dibanding total aset, tapi tetap menambah tekanan di struktur keuangan DNET.
MAP lewat FiberStar masih terus membangun jaringan, tapi utilisasinya belum optimal. Proyek serat optik baru akan menghasilkan arus kas stabil bila tingkat pemanfaatan sudah tinggi, sementara saat ini masih di bawah 50 persen. Artinya, investasi terus berjalan, tapi arus baliknya belum ada.
Struktur seperti ini membuat DNET semakin padat modal. Ketika suku bunga belum turun, tambahan pinjaman justru memperbesar beban dana. Risiko utama muncul jika dividen dari perusahaan asosiasi melambat atau proyek jaringan butuh waktu lebih lama balik modal. (*)