KABARBURSA.COM - Nilai Dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan terhadap sejumlah mata uang utama dalam perdagangan Selasa 12 Agustus 2025. Fenomena ini muncul setelah data inflasi terbaru menunjukkan kenaikan moderat sepanjang Juli, yang secara implisit menjaga peluang pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) pada bulan September.
Mengutip Reuters, Rabu 13 Agustus 2025 Dolar merosot 0,25 persen ke posisi ¥147,77 terhadap Yen Jepang. Sementara itu, Euro justru menguat 0,53 persen ke level USD1,1675 berbanding Dolar AS.
Laporan Biro Statistik Tenaga Kerja AS mengungkapkan bahwa indeks harga konsumen (CPI) naik tipis sebesar 0,2 persen di Juli. Pada basis tahunan, indeks tersebut masih bertahan di angka 2,7 persen.
Menurut Chief Market Strategist Corpay, Karl Schamotta, “Inflasi inti tetap terkendali, memberikan ruang bagi pembuat kebijakan untuk merespons tanda-tanda awal pelemahan pasar tenaga kerja.”
Jerome Powell, Ketua The Fed, diperkirakan akan mengangkat potensi pemangkasan suku bunga dalam pidatonya di ajang Jackson Hole Economic Symposium yang akan datang.
Sebelumnya, pasar mata uang bergerak dengan volatilitas terbatas menjelang rilis data inflasi, di mana ekspektasi angka moderat diyakini akan memperkuat optimisme penurunan suku bunga. Optimisme tersebut kian menguat setelah data tenaga kerja AS pekan lalu mengindikasikan perlambatan.
Di sisi lain, spekulasi terkait pergantian pucuk pimpinan bank sentral kembali mengemuka. Mantan Presiden The Fed St. Louis, James Bullard, secara terbuka menyatakan kesediaannya untuk kembali memimpin bank sentral jika mendapat tawaran jabatan tersebut.
Bullard menegaskan fokus utamanya adalah menjaga stabilitas nilai Dolar, mengendalikan inflasi pada level rendah, serta menghormati independensi The Fed sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Federal Reserve.
Trump Tuding BLS Rekayasa Data Ketenagakerjaan
Presiden Donald Trump kembali membuat gebrakan. Kali ini, Kepala Bureau of Labor Statistics (BLS) dicopot dari jabatannya setelah laporan ketenagakerjaan bulan Juli memicu amarah sang presiden. Laporan itu ia sebut sebagai “rekayasa,” tak sesuai narasi pertumbuhan ekonomi yang selama ini ia gaungkan.
Namun ironisnya, data yang diragukan Trump justru dijadikan pijakan utama oleh Federal Reserve (The Fed) untuk membaca perlambatan ekonomi nasional—serta sebagai alasan kuat untuk mulai memangkas suku bunga, sebuah langkah yang selama ini Trump desak secara terbuka.
Gubernur The Fed Michelle Bowman, sosok yang diangkat Trump sendiri, menyebut laporan ketenagakerjaan terakhir sebagai konfirmasi adanya kelelahan dalam dinamika pasar tenaga kerja.
“Saya melihat risiko besar jika kita terlambat bertindak. Ini bisa memperburuk kondisi pasar dan memperlambat laju ekonomi,” ujarnya dalam pernyataan tegas.
Laporan dari BLS yang menunjukkan pelambatan pertumbuhan lapangan kerja dalam tiga bulan terakhir—Mei, Juni, dan Juli—telah menggoyahkan fokus utama The Fed yang semula tertuju pada inflasi. Kini, sinyal resesi mulai masuk dalam radar kebijakan.
Meski data itu berpotensi memperkuat argumentasi Trump dalam mendorong pemangkasan suku bunga, hasilnya justru membantah narasi keberhasilan kebijakan ekonomi sang presiden, mulai dari reformasi pajak hingga strategi imigrasi dan perdagangan.
Bowman dan rekannya, Gubernur Christopher Waller, bahkan telah mengisyaratkan dukungan terbuka untuk segera menurunkan suku bunga. Namun, dalam pertemuan terakhir, keputusan akhir masih mempertahankan tingkat suku bunga saat ini.
Di lantai bursa dan meja-meja spekulasi pasar, peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed dalam rapat 16–17 September kini diperkirakan mencapai 85 persen, menunggu dua data penting: inflasi Juli dan laporan ketenagakerjaan Agustus.
Langkah Trump menunjuk E.J. Antoni—ekonom konservatif dari Heritage Foundation—sebagai kepala baru BLS pada Senin malam, menimbulkan kekhawatiran luas. Pasar menyoroti risiko terganggunya independensi dan integritas lembaga statistik yang selama ini menjadi fondasi kebijakan ekonomi dan moneter negara.
Meski Gedung Putih mempertanyakan validitas data BLS, lembaga itu diketahui memiliki sistem verifikasi data internal yang kompleks dan berlapis. The Fed pun menegaskan bahwa mereka mengandalkan validasi dari berbagai sumber eksternal dan independen.(*)