KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) terus memperkuat operasi moneternya dengan pendekatan absorptif, menyerap likuiditas dari perekonomian melalui berbagai instrumen, terutama Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Menurut data hingga 31 Maret 2025, posisi operasi moneter bersifat absorpsi mencapai Rp922,58 triliun, dengan SRBI mendominasi sebesar Rp891,13 triliun.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa kecenderungan kebijakan moneter BI selama lebih dari dua dekade terakhir memang lebih banyak didominasi oleh pendekatan yang menyerap likuiditas.
Ia menilai bahwa hal ini tercermin dari nilai neto operasi moneter yang terus bersifat absorptif, serta jumlah instrumen penyerap yang lebih banyak dibandingkan dengan yang bersifat injeksi.
"Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi," terang dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 16 April 2025.
Ia mencatat bahwa tren tersebut tidak hanya terjadi dalam jangka panjang, tetapi juga semakin menguat dalam lima tahun terakhir. Pada akhir 2019, posisi operasi moneter yang menyerap likuiditas tercatat sebesar Rp297,49 triliun.
Namun angka ini melonjak hampir tiga kali lipat menjadi Rp945,56 triliun di akhir 2024. Hingga 31 Maret 2025, posisinya tetap tinggi, yakni Rp922,58 triliun.
"Kondisi terkini pun masih berposisi absorpsi yang bernilai besar, mencapai Rp922,58 triliun per 31 Maret 2025," tambahnya.
Dia mengatakan sejumlah instrumen moneter yang dulu digunakan kini tidak lagi beroperasi atau memiliki nilai yang sangat kecil. Di sisi lain, instrumen seperti SRBI justru tumbuh menjadi tumpuan utama kebijakan moneter BI. Popularitas SRBI pun meningkat, bahkan berhasil menarik minat investor asing yang kini menguasai sekitar 25 persen dari total kepemilikan.
SRBI sendiri merupakan surat berharga jangka pendek berdenominasi rupiah yang diterbitkan BI dengan underlying asset berupa surat berharga milik BI. Saat ini SRBI beredar dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan.
Namun, meskipun SRBI dinilai cukup efektif dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Awalil menilai ada risiko jika BI terlalu bertumpu pada strategi absorpsi. Ia mengingatkan bahwa kebijakan moneter seharusnya tidak hanya berfokus pada upaya stabilisasi, tetapi juga harus mampu menjadi motor penggerak pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan menginjeksi likuiditas sangat penting dijaga agar fungsi moneter tetap relevan dalam menjawab tantangan perekonomian ke depan.
Ia menyebut bahwa BI perlu mengkaji ulang orientasi kebijakan yang terlalu menekankan pada stabilitas, agar tidak mengorbankan peluang untuk memperkuat sektor riil dan menciptakan lapangan kerja.
“Bank Indonesia semestinya tetap menjaga keseimbangan antara instrumen yang menyerap dan yang menginjeksi likuiditas, agar fungsi moneter tidak hanya stabilisasi, tapi juga mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi,” terangnya Awalil.
Keputusan Operasi Moneter
Lebih jauh, Awalil juga menyoroti narasi kebijakan BI yang selama ini kerap menjadikan inflasi dan stabilitas keuangan sebagai landasan utama dari setiap keputusan operasi moneter.
Menurutnya, narasi semacam itu memang bisa dianggap menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam menekan inflasi dalam beberapa tahun terakhir.
"Dari berbagai narasi kebijakan Bank Indonesia, alasan utama operasi moneter adalah menjaga tingkat inflasi. Biasa pula ditekankan menjaga faktor stabilitas kondisi keuangan. Dengan demikian bisa ditafsirkan, kebijakan ini merupakan salah satu penyebab rendahnya inflasi selama beberapa tahun terakhir," jelas dia.
Namun, ia menilai bahwa fokus yang terlalu sempit pada stabilitas justru berisiko mengabaikan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, ia menilai bahwa bank-bank cenderung menjadi lebih pasif dalam menyalurkan kredit ke sektor riil, karena terlalu mengandalkan instrumen likuiditas dari BI.
"Kebijakan ini yang membuat bank menjadi malas menyalurkan ke sektor riil," ujar dia.
Ia pun menggarisbawahi sebuah ironi: di tengah strategi moneter yang menyerap dana dari pasar, BI justru tercatat memiliki kepemilikan besar atas Surat Berharga Negara (SBN), yang mencapai Rp1.547,41 triliun atau sekitar 24,62 persen dari total SBN per 10 April 2025.
Dengan kata lain, BI terlihat lebih memilih menyalurkan dananya kepada pemerintah daripada membiarkannya mengalir ke sektor riil melalui bank.
"Bisa saja ditafsirkan bahwa BI menilai uang lebih berguna disalurkan ke Pemerintah dibanding ke sektor riil melalui Bank. Secara teknis tampak pula bahwa BI mengeluarkan tambahan biaya operasi moneter, karena hasil dari SBN Pemerintah lebih rendah dari yang harus dibayar untuk SRBI," terang dia.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kondisi ini juga menimbulkan biaya tambahan bagi BI. Pasalnya, imbal hasil dari SBN yang dipegang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga yang harus dibayarkan pada instrumen seperti SRBI.
Hal ini memperlihatkan bahwa strategi moneter saat ini tidak hanya kurang efisien dari sisi fiskal, tapi juga kurang memberikan stimulus nyata bagi perekonomian.
Di satu sisi, stabilitas keuangan memang masih dapat dijaga. Indikasinya terlihat dari rendahnya inflasi dan masih wajarnya harga SBN, yang penting bagi solvabilitas perbankan, dana jaminan sosial seperti BPJS, serta pengelolaan dana haji. Namun, Awalil mengingatkan bahwa kondisi ini membuat ruang kebijakan, baik dari sisi moneter maupun fiskal, menjadi semakin terbatas.
Ia menegaskan bahwa dalam situasi global yang penuh ketidakpastian dan saat perekonomian domestik mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan, kebijakan ekonomi seharusnya bersifat lebih kontra-siklus (countercyclical). Artinya, pemerintah dan BI mestinya justru meningkatkan peran aktif untuk mendorong pertumbuhan dan menjaga daya beli masyarakat.
"Bagaimanapun, kondisi yang demikian membuat ruang kebijakan moneter dan juga fiskal makin sempit. Pada saat ketidakpastian meningkat dan perekonomian cenderung melemah, mestinya otoritas ekonomi (Pemerintah dan Bank Indonesia) lebih bersikap countercyclical. Namun, daya untuk itu cenderung makin lemah," kata dia.
Menurut Awalil, lemahnya daya beli masyarakat kelas bawah dan bahkan kelas menengah saat ini tak lepas dari arah kebijakan moneter yang dominan menyerap likuiditas.
Sementara itu, kelompok masyarakat kelas menengah atas dan kalangan kaya justru cenderung diuntungkan, karena mereka memiliki aset yang bisa dialokasikan ke berbagai instrumen investasi keuangan yang terus mengalami penguatan imbal hasil.
"Saya berpandangan lebih jauh bahwa melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah dan bahkan kelas menengah diperparah oleh arah kebijakan demikian," tandasnya.(*)