KABARBURSA.COM – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H Amro, menegaskan bahwa pelemahan Rupiah yang terus berlanjut bisa memicu revisi asumsi makro dalam APBN. Jika nilai tukar terus tertekan dan melewati ambang batas yang ditetapkan, DPR akan mendesak langkah korektif dari pemerintah.
"Terkait kemungkinan revisi asumsi makro, termasuk nilai tukar Rupiah dalam APBN, tentu akan kami pertimbangkan jika pelemahan ini berlanjut. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi dampaknya sangat nyata bagi daya beli masyarakat dan harga kebutuhan pokok," ujar Fauzi kepada KabarBursa.com, Kamis, 27 Maret 2025.
Ia juga menekankan bahwa perlindungan sosial harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak menanggung dampak penuh dari depresiasi Rupiah.
"Kami tidak ingin rakyat menjadi korban pertama. Jika diperlukan, DPR akan mendorong alokasi anggaran yang lebih besar untuk jaring pengaman sosial guna meredam dampak pelemahan Rupiah," jelasnya.
Fauzi mendesak pemerintah, khususnya otoritas fiskal dan moneter, untuk segera mengambil langkah konkret guna menjaga stabilitas ekonomi. Menurutnya, kepercayaan pasar harus dipulihkan agar nilai tukar tidak terus tertekan.
"Situasi ini harus ditangani dengan cepat dan tepat. Jika tidak, beban ekonomi yang ditanggung masyarakat akan semakin berat," pungkasnya.
Rupiah Terancam Jebol ke Rp16.620
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah akan terus mengalami pelemahan hingga ke level Rp16.620. Menurutnya, pelemahan rupiah akan terus terjadi seiring dengan peningkatan ekskalasi konflik di Timur Tengah.
“Apa yang menyebabkan rupiah begitu tajam? Geopolitik masih terus memanas di mana Amerika sudah mengancam Iran dan memberikan ultimatum untuk perang atau menghentikan reactor nuklirnya,” kata Ibrahim
Menurutnya, ultimatum ini adalah ancaman untuk negara-negara di Timur Tengah dan menunjukkan kesiapan Amerika Serikat (AS) untuk menyerang Iran yang diduga berada di belakang layar atas serangan Houthi, Yaman di Laut Merah. Selama ini Houthi menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel yang melintas di Laut Merah.
Faktor eksternal berikutnya yang jadi penyebab pelemahan Rupiah terhadap dolar adalah genosida kedua yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di jalur Gaza. Meski kekejaman Israel terus mendapat protes dari warganya, Israel menganggap jalur Gaza adalah wilayahnya sehingga terus melakukan pengeboman.
Selain genosida, lanjut Ibrahim, serangan Houthi Yaman di Laut Merah yang kian masif membuat 80 persen perdagangan yang melintasi Laut Merah harus berbelok ke Afrika.
“Ini yang membuat harga-harga transportasi naik tinggi dan ini akan membuat biaya cukup mahal serta mendorong terjadinya inflasi,” jelasnya.
Pelemahan rupiah juga terjadi akibat penerapan bea impor tambahan yang berlaku pada 2 April 2025 dapat membebani pasar sehingga membuat harga-harga naik.
Sedangkan dari faktor internal, pelemahan rupiah terjadi karena permasalahan Daya Anagata Nusantara (Danantara) dan pengesahan UU TNI juga menjadi penyebab pelemahan rupiah.
“Dari segi internal kita tahu bahwa permasalahan Danantara, ucapan presiden yang mengatakan saham adalah judi dan IHSG tidak ada hubungannya dengan masyarakat kelas bawah sehingga hal ini membuat frustasi para investor sehingga keluar dari Indonesia,” kata Ibrahim.
Selain itu, penetapan pengurus Danantara juga dinilai membuat investor asing keluar dari Indonesia. Menurutnya, investor asing tak ingin pasar modal di Indonesia diintervensi pemerintah.
“Apalagi bareskrim juga membuat statement jika akan mengawasi pasar modal dan ini adalah bentuk intervensi pemerintah terhadap pasar modal sehingga dianggap bahwa ini tidak aman bagi investor. Investor ingin pemerintah dan lembaga tertentu hanya mengawasi saja,” jelasnya.
Titik Kritis Era 1998
Pelemahan Rupiah kembali jadi sorotan. Nilai tukar terhadap dolar AS kini berada di level yang nyaris menyentuh posisi saat pandemi COVID-19, bahkan mendekati titik kritis era krisis 1998. Kepala Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menyebut situasi ini sebagai “Alarm Siaga 1”.
Liza menyoroti posisi USD/IDR saat ini sudah menyentuh area resistance penting di sekitar Rp16.640 yang dikenal sebagai puncak pelemahan Rupiah saat krisis COVID. Tak jauh dari sana, ada level Rp16.950 yang merupakan level krisis moneter 1998.
“Rupiah terperosok sampai ke level terendah era COVID di mana saat itu menyentuh Rp16.640 per dolar. Bisa dibilang sudah tak jauh dari level krisis 1998 di bilangan Rp16.950. Sewajarnya ini menyalakan ALARM SIAGA 1!,” kata Liza dalam publikasi teknikal yang diterima KabarBursa.com, Rabu, 26 Maret 2025.
Yang bikin ngeri, pelemahan ini terjadi di saat indeks dolar global (DXY) belum tinggi-tinggi amat. Artinya, bukan karena dolar terlalu kuat, tetapi karena memang ada yang salah dengan fundamental Rupiah sendiri. Menurut Liza, ini jadi wake-up call buat publik bahwa pelemahan kurs bukan sekadar efek eksternal.
Dari sisi teknikal, ia melihat potensi pelemahan dolar ke depan berkat pola RSI negative divergence dan munculnya candle doji di grafik bulanan USD/IDR. RSI negative divergence berarti ada ketidaksesuaian antara arah grafik harga dengan indikator kekuatan pasar.(*)