KABARBURSA.COM - Menteri BUMN, Erick Thohir, mengungkapkan bahwa CEO YouTube, Neal Mohan, dan CEO TikTok, Shou Zi Chew, telah menyatakan minat mereka untuk mengunjungi Indonesia. Namun, Erick belum dapat memberikan kepastian kapan kunjungan tersebut direalisasikan.
Kata Erick Thohir, jika kunjungan tersebut benar-benar terjadi, ia siap untuk memperkenalkan mereka kepada Presiden Jokowi atau Presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Ini adalah salah satu topik yang kami bahas dengan mereka. Mereka melihat hal tersebut sebagai peluang positif dan berjanji akan datang ke Indonesia. Namun, saya belum mendapatkan konfirmasi resmi mengenai rencana kedatangan mereka," kata Erick di Jakarta, Selasa, 30 Juli 2024.
"Jika mereka benar jadi datang, saya akan siap untuk mempertemukan mereka dengan Presiden Jokowi atau Pak Prabowo. Namun, diskusinya harus konstruktif mengenai bagaimana cara membangun investasi yang bermanfaat sekaligus melindungi aset kebudayaan Indonesia," sambungnya.
Sebagai informasi, Erick Thohir bertemu dengan kedua CEO ini pada acara International Olympic Committee (IOC). Dalam pertemuan tersebut, ia mendiskusikan potensi investasi di Indonesia.
"Saya diundang sebagai salah satu anggota dan berkesempatan duduk bersama Neal Mohan, CEO YouTube, dan Shou Zi Chew, CEO TikTok. Sungguh menarik melihat kedua perusahaan besar ini duduk bersama di satu meja," ujar Erick.
Selama kesempatan itu, Erick memaparkan potensi ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp4.500 triliun. Ia berharap kedua perusahaan besar tersebut mau berinvestasi di Indonesia dengan komitmen yang baik.
Erick ingin Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi tujuan investasi yang penting.
Dia juga berharap agar kedua perusahaan tersebut tetap menghormati dan menjaga budaya Indonesia.
"Di kesempatan tersebut, saya menyampaikan pitch tentang potensi ekonomi digital di Indonesia yang sangat besar, yakni Rp4.500 triliun. Kami berharap mereka berinvestasi di sini, dan investasi tersebut dapat memberikan dampak yang positif," ucap Erick Thohir.
AS Anggap TikTok Ancam Keamanan Nasional
Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) mengungkapkan bahwa TikTok mengumpulkan informasi pengguna mengenai topik-topik sensitif, menjadikannya ancaman keamanan nasional yang dapat membenarkan undang-undang untuk melarang aplikasi media sosial populer tersebut dibiarkan berada di AS jika perusahaan induknya, ByteDance Ltd yang berbasis di China, tidak menjualnya.
Dalam berkas pengadilan yang diajukan pada Jumat malam kemarin, DOJ menyatakan bahwa aplikasi ini bisa dipaksa untuk membagikan informasi pengguna dengan pemerintah China, yang juga dapat menyensor atau mempengaruhi konten yang dilihat oleh masyarakat Amerika Serikat.
"TikTok mengumpulkan data sensitif yang sangat besar dari 170 juta penggunanya,"tulis Departemen Kehakiman dalam berkas tersebut.
"Pengumpulan data tersebut termasuk lokasi tepat pengguna, kebiasaan menonton, dan pesan pribadi," tambahnya.
Berkas di Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit DC ini merupakan respons pertama Departemen Kehakiman terhadap tantangan hukum yang diajukan oleh TikTok dan pembuat konten perusahaan setelah Presiden Joseph Biden menandatangani undang-undang yang akan melarang aplikasi tersebut jika ByteDance tidak menjualnya pada 19 Januari.
Pembuat undang-undang AS bertindak cepat untuk menerapkan undang-undang tersebut awal tahun ini setelah pengarahan klasifikasi tentang risiko keamanan.
TikTok melawan dengan melibatkan pengacara, pelobi, dan pembuat konten. Mereka berpendapat bahwa larangan tersebut melanggar kebebasan berbicara dan akan membahayakan pekerjaan di Amerika.
TikTok menyatakan bahwa mereka tetap yakin menang dalam kasus ini.
"Tidak ada dalam dokumen ini yang mengubah fakta bahwa Konstitusi berada di pihak kami," kata TikTok dalam sebuah pernyataan di X menanggapi pengajuan DOJ.
TikTok beralibi, larangan pemerintah AS melarang pihaknya beroperasi di negara tersebut merupakan sebuah pelanggaran.
"Pemerintah Amerika Serikat tidak pernah mengajukan bukti klaimnya, termasuk ketika Kongres mengesahkan undang-undang yang tidak konstitusional ini," ujarnya.
Dalam berkas pembelaannya, DOJ membela konstitusionalitas undang-undang tersebut, dengan alasan bahwa pengumpulan data dan manipulasi algoritma oleh kekuatan asing tidak dilindungi oleh perlindungan kebebasan berbicara untuk audiens global.
Berkas tersebut juga menolak proposal yang lebih sempit dari TikTok, dengan alasan bahwa proposal tersebut tidak akan mengatasi kekhawatiran keamanan nasional yang diangkat.
TikTok telah mencoba meredakan kekhawatiran dengan bekerja sama dengan Oracle Corp. untuk melindungi informasi pengguna. Namun, itu tidak mengubah pendapat para pembuat undang-undang.
"Algoritma TikTok, kode sumber, dan dukungan di belakangnya berada di China," menurut Ketua Komite Intelijen Senat Mark Warner, seorang Demokrat Virginia yang mendukung divestasi.
Pemerintah AS pun menegaskan, tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk melindungi orang Amerika, bukan membungkam mereka.
TikTok dan para pembuat konten memiliki waktu hingga 15 Agustus 2024 untuk menanggapi, dan argumen lisan diharapkan pada bulan September.
Panel Sirkuit DC telah menetapkan jadwal yang dipercepat setelah TikTok meminta agar kasus tersebut diputuskan pada 6 Desember untuk memberikan cukup waktu untuk banding ke Mahkamah Agung AS, jika diperlukan.
Sejumlah ahli keamanan siber menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai sejauh mana TikTok mengakses data pribadi penggunanya.
Mereka menyebut bahwa aplikasi ini mengumpulkan berbagai jenis informasi, mulai dari lokasi, riwayat penelusuran, hingga pola penggunaan aplikasi.
Data ini kemudian dikirimkan ke server yang berlokasi di luar negeri, menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan dan privasi pengguna.
Pengumpulan data oleh suatu aplikasi bukanlah hal yang baru terjadi. Namun, yang membuat TikTok berbeda adalah skala dan detail informasi yang dikumpulkan. Mulai dari hal-hal sederhana seperti preferensi video hingga informasi teknis yang lebih mendalam seperti perangkat keras dan jaringan yang digunakan.
Data tersebut, meskipun terlihat tidak signifikan secara individu, bisa menjadi sangat berharga jika dikumpulkan secara massal dan dianalisis.
Pemerintah di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah menyuarakan kekhawatiran mereka. Bahkan, beberapa negara telah mempertimbangkan untuk melarang atau membatasi penggunaan TikTok di kalangan pegawai negeri dan militer.
Mereka khawatir data yang dikumpulkan dapat digunakan oleh pemerintah asing untuk tujuan yang tidak baik, termasuk spionase dan pengaruh politik.
TikTok telah berulang kali membantah tuduhan tersebut dan menyatakan komitmennya terhadap privasi pengguna. Mereka mengklaim bahwa semua data pengguna disimpan dengan aman dan tidak dibagikan dengan pemerintah China.
Selain itu, TikTok juga berupaya meningkatkan transparansi dengan membuka pusat transparansi dan akuntabilitas di berbagai negara untuk mengatasi kekhawatiran ini.
Namun, meskipun TikTok telah mengambil langkah-langkah ini, skeptisisme masih tinggi. Banyak pihak yang menilai bahwa langkah-langkah tersebut belum cukup untuk menjamin keamanan data pengguna sepenuhnya. (*)