Logo
>

Efek BI Rate Naik: Arus Kas Sektor Tambang Terancam

Ditulis oleh KabarBursa.com
Efek BI Rate Naik: Arus Kas Sektor Tambang Terancam

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pelaku industri sektor pertambangan mengisyaratkan bahwa arus kas mereka dalam posisi yang terancam seiring dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen pada April 2024.

    Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA), menilai bahwa kenaikan suku bunga akan menambah beban operasional perusahaan tambang dalam jangka panjang, terutama karena pembiayaan di sektor pertambangan menjadi semakin sulit.

    “Jadi kenaikan suku bunga tentu berdampak, apalagi pembiayaan untuk sektor pertambangan khususnya batu bara makin sulit,” ujar Hendra sebagaimana dilansir Bloomberg, Rabu 24 April 2024.

    Menurut Hendra, perusahaan pertambangan dalam 2 tahun terakhir telah terbebani dengan peningkatan biaya operasional.

    Belum lagi, biaya produksi kerap mengalami peningkatan setiap tahun yang disebabkan oleh stripping ratio yang makin besar.

    Stripping ratio merupakan perbandingan antara volume massa bantuan yang dibongkar dengan tonase batu bara yang diambil. Stripping ratio yang membesar, kata Hendra, pada akhirnya bakal meningkatkan biaya penambangan.

    Tidak berhenti di situ, penambang juga mendapatkan beban tambahan untuk biaya produksi seiring dengan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Apalagi, kata Hendra, 20 persen hingga 30 persen biaya produksi dialokasikan untuk biaya BBM.

    “Sehingga kenaikan BBM tentu berpengaruh. Apalagi jika ada kenaikan suka bunga,” ujarnya.

    Terakhir, sejak September 2023, perusahaan pertambangan juga wajib menempatkan 30 persen dari dana hasil ekspor (DHE) di bank nasional dengan jangka waktu minimal 3 bulan. Sehingga, Hendra mengatakan, hal ini menyulitkan perusahaan dalam mengelola arus kas.

    Untuk diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 23 hingga 24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.

    Gubernur BI Perry Warjiyo menerangkan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen.

    "Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability, " ungkap Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur April 2024, Rabu 24 April 2024.

    Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    Perry menambahkan kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.

    "Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran," terangnya.

    Pagi tadi hari ini Rabu 24 April 2024, Redaksi Kabar Bursa melansir Bloomberg mengabarkan bahwa Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan menunda pelonggaran kebijakan moneter hingga akhir tahun ini, atau mungkin awal tahun 2025, sambil menantikan ketidakpastian seputar kebijakan suku bunga Federal Reserve dan kelanjutan konflik di Timur Tengah.

    Dua puluh dari 21 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan menunda penurunan suku bunga, dengan sebagian besar memprediksi pelonggaran suku bunga terjadi pada kuartal IV-2024, sementara beberapa lainnya memperkirakan periode Januari hingga Maret tahun depan.

    Dengan demikian, bank sentral kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuan pada rapat Dewan Gubernur (RDG) Rabu, menurut 30 dari 41 analis dalam survei terpisah, sementara sisanya memperkirakan kemungkinan kenaikan BI-Rate sebesar seperempat poin menjadi 6,25 persen.

    Hasil survei ini menunjukkan bagaimana hambatan penurunan suku bunga semakin tinggi di negara-negara berkembang di Asia karena kebangkitan dolar dan ketegangan geopolitik yang berdampak pada mata uang di wilayah tersebut.

    Tekanan ini khususnya berat bagi BI, yang mandat utamanya adalah menjaga stabilitas mata uang dan sangat responsif terhadap perubahan sentimen investor asing.

    “Ada ketidakpastian yang cukup besar mengenai arah suku bunga global, khususnya bagi The Fed,” kata Radhika Rao, ekonom di DBS Group Holdings Ltd.

    "Pasar mengharuskan bank sentral untuk mempertahankan perbedaan yang menguntungkan dengan Departemen Keuangan AS dan menunda dimulainya siklus pelonggaran hingga akhir tahun.”

    Dengan nilai tukar rupiah yang berada pada titik terendah di era pandemi dan investor asing menarik USD2,1 miliar dari pasar obligasi negara tahun ini, “nada pertemuan ini hampir pasti akan berpihak pada sikap hawkish,” menurut ekonom di Morgan Stanley.

    Gubernur BI Perry Warjiyo tampaknya mengurangi nada dovish sebelumnya dalam sebuah pernyataan pada Jumat, dengan mengatakan bank sentral akan memastikan stabilitas nilai tukar dengan intervensi pasar dan “langkah-langkah lain yang diperlukan” seiring dengan meningkatkan penjualan dolar di pasar spot dan derivatif untuk menopang menaikkan mata uangnya.

    Hal ini merupakan tanggapan terbaru dari negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini yang mengambil pendekatan habis-habisan untuk menopang rupiah.

    Bank sentral menaikkan premi surat berharga rupiah, atau SRBI – instrumen moneter yang digunakan bersama dengan suku bunga kebijakan untuk memikat arus masuk. Pemerintah juga memerintahkan perusahaan-perusahaan milik negara untuk menahan pembelian dalam jumlah besar dalam dolar dan impor barang-barang konsumsi.

    “BI akan memiliki ruang untuk melakukan berbagai kebijakan intervensi guna menstabilkan rupiah dan hanya melakukan kenaikan suku bunga sebagai upaya terakhir,” kata Lionel Priyadi, ahli strategi makro PT Mega Capital Sekuritas di Jakarta.

    Cadangan devisa Indonesia mencapai USD140 miliar pada akhir Maret, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Oktober ketika bank sentral terakhir kali menaikkan suku bunga.

    Namun, intervensi valuta asing yang berkelanjutan untuk mendukung rupiah mungkin tidak berkelanjutan dan menguras likuiditas sistem keuangan, menurut PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, yang memperkirakan kenaikan sebesar 25 basis poin pada hari Rabu dan satu lagi pada bulan Mei.

    Kenaikan suku bunga, jika hal itu terwujud, akan mengangkat suku bunga acuan ke level tertinggi sejak diperkenalkan pada tahun 2016.

    Namun, langkah tersebut dapat dipandang oleh investor sebagai “peningkatan kepanikan,” kata Euben Paracuelles, ekonom Nomura Holdings Inc di Singapura.

    “Hal ini bisa menjadi kontraproduktif mengingat kemungkinan reaksi negatif di pasar obligasi yang pada gilirannya dapat menyebabkan arus keluar dan melemahkan tujuan stabilitas nilai tukar BI.”

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi