Logo
>

Dua Emiten ini Soroti Daya Beli Masyarakat di Semester II 2024

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Dua Emiten ini Soroti Daya Beli Masyarakat di Semester II 2024

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Stabilitas daya beli masyarakat menjadi sorotan emiten pada semester II 2024. Kondisi ini dinilai bisa mempengaruhi kinerja perseroan.

    Direktur PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), Budiyanto mengatakan tantangan terbesar perusahaan di sisa akhir tahun ini ialah stabilitas daya beli masyarakat. Menurutnya, hal semacam ini bisa mengganggu permintaan produk Sido Muncul.

    "Jadi selama daya beli masyarakat stabil maka demand atau permintaan produk kami tentunya akan stabil," kata Budiyanto dalam Public Expose Live 2024, Rabu, 28 Agustus 2024.

    Dirinya pun berharap, ke depan ada kebijakan-kebijakan yang mendukung  consumer goods. Ia menyebut pihaknya juga akan memantau perkembangan hingga akhir tahun ini.

    Terkait bahan baku jamu , Budiyanto mengaku pihaknya tidak memiliki kendala dalam hal ini. Menurutnya, harga bahan baku jamu saat ini masih terbilang stabil.

    "Bahan baku jamu umumnya itu tanaman-tanaman lokal yang bisa ditanam sendiri di rumah kita, jadi harganya tidak terlaku fluktuatif dan cukup stabil tidak ada masalah," ungkapnya.

    Di sisi lain Budiyanto menyatakan pabrik Sido Muncul masih memiliki kapasitas yang cukup untuk melayani pasar domestik maupun impor.

    "Pabrik secara rata-rata masih di 50 persen dan masih lebih dari cukup untuk memenuhi demand dari domestik maupun ekspor," jelas dia.

    BRI Soroti Daya Beli Masyarakat

    Emiten lainnya yang menyoroti kondisi serupa ialah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Direktur Utama BRI, Sunarso mengaku cukup berhati-hati dengan daya beli masyarakat pada di sisa akhir tahun 2024 ini.

    "Kami harus berhati-hati pada daya beli masyarakat karena data-data menunjukan bahwa daya beli masyarakat masih mengalami tekanan," ungkap dia dalam acara Public Expose Live 2024, Kamis, 29 Agustus 2024.

    Selain itu, Sunarso juga melihat konsumsi domestik masih cenderung melemah. Hal ini tercermin dari penurunan penjualan mobil dan sepeda motor di antar parameter-parameter utama lainnya.

    "Selain itu kesenjangan pendapatan antara kelas menengah bawah dan kelas atas semakin lebar pasca pandemi," ucap Sunarso.

    Deflasi dan Daya Beli

    Diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut pada Mei-Juni 2024 bukan merupakan indikasi melemahnya daya beli masyarakat.

    Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia (BI), Juli Budi Winantya. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa hal itu juga bukan tanda-tanda resesi ekonomi.

    Menurut Juli, deflasi yang berlangsung beberapa bulan terakhir ini terutama dipengaruhi oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan bergejolak (volatile food). Ia menjelaskan bahwa komponen ini mengalami penurunan inflasi signifikan, turun menjadi di bawah 5 persen setelah sebelumnya sempat mencapai angka 9 persen.

    “Ketika berbicara mengenai daya beli, kita seharusnya melihat inflasi inti. Namun, dalam konferensi pers kemarin, inflasi inti menunjukkan kondisi yang stabil. Hal ini terlihat dari ekspektasi inflasi yang tetap terjaga, kapasitas perekonomian yang masih memadai, dan inflasi impor yang terkendali,” jelas Juli.

    Di sisi lain, Asisten Gubernur BI, Erwin Haryono, menegaskan bahwa deflasi selama tiga bulan berturut-turut ini lebih disebabkan oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan yang bergejolak.

    Erwin menjelaskan bahwa sebelumnya, inflasi harga pangan sempat mencatatkan kenaikan yang signifikan, yang mengakibatkan peningkatan harga dan memicu kekhawatiran terkait keadaan darurat pangan.

    “Dulu sempat ada isu darurat pangan karena harga pangan yang melonjak, membuat hidup sulit akibat harga makanan yang tinggi. Namun, sekarang harga pangan sudah turun secara konsisten, dan itulah yang menyebabkan terjadinya deflasi pada Indeks Harga Konsumen (IHK),” ujar Erwin.

    Meskipun demikian, Erwin menekankan bahwa Bank Indonesia tetap waspada terhadap dinamika ekonomi yang terjadi, terutama terkait perkembangan inflasi setiap bulannya. Namun, ia kembali menegaskan bahwa deflasi yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh koreksi pada komponen volatile food.

    “Kami tidak mengabaikan kondisi ini, kami terus memantau situasi. Namun, indikator-indikator IHK sejauh ini menunjukkan bahwa penurunan inflasi terutama terjadi pada komponen volatile food,” pungkas Erwin.

    Data BPS

    Sebagai informasi tambahan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Juli 2024, Indonesia mengalami deflasi sebesar -0,18 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya (month-to-month). Deflasi pada Juli ini merupakan yang terdalam dalam tiga bulan terakhir, setelah sebelumnya tercatat deflasi sebesar -0,03 persen pada Mei dan -0,08 persen pada Juni.

    BPS juga mencatat bahwa tren deflasi selama tiga bulan berturut-turut ini bukanlah kejadian baru bagi Indonesia. Kondisi serupa pernah terjadi selama pandemi Covid-19, yang menyebabkan aktivitas ekonomi terhenti.

    “Situasi ini sebenarnya pernah kita alami sebelumnya, tepatnya pada periode Juli hingga September 2020. Jadi, deflasi tiga bulan berturut-turut bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Deflasi yang terjadi pada Juli kali ini disebabkan oleh komponen harga pangan bergejolak (volatile food),” ungkap Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti.

    Amalia menekankan pentingnya berhati-hati dalam menafsirkan deflasi selama tiga bulan berturut-turut ini sebagai tanda melemahnya daya beli masyarakat.

    “Untuk menyimpulkan apakah deflasi merupakan indikator dari lemahnya daya beli, diperlukan analisis yang lebih mendalam dan hati-hati,” jelas Amalia saat menjawab pertanyaan dari para jurnalis.

    Ia menambahkan bahwa penurunan harga yang tercermin dalam angka deflasi ini belum tentu menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Hal ini karena saat ini pasokan di pasar sangat melimpah, yang berkontribusi pada penurunan harga barang.

    “Kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa ada penurunan daya beli masyarakat hanya karena terjadi deflasi,” tegas Amalia. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.