Logo
>

Ekonom Perkirakan BI Rate Ditahan di Level 6,25 Persen

Ditulis oleh Syahrianto
Ekonom Perkirakan BI Rate Ditahan di Level 6,25 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Para ekonom memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persen pada Juni 2024. BI akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis, 20 Juni 2024 ini.

    Irman Faiz, ekonom Bank Danamon, mengatakan, perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mulai menguat, serta terdapat sentimen rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) AS yang melemah akan menjadi pertimbangan BI menahan suku bunga acuannya.

    "Seharusnya BI masih akan menahan suku bunga acuan. Namun, SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) yield-nya bisa dinaikkan kembali," kata Irman.

    Irman menyampaikan bahwa tekanan pada nilai tukar rupiah sebelumnya memang cukup tinggi, dikarenakan faktor global, di mana arah kebijakan the Fed diperkirakan masih hawkish. Selain itu, dari sisi domestik, adanya isu rencana pemerintah baru yang akan menaikkan rasio utang hingga mendekati 50 persen dari PDB Indonesia.

    "Namun demikian, sentimen ini cukup mereda pasca statement klarifikasi dari pemerintah baru pada long weekend kemarin dan commentaries dari pak Perry (Gubernur BI)," sambungnya.

    Terkait yield SRBI, Irman menjelaskan bahwa yield SRBI dapat dinaikan kembali pada lelang selanjutnya. Pasalnya, yield SRBI mengalami penurunan yang cukup banyak sejak bulan Mei lalu. Berdasarkan laporan yang diterbitkan BI, kisaran yield SRBI pada lelang 3 Mei 2024 berada pada angka 7,08-7,60 persen untuk tenor 6 bulan, 7,17-7,70 persen untuk tenor 9 bulan, dan 7,10-7,80 persen untuk tenor 12 bulan.

    Sementara pada laporan terakhirnya di bulan Juni yakni pada 14 Juni 2024, yield SRBI berada pada angka 7,11-7,27 persen untuk tenor 6 bulan, 7,23-7,40 persen untuk tenor 9 bulan, dan 7,28-7,55 persen untuk tenor 12 bulan. "Karena di Juni  level yield-nya turun cukup banyak. Aktual penurunan dari Mei ke Juni sejauh ini turunnya 20 bps (basis poin)," pungkas Irman.

    Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan tersebut seiring kondisi inflasi yang tetap terkendali serta posisi cadangan devisa dan prospek keseimbangan eksternal yang tetap terjaga. “Mengingat suku bunga acuan di level 6,25 persen saat ini masih konsisten untuk menjangkar ekspektasi inflasi serta menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” katanya.

    Josua menjelaskan, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang global dalam beberapa pekan terakhir dipengaruhi oleh faktor sentimen seperti pelemahan Euro di tengah ketidakpastian politik di Eropa dan arah kebijakan suku bunga global, terutama the Fed, bank sentral AS, pada rapat FOMC Juni lalu.

    Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pelemahan rupiah dan mata uang global lainnya sebenarnya dipengaruhi oleh faktor sentimen dan tidak mencerminkan faktor fundamental ekonomi Indonesia. Dengan begitu, ia memprediksi pelemahan rupiah yang terjadi cenderung bersifat sementara.

    “Oleh sebab itu, BI diperkirakan akan kembali mempertahankan suku bunga BI Rate di level 6,25 persen setelah terakhir BI menaikkan suku bunga acuan BI pada RDG bulan April yang lalu,” pungkas Josua.

    Sebagaimana diketahui, BI pada terakhir kali menaikkan suku bunga acuan pada April 2024 sebesar 25 basis poin menjadi 6,25 persen, yang kemudian ditahan pada level tersebut pada Mei 2024. BI menyatakan, keputusan mempertahankan suku bunga acuan pada Mei 2024 sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi terkendali dalam sasaran 1,5-3,5 persen pada 2024 dan 2025, termasuk efektivitas dalam menjaga aliran masuk modal asing dan stabilitas nilai tukar rupiah.

    Pelemahan Rupiah

    Ekonom menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjadi utamanya karena kondisi fiskal Indonesia yang memprihatinkan. Hal ini tercermin dari data neraca transaksi berjalan yang minim dan rencana pengelolaan rasio utang terhadap PDB yang menjulang.

    Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina menjelaskan rupiah sedang berada dalam tekanan sepanjang satu tahun terakhir, bahkan rupiah merupakan salah satu mata uang terlemah di dunia. Dalam satu tahun terakhir, rupiah melemah terhadap 83 persen mata uang yang ada di dunia.

    "Hal ini disebabkan oleh kondisi fiskal yang lemah dan isu sustainability current account, karena tren menunjukkan pertumbuhan ekspor tidak akan mampu mengejar pertumbuhan impor, dan cukup besar proporsi hasil ekspor yang lari ke luar negeri," katanya.

    Dia menambahkan, kondisi nilai tukar rupiah diperparah oleh penurunan rating saham Indonesia oleh Morgan Stanley. Pekan lalu, Morgan Stanley memang menurunkan rating saham Indonesia menjadi 'underweight'.

    "Tetapi, yang lebih berdampak sebenarnya adalah statement dari tim ekonomi Prabowo yang mengatakan bahwa pemerintahan Prabowo akan meningkatkan debt to GDP ratio menjadi 50 persen dalam 5 tahun ke depan. Alasannya, 50 persen adalah titik optimal, masih di bawah 60 persen yang dianggap sebagai benchmark yang aman," tandasnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.