Logo
>

Ekonom: RI Mudah Diganti oleh Vietnam di Pasar AS

Ekonom Paramadina: Struktur Ekspor Mirip, Amerika Bisa Gampang Alihkan Impor ke Vietnam

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ekonom: RI Mudah Diganti oleh Vietnam di Pasar AS
Ilustrasi perbandingan Indonesia dengan Vietnam. Foto dibuat oleh AI untuk Kabar Bursa.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Penangguhan penerapan tarif selama 90 hari ke depan tak menyurutkan ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Di masa penangguhan tarif ini, sejumlah negara berupaya menempuh jalur diplomasi melalui negosiasi agar AS tidak membebani tarif tinggi kepada ekspor yang masuk.

    Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan tim untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS terkait kebijakan tarif. Pengiriman tim negosiator ke AS itu disampaikan oleh Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI.

    Airlangga mengklaim, Indonesia adalah salah satu negara yang diterima lebih awal oleh pemerintah AS untuk negosiasi ulang soal tarif resprokal yang sebelumnya diumumkan oleh Trump. 

    Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin melihat, langkah cepat pemerintah bernegosiasi dengan AS karena posisi Indonesia sangat rentan dan mudah digantikan oleh negara tetangga seperti Vietnam.

    “Kalau kita lihat Indonesia ini ranking di Amerika kan ranking 15 dari sisi nilai perdagangan, nilai surplus kita. Jadi kita bukan counterpart yang besar-besar amat. Sehingga bagi Amerika untuk mem-punish Indonesia itu lebih mudah,” ungkap Wijayanto dalam acara KeyPoint Kabar Bursa dengan tema Teka-Teki Tarif Trump: Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan? Senin, 21 April 2025.

    Ia menjelaskan, kesamaan struktur ekspor antara Indonesia dan Vietnam menjadi alasan utama kenapa Indonesia harus waspada. Menurutnya, produk-produk ekspor Indonesia bisa dengan cepat digantikan oleh produk serupa dari Vietnam jika hubungan dagang memburuk.

    “Dengan mudah Amerika mengganti produk Indonesia dengan produk dari Vietnam misalnya, karena struktur ekspor kita dan Vietnam itu mirip,” katanya.

    Dalam kondisi seperti ini, lanjut Wijayanto, Indonesia tidak bisa bersikap terlalu berani seperti halnya negara-negara besar lain yang menjadi target tarif Amerika, seperti China, Kanada, dan Meksiko.

    “Dalam situasi seperti ini kita juga tidak bisa kemudian segagah negara seperti China, seperti Kanada, seperti Meksiko,” ucapnya.

    Wijayanto mencontohkan bagaimana Kanada dan Meksiko memiliki posisi tawar yang kuat terhadap Amerika. Di Kanada, resistensi terhadap kebijakan dagang Trump bahkan menjadi isu utama dalam pemilihan umum.

    “Kalau Kanada case-nya lain, karena ketika trade war ini mulai muncul, yang terjadi di Kanada kan adalah pemilihan umum untuk memilih representatif di parlemen, kemudian memilih perdana menteri, dan semua kandidat itu menjanjikan akan fight back. Sebagai negara, Kanada punya alasan untuk marah dan tersinggung karena Kanada akan dijadikan provinsi ke-51 Amerika,” jelasnya.

    Sementara itu, Meksiko juga tidak tinggal diam karena banyak perusahaan Amerika yang mengekspor dari negara tersebut.

    “Meksiko juga sama, karena Meksiko itu trading partner utamanya kan Amerika. Tapi dia juga yakin karena banyak perusahaan yang mengekspor dari Meksiko itu adalah perusahaan-perusahaan Amerika,” ujar Wijayanto.

    Menurutnya, kepercayaan diri Meksiko untuk melawan tarif tinggi Trump justru datang dari kenyataan bahwa sanksi dagang terhadap Meksiko juga akan merugikan perusahaan-perusahaan Amerika sendiri.

    Di sisi lain, China juga tetap menjadi sorotan utama dalam eskalasi perang dagang ini. Meskipun mendapat tekanan besar dari Trump, Amerika masih hati-hati dalam menerapkan tarif terhadap produk teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang dirakit di China.

    “Ketika Trump menerapkan tarif 245 persen, kan dia meng-exclude produk-produk ICT—handphone dan lain sebagainya. Karena Apple dan lain sebagainya itu perusahaan Amerika yang memproduksi barangnya di China,” ungkapnya.

    Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa bahkan dalam kebijakan agresif seperti perang dagang, Trump tetap mempertimbangkan kepentingan perusahaan besar Amerika, terutama yang menjadi pendonor utama kampanyenya.

    “Kalau itu juga terhambat proses produksinya, Apple pasti juga unhappy. Padahal Apple dan beberapa perusahaan teknologi lainnya di Amerika adalah donor utama Trump. Makanya perusahaan ICT itu di-exclude dalam tarif yang 245 persen dari China ini,” tandas Wijayanto.

    Keunggulan Vietnam Dibanding Indonesia

    Secara populasi, Indonesia memang lebih besar dengan jumlah penduduk mencapai 282 juta jiwa, berbanding Vietnam yang hanya memiliki sekitar 101 juta jiwa.

    Namun, dari sisi performa ekonomi, Vietnam mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi, yakni 7,09 persen pada tahun 2024. Angka ini jauh di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 5,03 persen.

    Perbandingan juga terlihat mencolok pada rasio investasi asing langsung (FDI) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam periode 2010 hingga 2018, Vietnam mampu menarik FDI hingga 5,90 persen dari PDB, sedangkan Indonesia hanya mencatatkan 2,10 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa kepercayaan investor internasional terhadap Vietnam lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia.

    Keunggulan Vietnam tidak terlepas dari kebijakan fiskal yang lebih kompetitif. Pajak Penghasilan Badan di negara tersebut hanya sebesar 20 persen, sedangkan Indonesia menetapkan tarif 25 persen. Begitu pula untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), di mana Vietnam mengenakan tarif 8 persen, sementara Indonesia menetapkan 11 persen dan 12 persen untuk barang mewah.

    Dalam aspek tata kelola pemerintahan, Vietnam juga menunjukkan keunggulan melalui skor Indeks Persepsi Korupsi yang lebih baik, yakni 41. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya mencatat skor 34. Skor yang lebih rendah menunjukkan tingkat korupsi yang lebih tinggi, sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam menciptakan iklim usaha yang transparan dan terpercaya.

    Perbedaan dalam iklim investasi ini terlihat jelas dalam aliran modal dari perusahaan-perusahaan global. Apple telah menggelontorkan investasi sebesar Rp265,7 triliun di Vietnam, sedangkan investasi mereka di Indonesia hanya sebesar Rp1,6 triliun. Samsung pun melakukan hal serupa, menanamkan dana hingga Rp289,8 triliun di Vietnam, dan hanya Rp8 triliun di Indonesia.

    Meski inflasi di Indonesia lebih rendah—berada di angka 1,57 persen dibandingkan Vietnam yang mencatat 3,63 persen—stabilitas harga saja tidak cukup untuk menarik arus investasi besar. Tanpa adanya reformasi struktural yang signifikan, keunggulan dalam hal inflasi belum mampu menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama investasi global.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.