KABARBURSA.COM - Harga emas turun pada hari Senin, 14 April 2025 mundur dari rekor tertinggi yang tercapai sebelumnya pada hari itu, seiring membaiknya selera risiko setelah Gedung Putih membebaskan smartphone dan komputer dari tarif tinggi terhadap China.
Seperti dilansir Reuters, emas spot turun 0,7 persen menjadi USD3.213,69 per ons, setelah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa di USD3.245,42. Kontrak berjangka emas AS turun 0,6 persen menjadi USD3.226,30.
"Beberapa perdagangan yang berisiko membuat harga emas turun dari level tertinggi terbaru, tetapi secara keseluruhan lingkungan masih cukup mendukung untuk emas," kata Bart Melek, kepala strategi komoditas di TD Securities.
Sentimen risiko di pasar keuangan lebih luas meningkat setelah Washington mengumumkan pengecualian beberapa elektronik dari tarif Presiden Donald Trump.
"Mungkin ada sedikit kelegaan di sektor tarif, dengan pengecualian beberapa elektronik, yang mungkin mengurangi permintaan untuk emas sebagai aset perlindungan," kata Peter Grant, wakil presiden dan senior strategi logam di Zaner Metals.
"Namun, ketidakpastian yang berlanjut mengenai perdagangan dan tarif, pelemahan dolar, serta hasil obligasi yang lebih lembek cenderung mendukung harga emas."
Trump mengatakan pada hari Minggu bahwa ia akan mengumumkan tarif impor semikonduktor dalam minggu depan, menjaga ketegangan di pasar.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China telah mengguncang pasar global dan mendorong investor untuk membeli logam emas, yang secara tradisional dianggap sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian geopolitik dan ekonomi.
Goldman Sachs tetap yang paling optimis di antara bank-bank besar mengenai harga emas, dengan menaikkan perkiraan harga akhir tahunnya menjadi USD3.700, mengutip permintaan bank sentral yang lebih kuat dari perkiraan dan risiko resesi yang lebih tinggi yang memengaruhi aliran dana ETF.
Aliran investasi ke dalam dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) emas yang didukung fisik di China hingga bulan ini telah melebihi total aliran sepanjang kuartal pertama dan melampaui aliran yang tercatat di dana yang terdaftar di AS, menurut data dari World Gold Council.
Perak spot naik 0,1 persen menjadi USD32,27 per ons, sementara platinum naik 1 persen menjadi USD952,1. Palladium naik 4,6 persen menjadi USD957,27.
Wall Street Menguat berkat Apple
Bursa saham AS ditutup menguat pada Senin, 14 April 2025, ditopang oleh sentimen positif dari sektor teknologi, terutama saham Apple, setelah Gedung Putih resmi mengecualikan perusahaan itu dari tarif baru.
Namun, di balik euforia sesaat, pasar masih dibayangi ketidakpastian arah kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump, termasuk ancaman tarif baru untuk semikonduktor yang bisa diumumkan dalam waktu dekat.
Pengecualian tarif terhadap Apple diumumkan pada Jumat, 11 April 2025, dan langsung mengangkat optimisme investor atas potensi diringankannya tekanan terhadap rantai pasok teknologi global. Namun, hanya dua hari berselang, Trump menegaskan bahwa ia akan mengumumkan tarif atas impor semikonduktor "dalam waktu seminggu ke depan."
Pernyataan ini sontak meredam reli yang sempat terjadi, dan memicu kecemasan baru bahwa industri chip global masih berada dalam garis bidik kebijakan proteksionis.
Saham-saham teknologi menyambut berita positif dengan lonjakan harga. Apple naik 2,2 persen, Dell Technologies melonjak 4 persen, dan HP naik 2,5 persen. Namun, respons berbeda ditunjukkan oleh sektor semikonduktor: indeks Philadelphia Semiconductor hanya naik tipis 0,3 persen, sementara saham Nvidia justru turun 0,2 persen—cerminan kekhawatiran bahwa tarif baru bisa menyasar langsung pada produsen chip.
Perdagangan hari itu berlangsung fluktuatif, cerminan pasar yang masih sensitif terhadap perkembangan geopolitik dan risiko kebijakan dagang. Sejak Trump kembali menggulirkan wacana tarif besar-besaran pada awal April, volatilitas meningkat drastis, membuat pelaku pasar kesulitan untuk membaca arah.
“Yang kita hadapi saat ini bukan sekadar perang dagang, tapi krisis kepercayaan. Sulit bagi konsumen, pebisnis, atau investor untuk membuat rencana jangka panjang ketika aturannya bisa berubah tiap minggu,” ujar Jed Ellerbroek, manajer portofolio di Argent Capital Advisors, St. Louis.
Tiga indeks utama AS semuanya ditutup di zona hijau:
Dow Jones Industrial Average naik 312,08 poin (0,78 persen) ke 40.524,79
S&P 500 menguat 42,61 poin (0,79 persen) ke 5.405,97
Nasdaq Composite naik 107,03 poin (0,64 persen) ke 16.831,48
Indeks Volatilitas CBOE (VIX), indikator ketakutan pasar, turun ke 30,89—level terendah sejak 3 April. Meski begitu, tanda-tanda teknikal menunjukkan awan gelap belum benar-benar berlalu.
Death Cross Mengintai
S&P 500 secara teknikal baru saja memasuki pola “death cross”—sebuah sinyal koreksi jangka pendek yang bisa menjadi tren penurunan jangka panjang jika tidak diimbangi pemulihan fundamental. Pola ini terjadi ketika rata-rata pergerakan 50 hari (50-DMA) turun melewati rata-rata 200 hari (200-DMA), dan dianggap sebagai sinyal bearish oleh analis teknikal.
Pada Senin, 50-DMA S&P 500 berada di sekitar 5.748, sementara 200-DMA di 5.754. Meski indeks naik 0,8 persen hari itu, ini menandai pertama kalinya death cross terjadi sejak 1 Februari 2023.
“Memang terdengar menakutkan, tapi secara historis, justru seringkali menjadi peluang beli,” ujar Adam Turnquist, kepala analis teknikal di LPL Financial.
Menurut data LSEG yang dianalisis Reuters, sejak 50 tahun terakhir, ada 24 kali death cross di S&P 500. Dalam 54 persen kasus, sinyal ini muncul setelah titik terendah intraday sudah terjadi—artinya, kepanikan terburuk justru sudah lewat ketika sinyal itu datang. Namun dalam 46 persen sisanya, penurunan berlanjut lebih dalam, dengan rata-rata koreksi mencapai 19 persen sejak munculnya death cross.
Contoh paling dramatis terjadi pada 1981, 2000, dan 2007—yang masing-masing diikuti oleh penurunan sebesar 21 persen, 45 persen, dan 55 persen.
Paul Ciana dari Bank of America menambahkan bahwa secara rata-rata, indeks S&P 500 turun 0,5 persen dalam 20 hari setelah death cross, namun dalam 30 hari setelahnya, indeks justru naik di 60 persen kasus, dengan rata-rata kenaikan 0,8 persen.
“Melihat grafik saat ini, saya lebih melihat potensi pemulihan V-shape seperti 2018 atau 2020, ketimbang kejatuhan besar seperti 2008,” tambah Turnquist.
Kondisi sentimen juga mengindikasikan bahwa kepanikan ekstrem mungkin sudah berlalu. Indeks volatilitas VIX yang mulai turun, serta tanda-tanda "kapitulasi" dari volume jual minggu lalu, memperkuat argumen bahwa pasar sedang membentuk titik balik jangka pendek. (*)