KABARBURSA.COM - Dampak stagnasi ekonomi di Jepang semakin terasa dengan pertumbuhan yang melambat selama tiga kuartal terakhir, mengindikasikan kemungkinan stagflasi ringan yang mengkhawatirkan, alih-alih pemulihan ekonomi yang diharapkan.
Meskipun diperkirakan ada pemulihan pada kuartal ini, pengusaha harus mempertimbangkan kebijakan moneter yang tepat, terutama karena pertumbuhan ekonomi terbaru menunjukkan ketidakpastian yang signifikan.
Menurut Taro Saito, ahli ekonomi di NLI Research Institute, Jepang menghadapi stagflasi dengan pertumbuhan yang hampir tidak ada sementara inflasi tetap tinggi.
Meskipun laba perusahaan mencapai rekor dan harga saham meningkat, belanja konsumen terus menurun, mencerminkan tantangan ekonomi yang lebih luas.
Data terbaru menunjukkan kontraksi ekonomi sebesar 2 persen per kuartal pada Januari-Maret, menandai ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut.
Meskipun upah riil telah menurun selama dua tahun terakhir, pemerintah Jepang masih berkomitmen pada target inflasi jangka panjangnya.
Namun, tantangan terbesar tetap pada belanja konsumen yang terus menurun, yang dapat menyulitkan upaya untuk menstabilkan ekonomi dan mengurangi risiko stagflasi.
Meskipun kondisi ekonomi Jepang saat ini masih jauh dari tingkat stagflasi yang parah seperti pada tahun 1970-an, kebijakan yang tepat perlu diambil untuk mencegah situasi semakin memburuk.
Meskipun pemerintah menyalahkan faktor-faktor sementara seperti bencana alam dan gangguan produksi, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ekonomi yang ada untuk memastikan keberlanjutan pemulihan ekonomi yang stabil.
Dengan pemulihan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk upah riil dan belanja konsumen, langkah-langkah yang diperlukan harus diambil untuk menjaga stabilitas ekonomi Jepang dalam jangka panjang.