KABARBURSA.COM - Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak, mengingatkan pemerintah terkait dampak melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap perekonomian rakyat. Menurut Amin, besarnya ketergantungan impor pangan dan energi berdampak pada stabilitas harga pangan serta BBM dan gas.
Sejumlah komoditas pangan yang ketergantungan impornya tinggi antara lain kedelai, gula, bawang putih, daging sapi, dan gandum. Pada 2021, Indonesia mengimpor sekitar 2,49 juta ton kedelai senilai USD1,48 miliar. Kemudian gula pasir impor memenuhi sekitar 65-70 persen kebutuhan gula pasir di Indonesia. Sedangkan bawang putih, sekitar 90-95 persen juga berasal dari impor.
Komoditas pangan yang ketergantungan volume impornya paling banyak adalah gandum. Setiap tahun, Indonesia mengimpor sekitar 10 hingga 11 juta ton gandum. Komoditas ini kemudian diolah menjadi tepung terigu, yang merupakan bahan baku untuk produk pangan seperti mi instan dan roti.
Komoditas lain yang volume impornya tinggi adalah daging sapi, yaitu sekitar 25-30 persen dari seluruh daging sapi yang dikonsumsi di Indonesia. Selain komoditas tersebut, pemerintah juga tidak konsisten soal beras yang sering tiba-tiba diputuskan untuk impor.
Selain pangan, sektor-sektor yang terdampak oleh penguatan Dolar AS antara lain farmasi, otomotif, elektronik, dan tekstil. Barang-barang kebutuhan akan semakin mahal, yang berarti membuat daya beli masyarakat melemah. Padahal, konsumsi masyarakat selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.
“Jika tidak secepatnya diambil langkah-langkah tepat, Indonesia bisa masuk ke dalam situasi instabilitas harga maupun pasokan komoditas pangan. Bukan hanya itu, masyarakat juga akan merasakan ekonomi biaya tinggi akibat depresiasi nilai tukar rupiah,” kata Amin di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Juli 2024.
Yang juga harus diwaspadai, lanjut Amin, adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas, karena kurs Rupiah merupakan salah satu faktor penentu harga BBM yang ditetapkan oleh badan usaha migas. Jika Dolar AS terus menguat, harga minyak akan melonjak, subsidi terpaksa dipangkas, dan harga BBM akan naik.
Berdasarkan kajian, ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 10 persen, harga BBM di pom bensin akan naik. Meroketnya inflasi impor biasanya akan mengorbankan harga BBM menjadi lebih mahal. Jika kondisi ini terjadi, daya beli masyarakat akan tergerus, pertumbuhan ekonomi akan melambat, dan angka kemiskinan akan meningkat.
Inflasi dalam negeri akan naik secara signifikan, daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan kemiskinan semakin meningkat.
Melemahnya nilai tukar Rupiah juga berdampak pada para pelaku usaha, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang komponen impor pada bahan bakunya tinggi. Biaya produksi mereka dapat meningkat karena harga komoditas dasar yang diimpor dari luar negeri naik, yang pada akhirnya memengaruhi bisnis mereka.
Selain itu, lemahnya Rupiah terhadap Dolar AS juga bisa berdampak pada APBN, dengan belanja pemerintah membengkak, terutama untuk belanja energi dan pertahanan yang terkait dengan impor. Selain itu, pembayaran cicilan utang dan bunga dalam mata uang Dolar akan menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya memperkecil ruang fiskal anggaran negara.
Belanja APBN akan lebih membengkak karena asumsi Dolar AS digunakan untuk belanja pemerintah yang terkait impor, serta cicilan utang dan bunga yang menjadi lebih tinggi. Artinya, ruang fiskal mengecil dan sektor riil terdampak karena belanja pemerintah berkurang.
“Saya khawatir, situasi yang tampak baik di permukaan, pada akhirnya akan menjadi bom waktu bagi pemerintahan baru nanti. Begitu dilantik, terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ini akan mempengaruhi efektivitas kerja pemerintahan ke depan,” katanya.
Dampak terhadap APBN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah, yang hampir mencapai Rp16.500 per dolar Amerika Serikat, berdampak signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia menjelaskan kondisi ini mempengaruhi belanja pemerintah yang menggunakan mata uang asing, seperti subsidi listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan bahan impor lainnya.
"Dampak pergerakan nilai tukar rupiah ini terasa di dalam APBN," katanya dalam konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Senin, 24 Juni 2024.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa saat ini nilai tukar dolar AS dan harga minyak telah jauh melampaui asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2024. Pemerintah akan terus memantau volume subsidi energi yang diberikan, untuk memastikan kesesuaiannya dengan UU APBN 2024.
Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi anggaran yang dikeluarkan untuk belanja subsidi energi. "Ketiga faktor tersebut [volume, kurs, dan harga minyak] akan ditagihkan oleh Pertamina dan PLN kepada pemerintah setiap kuartal, lalu BPKP akan melakukan audit," jelasnya.
Sri Mulyani memastikan bahwa pemerintah akan membayar subsidi energi sesuai dengan kemampuan fiskal negara. Dalam APBN 2024, pemerintah mengalokasikan Rp329,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi. Subsidi energi sendiri sebesar Rp189,1 triliun, yang meliputi LPG senilai Rp87,45 triliun, listrik Rp75,83 triliun, dan subsidi BBM jenis tertentu (JBT) senilai Rp25,82 triliun. Sementara itu, kompensasi energi mencapai Rp140,8 triliun, lebih rendah dari realisasi 2023 yang mencapai Rp206,07 triliun.(pin/*)