KABARBURSA.COM - Investasi asing yang masuk ke Indonesia kerap dibanggakan oleh pemerintah sebagai indikator kredibilitas dan daya tarik ekonomi nasional.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, mengungkapkan bahwa arus masuk investasi asing selama era pemerintahan Jokowi justru lebih kecil dibandingkan arus pembayaran imbal hasilnya.
“Investasi asing dinarasikan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Namun, penyandingan data menunjukkan bahwa selama era Jokowi, nilai arus investasi asing yang masuk justru lebih kecil dibanding arus pembayaran imbal hasilnya,” ujar Awalil dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu 2 April 2025.
Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia (Balance of Payments) dari Bank Indonesia, nilai investasi asing neto yang masuk selama 10 tahun pemerintahan Jokowi (2015-2024) mencapai USD335,43 miliar. Sementara itu, pembayaran imbal jasa kepada modal asing dalam periode yang sama mencapai USD372,61 miliar. Artinya, terdapat selisih keluar sebesar USD38,46 miliar.
Sebagai perbandingan, Awalil mencatat bahwa selama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), arus investasi asing yang masuk mencapai USD288,46 miliar, sedangkan pembayaran imbal hasilnya sebesar USD 232,63 miliar. Dengan demikian, selisihnya masih bersifat masuk sebesar USD55,83 miliar.
“Kondisi arus neto bersifat keluar secara terus menerus sejak tahun 2020. Pada 2020, arus masuk modal asing secara neto sebesar USD24,72 miliar, sedangkan arus keluar pembayaran sebesar USD32,60 miliar. Kondisi ini memburuk pada tahun 2021 dan 2022,” jelasnya.
Arus investasi asing baru mulai membaik pada tahun 2023 dan 2024. Namun, arus masuk tetap lebih kecil dibandingkan pembayaran jasa modal asing. Secara neto, masih bersifat keluar sebesar USD12 miliar pada 2023 dan sebesar USD2 miliar pada 2024.
Investasi Asing dan Dampaknya pada Ekonomi
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, arus investasi asing merupakan hal yang lazim. Namun, Awalil menyoroti bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi selama era Jokowi masih lebih rendah dibandingkan era SBY.
“Pertumbuhan ekonomi selama era Jokowi hingga 2024 rata-rata hanya 4,22 persen per tahun. Andai tidak memperhitungkan pandemi, maka rata-rata pertumbuhan ekonomi pada 2015-2019 juga hanya 5,03 persen per tahun. Lebih rendah dari 10 tahun era SBY yang mencapai 5,72 persen,” ungkapnya.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan era SBY. Pada akhir 2024, cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar USD155,72 miliar, meningkat 39,21% dari posisi akhir 2014 yang sebesar USD111,86 miliar.
“Padahal, Indonesia telah memperoleh ‘hadiah’ dari International Monetary Fund (IMF) pada Agustus 2021 sebesar USD6,50 miliar. Sebagai perbandingan, posisi cadangan devisa meningkat tiga kali lipat selama era SBY,” kata Awalil.
Proyeksi Bisnis Indonesia 2025
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengungkapkan proyeksi bisnis Indonesia pada tahun 2025, yang diprediksi akan berkembang di tengah situasi politik domestik yang stabil.
Menurut Nurul, meskipun Indonesia telah berhasil melewati berbagai proses politik yang menghasilkan stabilitas, tantangan besar tetap berasal dari dinamika ekonomi global. Salah satu yang paling signifikan adalah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China.
"Meskipun politik di Indonesia sudah berjalan lancar, kita tidak bisa mengabaikan bagaimana hubungan internasional, terutama dengan negara-negara besar, dapat memengaruhi ekonomi kita," ujar Nurul saat dihubungi Kabarbursa.com, Jakarta, Senin, 30 Desember 2024.
Nurul menjelaskan bahwa proyeksi bisnis Indonesia di tahun 2024 harus mempertimbangkan berbagai faktor eksternal, mengingat Indonesia adalah negara terbuka yang sangat terhubung dengan perekonomian global. Ia menekankan pentingnya partisipasi investasi asing untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diharapkan berada di kisaran 6-8 persen pada 2024.
"Kapasitas kita terbatas, baik dari sisi kapital maupun insentif. Oleh karena itu, kita perlu menarik investasi asing untuk mencapai target pertumbuhan tersebut," tambahnya.
Salah satu faktor eksternal yang perlu dicermati adalah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China. Nurul menyoroti bagaimana perubahan kebijakan ekonomi AS, terutama di bawah pemerintahan Donald Trump, dapat memengaruhi pasar global, khususnya bagi negara-negara yang terlibat dalam rantai pasokan global, termasuk Indonesia.
"Jika Amerika Serikat menaikkan tarif impor untuk produk-produk China, ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menggantikan peran China dalam menyediakan produk-produk tertentu bagi pasar AS," ujar Nurul.
Ia menambahkan bahwa Indonesia harus memanfaatkan situasi ini dengan menarik investasi dari perusahaan-perusahaan global yang mencari alternatif sumber produksi selain China.
Tren "China Plus One", di mana banyak perusahaan global mencari lokasi alternatif untuk berinvestasi di luar China, juga menjadi peluang besar bagi Indonesia. Menurut Nurul, Indonesia harus memanfaatkan tren ini untuk menarik investor yang ingin memperluas pasar mereka, khususnya di Amerika, tanpa terkendala oleh kebijakan perdagangan AS terhadap China.
"Ini adalah peluang besar bagi kita untuk menarik investor yang ingin memasuki pasar Amerika tanpa terkendala oleh kebijakan perdagangan AS terhadap China," kata Nurul.(*)